IKHWANUL KIRAM MASHURI | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Liga Arab Dipimpin Israel?

Penolakan enam negara memimpin Liga Arab dipandang jadi lonceng kematian organisasi itu.

Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI

OLEH IKHWANUL KIRAM MASHURI

Liga Arab atau Jami’at ad Duwal al ‘Arabiyya kini tanpa ketua. Enam negara telah menyatakan menolak memimpin organisasi yang beranggotakan 22 negara Arab itu. Keenam negara tersebut adalah Palestina, Kuwait, Lebanon, Komoro, Libia, dan Qatar.

Hingga sekarang belum ada satu negara pun yang sukarela menawarkan diri mengambil alih kepemimpinan Liga Arab. Dalam kondisi normal, ketua Liga Arab dijabat secara bergiliran sesuai urutan abjad nama negara-negara anggota.

Penolakan itu terkait erat dengan perjanjian damai dan normalisasi hubungan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain dengan Israel. Dalam pertemuan para menteri luar negeri Liga Arab pada 9 September lalu, draf resolusi yang diajukan Palestina untuk mengutuk perjanjian dan normalisasi hubungan dengan Israel sengaja dikeluarkan dari materi sidang, dan otomatis tidak disinggung sama sekali dalam pernyataan resmi. Padahal, pertemuan darurat para menteri luar negeri Arab kali ini atas permintaan Palestina.

Perubahan sikap Liga Arab ini segera dimanfaatkan Jared Kushner, penasehat utama dan utusan khusus Presiden Donald Trump untuk Timur Tengah. Sehari setelah sidang para Menlu Liga Arab, ia pun mengatakan kegagalan Liga Arab untuk mengutuk perjanjian normalisasi dengan Israel merupakan perubahan penting di Timur Tengah. 

 

 
Penolakan itu terkait erat dengan perjanjian damai dan normalisasi hubungan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain dengan Israel.
 
 

 

Menurut menantu dan sekaligus arsitek kebijakan Presiden Trump di Timur Tengah ini, kesabaran negara-negara yang mendukung Palestina telah habis. Untuk kepentingan negara mereka sendiri, menurutnya, menggalang perdamaian dan menormalisasi hubungan dengan Israel akan lebih bermanfaat. Ia pun yakin, setelah UEA dan Bahrain, beberapa negara Arab akan menyusul untuk menormalisasi hubungan dengan Israel.

Perjanjian damai dan normalisasi hubungan UEA dan Bahrain dengan Israel ditandatangani di Gedung Putih pada 15 September, dalam sebuah acara meriah, dengan mengabaikan kemarahan bangsa Palestina. Normalisasi ini difasilitasi dan disponsori oleh Presiden Donald Trump. 

Sebagai protes terhadap normalisasi hubungan dengan Israel, sepekan kemudian (22/09) Palestina memutuskan untuk melepaskan haknya memimpin Liga Arab. Menteri Luar Negeri Palestina Riyad Maliki mengatakan, Palestina merasa ditikam dari belakang oleh saudaranya sendiri.

Palestina juga merasa tercoreng mukanya ketika memimpin Liga Arab yang anggotanya menormalisasi hubungan dengan Israel yang menjadi musuhnya. Ia menambahkan, Palestina tidak bertanggung jawab terhadap kehancuran di Liga Arab.

Setelah Palestina mundur sebagai ketua Liga Arab, Qatar seharusnya menerima estafet kepemiminan yang kosong. Namun, pada 25 September lalu Qatar pun mengumumkan menolak mengambil-alih kepemimpinan Liga Arab yang ditinggalkan Palestina. Sikap negara kecil nan kaya di kawasan Teluk ini tampaknya sebagai solidaritas dengan nasib bangsa Palestina.

 
Tampaknya tidak satu pun dari negara-negara tersebut yang mau mengambil risiko mengambil-alih kepemimpinan negara-negara Arab dalam kondisi yang sedang carut-marut sekarang ini.
 
 

Di hari-hari berikutnya, sikap penolakan untuk mengisi kekosongan kepemimpinan Liga Arab pun terus berlanjut. Dimulai dari Kuwait, lalu Lebanon, kemudian Komoro. Tampaknya tidak satu pun dari negara-negara tersebut yang mau mengambil risiko mengambil-alih kepemimpinan negara-negara Arab dalam kondisi yang sedang carut-marut sekarang ini.

Dan, ketika giliran sampai pada Libia, negara ini pun pada 5 Oktober lalu menyatakan menolak menerima kepemimpinan bergilir di tubuh Liga Arab sekarang ini.

Liga Arab berdiri pada 22 Maret 1945, beberapa bulan lebih dulu dari Perserikatan Bangsa Bangsa (24 Oktober 1945). Pendirinya ada tujuh negara, yaitu Mesir, Suriah, Arab Saudi, Yordania, Lebanon, Irak, dan Yaman. Menyusul kemudian negara-negara lain hingga berjumlah 22 negara, dengan jumlah penduduk lebih dari 400 juta jiwa. Negara terakhir yang bergabung adalah Komoro, sebuah negara kepulauan yang sangat kecil di Samudra Hindia.

Luas 13.953.041 kilometer per segi menjadikan Liga Arab yang terbentang dari Asia hingga Afrika terluas kedua di dunia setelah Rusia. Sedang populasinya terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Uni Eropa.

 
Perpecahan di Liga Arab semakin tampak ketika terjadi Musim Semi Arab (Arab Spring). 
 
 

Pendirian Liga Arab bertujuan untuk mempererat persahabatan bangsa Arab, memerdekakan negara-negara di kawasan Arab yang masih terjajah, mencegah berdirinya negara Yahudi di wilayah Palestina, dan menjalin kerjasama  dalam bidang politik, militer, ekonomi, budaya, dan lainnya.

Yang menonjol dari Liga Arab dibandingkan dengan organisasi-organisasi internasional lainnya adalah kesamaan agama (Islam), bahasa (Arab), dan budaya (Arab) para anggotanya. Sayangnya, berbagai persamaan ini tidak bisa menghalangi terjadinya perseteruan dan bahkan konflik terbuka di antara mereka. Liga Arab tidak pernah menjadi sebuah organisasi yang benar-benar mampu mempersatukan para anggotanya. 

Perpecahan di Liga Arab semakin tampak ketika terjadi Musim Semi Arab (Arab Spring). Waktu itu, sepanjang akhir 2010 hingga 2012, gelombang revolusi rakyat menyapu Tunisia, Mesir, Libia, Yaman, Suriah hingga Bahrain. Revolusi rakyat di negara-negara Arab ini menuntut domokratisasi politik, penegakan hak asasi manusia, perbaikan ekonomi, dan penghapusan koropsi, kolusi, dan nepotisme.

Di Mesir, revolusi rakyat telah berhasil menggulingkan rezim diktator Presiden Husni Mubarak pada 2011. Namun, setelah itu muncul krisis politik dengan Ikhwanul Muslim lewat Muhammad Mursi yang terpilih jadi presiden lewat pemilu demokratis. Jenderal Abdul Fattah Sisi, dengan dalih menyelematkan bangsa dan negara dari konflik bersaudara, mengambil-alih kekuasaan pada 2014.

Di titik ini, anggota Liga Arab terpecah. Arab Saudi dan Mesir menyebut gerakan Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi teroris, namun Qatar mendukung Ikhwanul Muslimin. Gara-gara sikap Qatar ini, Arab Saudi, UEA, Mesir, dan Bahrain memutuskan hubungan diplomatik dan semua hubungan darat dan udara dengan Qatar pada Juni 2017. Keempat negara itu kompak menuduh Qatar merusak kestabilan wilayah. Qatar dituding mendukung kelompok teroris. Qatar berulang kali membantah keras telah mendanai kelompok ekstremis. 

 
Bahkan ada yang berpandangan penolakan enam negara itu sebagai lonceng kematian Liga Arab.
 
 

Perselisihan Hamas dengan Fatah di tubuh Palestina juga menyeret anggota Liga Arab. Pada 2007, saat krisis Hamas-Fatah memuncak -- ketika Hamas mengambil alih wilayah Gaza --, Mesir, Yordania, dan Arab Saudi mendukung kubu Fatah yang dipimpin Mahmud Abbas sekaligus Presiden Otoritas Palestina. Sedangkan Suriah mendukung kedua faksi sekaligus. Sementara itu Qatar mendukung Hamas.

Perbedaan sikap, yang bahkan menjurus ke perpecahan dan konflik di antara anggota Liga Arab terus berlanjut, dari persoalan di Yaman, Suriah, Irak, Libya, Lebanon, hingga masalah Palestina dan lainnya. Puncaknya adalah normalisasi hubungan UEA dan Bahrain dengan Israel. Sebagai protes terhadap normalisasi ini, enam negara menolak untuk menjadi ketua bergilir Liga Arab.

Belum diketahui bagaimana nasib Liga Arab yang hingga sekarang belum ada ketuanya ini. Namun, di jagad media sosial banyak warga Arab yang melihat penolakan enam negara memimpin Liga Arab sebagai puncak krisis persatuan negara-negara Arab. 

Bahkan ada yang berpandangan penolakan enam negara itu sebagai lonceng kematian Liga Arab. Dan, seperti dikatakan wartawan Arab Moataz Matar, sebagaimana dikutip media Aljazirah, Liga Arab sebenarnya sudah mati secara klinis.

ang diperlukan sekarang, katanya, adalah menunda pemakamannya dan menyerahkan kepemimpinan Liga Arab kepada Israel. Siapa tahu Liga Arab bisa hidup lebih lama.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat