Personel Satpol PP mencopot Alat Peraga Kampanye (APK) saat penertiban di Pasar Kliwon, Solo, Jawa Tengah, Senin (12/10. | MOHAMMAD AYUDHA/ANTARA FOTO

Tajuk

Tegakkan Aturan Pilkada

KPU, KPU Daerah, Bawaslu, Panwaslu Daerah, serta Polri harus berani menegakkan aturan kampanye.

 

Salah satu kekhawatiran utama pemilihan kepala daerah serentak akhir tahun ini adalah lemahnya penegakan aturan. Aturan yang mana? Aturan tentang kerumunan massa yang tidak mengikuti protokol kesehatan pada masa pagebluk Covid-19. Aturan ini sengaja dibuat untuk menjaga agar Pilkada 2020 tidak menjadi klaster penyebaran penyakit Covid-19. 

Namun, dalam dua pekan terakhir, kita justru melihat hal yang kita khawatirkan ini terjadi. Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) di berbagai daerah melaporkan kampanye fisik dengan kerumunan massa terus dilakukan. Ini pelanggaran. Jumlah laporannya ratusan. 

Ironisnya: Panwaslu, Bawaslu, KPU Daerah, KPU Pusat, sampai aparat keamanan seolah diam dan tutup mata melihat pelanggaran tersebut! Alasan pihak yang berwenang: Mereka tak kuasa mencegah, menghentikan, dan membubarkan kerumunan! 

 
Lalu tentu kita bertanya, untuk apa aturan kampanye dengan mematuhi protokol kesehatan itu dibuat kalau ujung-ujungnya justru warga dan kandidat dibiarkan.
 
 

Kita tentu mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam situasi ini. Semua pihak tersebut di atas memiliki kuasa untuk menghentikan kampanye fisik yang melanggar aturan. Kuasa itu ditegaskan tertulis ‘hitam di atas putih’ dokumen negara. Wajib dipatuhi para kandidat. Wajib dijalankan peserta kampanye. Di bagian mana yang menunjukkan kuasa itu tidak ada?

Lalu tentu kita bertanya, untuk apa aturan kampanye dengan mematuhi protokol kesehatan itu dibuat kalau ujung-ujungnya justru warga dan kandidat dibiarkan, dengan sengaja, melanggar aturan? Apakah aturan tersebut dianggap sebagai seremonial belaka? Agar acuan di atas kertas saja? Dirasa seperti angin sepoi-sepoi? Ke mana penegakan aturan itu pergi?

Pilkada dianggap rawan Covid-19 sebab sebagai hajatan yang melibatkan orang banyak. Prosesnya sejak pencalonan, kampanye, pencoblosan, hingga perhitungan, membuat orang-orang berkerumun. Tanpa ada pagebluk Covid-19, kita bisa melihat sendiri sejauh mana kerumunan yang terjadi di setiap pilkada, pemilu legislatif, dan pemilu presiden.

Kerumunan adalah kondisi yang amat disukai virus Covid-19. Virus dengan mudah berpindah dari pengidap satu ke orang lainnya tanpa diketahui. 

Berbagai pihak sudah menyampaikan keberatan dan kekhawatirannya soal hal ini sejak awal pemerintah ngotot mempertahankan pilkada. Mulai dari Ikatan Dokter Indonesia, pegiat kesehatan, pengamat politik, pegiat pemilu, sampai pada Satuan Tugas Pencegahan Covid-19. Pesan mereka tegas, jelas, jernih: Jangan sampai pilkada justru meningkatkan jumlah kasus harian Covid-19. 

Saat ini Indonesia belum menunjukkan tren penurunan kasus harian Covid-19. Angka kasus totalnya menuju 400 ribu orang, yang diperkirakan pada akhir bulan ini. Kita bisalah bersyukur karena tingkat kesembuhan pasien Covid-19 tergolong cukup baik. Namun, ini belum cukup karena situasi riilnya tetap berbahaya.

Dengan tren kasus harian yang mencapai 3.900-4.000-an per hari, stabil di level ini sejak delapan pekan terakhir, prediksi ke depan saat pilkada berjalan cukup mengkhawatirkan. Diperkirakan pada November, kalau tidak ada kebijakan pencegahan yang drastis, angka kasus bisa menembus 500 ribu lebih. Pada bulan ke-12, saat hari pencoblosan, tren angka kasus bisa menyentuh 600 ribu. Belum memperhitungkan hajatan pilkada.

 
Berbagai pihak sudah menyampaikan keberatan dan kekhawatirannya soal hal ini sejak awal pemerintah ngotot mempertahankan pilkada.
 
 

Karena itu, kita mendesak pemerintah, KPU, Bawaslu, Panwaslu, Polri, dan kandidat pilkada untuk benar-benar membereskan masalah ini. Kesadaran berbagai pihak amat dinantikan. Penegakan aturan mutlak diperlukan. Penjatuhan sanksi harus dilakukan. Terutama pada para kandidat. 

Opsi mengurangi bahkan menghentikan kampanye tatap muka yang mengundang kerumunan, dan menggantinya dengan kampanye digital ataupun kampanye kesehatan seharusnya mudah dimengerti. 

Para kandidat ini, mereka yang menyatakan membutuhkan suara rakyat, justru dengan amat sadar mengumpankan para pemilihnya yang ikut kampanye tatap muka berhadapan dengan virus Covid-19. 

Masih ada waktu untuk memperbaiki kondisi ini. Namun, yang utama, KPU, KPU Daerah, Bawaslu, Panwaslu Daerah, serta Polri harus berani menegakkan aturan kampanye sesuai dengan protokol kesehatan yang mereka buat sendiri. Ini mutlak. Ini tidak bisa ditawar-tawar.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat