(Ilustrasi) Ada berbagai dinasti Islam yang meneguhkan kedaulatan di Tanduk Afrika ratusan tahun lamanya | DOK WIKIPEDIA

Tema Utama

Kerajaan Islam di Tanduk Afrika

Nyaris seribu tahun lamanya berbagai kesultanan Muslim memerintah di Tanduk Afrika.

OLEH HASANUL RIZQA 

Tanduk Afrika (Horn of Africa) merupakan salah satu daerah yang paling awal menerima syiar Islam di luar Jazirah Arab. Pada 615 M, untuk pertama kalinya dakwah Islam sampai di sana melalui kiprah kaum Muslimin yang hijrah ke Kerajaan Aksum atau Habasyah (kini Etiopia).

Jauh sebelum Nabi Muhammad SAW lahir, negeri tersebut telah menjadikan Kristen sebagai agama resmi. An-Najasyi, sang raja Aksum yang menerima para muhajirin, sangat mengapresiasi Islam. Apalagi, setelah dirinya mendengarkan langsung Alquran surah Maryam yang dibacakan juru bicara Muslimin, Ja’far bin Abi Thalib.

Ketika Islam semakin kokoh di Madinah, Rasulullah SAW mengirimkan surat ke berbagai negeri. Tujuannya menyeru setiap penguasa agar mengikrarkan “Tiada Tuhan selain Allah. Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah.”

Surat Nabi SAW yang ditujukan kepada an-Najasyi tidak hanya mengajak raja Aksum itu agar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Di dalamnya, tergurat pula permintaan supaya Muslimin yang ada di Aksum dipulangkan ke Madinah. Sang raja Habasyah pun menyiapkan dua kapal besar untuk memulangkan kaum muhajirin.

Menurut Muhammad Husain Haekal dalam Hayat Muhammad, Raja an-Najasyi membalas surat itu dengan begitu apresiatif. Bahkan, beberapa sumber meyakini, pemimpin dari Afrika itu benar-benar telah memeluk Islam.

Tatkala an-Najasyi dikabarkan wafat, Rasulullah SAW memimpin shalat gaib atas jenazah penguasa Aksum tersebut. Hal itu diriwayatkan Imam Bukhari dari Abu Hurairah, “Nabi SAW memberitakan kepada para sahabatnya tentang kematian an-Najasyi, kemudian beliau maju (untuk mengimami shalat gaib), maka kami membuat shaf di belakang beliau, dan beliau bertakbir empat kali.”

Pada zaman khulafaur rasyidin, Islam semakin berkembang ke luar Arab. Meskipun demikian, dakwah belum begitu menjangkau seluruh Tanduk Afrika dalam masa itu.

Situasinya mulai berubah seiring melemahnya Kerajaan Aksum tatkala memasuki abad ke-10. Pada 896, Showa menjadi kerajaan Islam pertama yang berdiri di Tanduk Afrika, tepatnya dataran tinggi Etiopia. Penguasanya merupakan keturunan Wudd bin Hisyam al-Makhzumi, seorang bangsawan dari Kekhalifahan Umayyah.

 
Pada 896, Showa menjadi kerajaan Islam pertama yang berdiri di Tanduk Afrika, tepatnya dataran tinggi Etiopia.
 
 

Amir (pemimpin) pertamanya menjabat antara tahun 896 dan 928. Dialah Amir Haboba. Karena tidak mampu mengatasi berbagai pergolakan dalam negeri, ia pun meminta bantuan kepada Kekhalifahan Abbasiyah.

Amir berikutnya adalah Umar. Pada masa kepemimpinannya, dakwah menyebar hingga ke Mogadishu (Somalia). Pihaknya juga berafiliasi dengan suku-suku setempat, khususnya etnik Harari.

Amir yang ketiga bernama Muhiaddin. Di bawah pemerintahannya, syiar Islam semakin berkembang hingga jauh ke Maladewa dan Sailan (Sri Lanka). Saat diperintah ketiga amir tersebut, Kesultanan Showa terus memantapkan pengaruhnya di jaringan internasional Samudra Hindia. Kota-kota pelabuhan menjadi sumber pemasukan utama negeri ini.

photo
Kesultanan Showa di wilayah Ethiopia saat ini - (DOK Wikipedia)

Showa terus eksis hingga abad ke-13. Sejak 1286, wilayahnya menjadi bagian dari Kesultanan Ifat yang berpusat di Zaila’ (Somalia Utara). Dalam sejarah dakwah Islam di Benua Hitam, riwayat Zaila’ tak mungkin terlewatkan. Di sanalah berdiri masjid tertua di seluruh Afrika. Masjid al-Qiblatain didirikan sejak zaman Rasulullah SAW atau abad ketujuh.

Nama tempat ibadah itu mengingatkan pada Masjid Dua Kiblat yang terdapat di Madinah. Dinamakan demikian, sebab bangunan tersebut memang memiliki dua mihrab. Yang pertama dibangun ketika Nabi Muhammad SAW masih memimpin shalat dengan menghadap ke Masjid al-Aqsha (Yerusalem), sedangkan yang terakhir berdiri sejak Ka’bah di Makkah dicanangkan sebagai kiblat bagi umat Islam.

Kesultanan Ifat bertahan hingga 130 tahun. Selanjutnya, Shabruddin II berhasil merebut Kota Zaila’. Ia pun mendirikan Kesultanan Adal dan memindahkan pusat pemerintahan ke Dakkar (Etiopia). Wilayah kekuasaannya membentang di sepanjang pesisir Selat Bab al-Mandab yang termasuk Djibouti, sebagian Eritrea, Somalia Utara, dan Etiopia Utara saat ini.

Sejak awal abad ke-15, Adal terus berupaya membendung ekspansi Abesinia. Kerajaan Kristen yang didirikan Yekuno-Amlak pada 1270 M itu berupaya memulihkan kedaulatan Aksum yang “mati” sejak dua ratus tahun sebelumnya.

Sepanjang sejarahnya, Adal diperintah 13 raja dari generasi ke generasi. Lebih dari satu setengah abad, kerajaan tersebut menjadi bandar perniagaan yang kaya raya di kawasan Tanduk Afrika. Puncak kejayaannya berlangsung selama abad ke-14.

photo
Pelabuhan Zaila' pada kuartal ketiga abad 19. - (DOK Wikipedia)

Berbagai kota pelabuhannya, terutama Zaila’, selalu ramai disinggahi kapal-kapal dari Arab, India, Nusantara, dan bahkan Cina. Mereka membawa pelbagai komoditas bernilai jual tinggi. Dengan kekayaan yang ada, raja-raja Adal pun membangun banyak infrastruktur di negerinya. Di antaranya adalah masjid, benteng, dan istana kerajaan.

Pada pertengahan tahun 1520-an, Jenderal Imam Ahmad bin Ibrahim al-Ghazi berhasil menguasai takhta Kesultanan Adal. Ia segera memaklumkan perang terhadap Abesinia.

Imam Ahmad disokong sepenuhnya oleh Kekhalifahan Turki Utsmaniyah. Konstantinopel (Istanbul) mengirimkan kepadanya berbagai armada tempur. Di antaranya adalah sejumlah meriam dan ratusan senjata api.

Dalam Perang Simbra Kure pada 1529, pasukan Adal berhasil mengalahkan Abesinia. Namun, Portugis kemudian ikut campur dengan mendukung Abesinia. Turki lantas memberikan bantuan kepada Adal, termasuk 900 prajurit siap tempur.

Imam Ahmad kembali melakukan ekspedisi militer pada 1542. Awalnya, ia berhasil memukul mundur koalisi Abesinia-Portugis. Bahkan, pasukannya dapat membunuh komandan Portugis Cristovao da Gama pada Agustus. Akan tetapi, situasi berubah drastis beberapa bulan kemudian.

Pada Februari 1543, Imam Ahmad tidak dapat membendung serangan Abesinia di Wayna Daga, dekat Danau Tana (Etiopia). Ia bahkan tewas di tangan musuh. Balabantuan yang dinanti-nanti dari Turki tak kunjung datang. Sebab, Istanbul juga kerepotan menghadapi berbagai perlawanan di Mediterania.

 
Kematian Imam Ahmad mengawali jatuhnya Kesultanan Adal pada 1577 sekaligus meluasnya wilayah Kerajaan Kristen Abesinia.
 
 

Kematian Imam Ahmad mengawali jatuhnya Kesultanan Adal pada 1577 sekaligus meluasnya wilayah Kerajaan Kristen Abesinia. Bagaimanapun, kedaulatan Islam tak lantas sirna di Tanduk Afrika.

Sebagai penerusnya, Kesultanan Awsa atau Afar berdiri sejak awal abad ke-18. Pendirinya merupakan kepala Suku Mudayto, Data Kadafo, pada 1734. Kerajaan Islam itu berlokasi di kawasan yang kini meliputi Republik Djibouti dan sekitarnya.

Kolonialisme

Setelah 15 tahun berkuasa, Data Kadafo digantikan oleh anaknya, Muhammad Kadafo. Raja kedua Dinasti Mudayto ini berkuasa selama 30 tahun. Sementara itu, kolonialisme Eropa kian merasuki Afrika.

Pada 1882, Italia merebut Assab—sebuah kota pelabuhan di pesisir Eritrea—dari tangan Afar. Inilah awal kemerosotan kerajaan-kerajaan Islam di Tanduk Afrika yang sudah bersinar sejak berdirinya Kesultanan Showa pada 896 M atau nyaris seribu tahun lamanya.

Menghadapi Italia, Sultan Muhammad Kadafo terpaksa menandatangani perjanjian damai pada 1865. Beberapa tahun kemudian, Abesinia terlibat pertempuran dengan Italia dalam Perang Italia-Etiopia Pertama 1894-1896. Raja Abesinia saat itu Menelik II mengancam Afar agar jangan sampai bersekutu dengan Italia.

Pada era Sultan Mahammad Yayyo (1927-1944), Afar mengalami kemunduran di berbagai bidang. Italia dengan mudah mengontrol kendali pemerintahan setempat. Alhasil, Abesinia sempat tertekan, tetapi akhirnya berhasil menangkis serangan koalisi Italia-Afar pada 1943. Bahkan, kerajaan Kristen itu dapat menempatkan seorang bangsawan lokal untuk menjadi sultan berikutnya.

photo
Raja Menelik II, Ethiopia - (DOK Wikipedia)

Masih dalam rentang abad ke-19 dan 20, sebuah kerajaan Islam juga terbentuk di Somalia. Kesultanan Majirtin atau Migiurtinia didirikan oleh Suku Darod pada 1800. Kerajaan ini sempat berjaya di bawah pemerintahan Sultan Utsman Mahamud.

Namun, konflik elite terjadi antara sang sultan dengan keponakannya, Ali Yusuf Kenadid. Akhirnya, Ali Yusuf pada 1870 mendirikan kerajaan baru yang berpusat di Hobyo (Somalia Tengah). Cakupan kekuasaanya mencapai sebagian kawasan Somalia timur laut dan tengah.

Sama dengan Afar, Hobyo juga menghadapi tekanan besar dari invasi Italia di Tanduk Afrika. Pada 1888, Sultan Ali Yusuf mengadakan perundingan dengan kerajaan Katolik itu. Begitu pula dengan pamannya sendiri, Sultan Mahamud. Baik Majirtin maupun Hobyo kemudian menjadi kawasan protektorat Italia meskipun dalam perjanjian itu ditetapkan bahwa Italia harus menghindari campur tangan dalam urusan pemerintahan masing-masing kesultanan.

Sebagai imbalan atas proteksi Italia, para sultan memberikan konsesi ekonomi, khususnya di kota-kota pelabuhan yang strategis. Khususnya bagi Sultan Ali, perjanjian itu cukup berguna untuk meningkatkan kekuatan dalam melawan rivalnya di selatan, yakni Kesultanan Zanzibar.

photo
ILUSTRASI Di antara negara-negara yang termasuk kawasan Tanduk Afrika, Etiopia cukup istimewa karena menjadi satu-satunya yang tak pernah dijajah kolonialisme Eropa. - (DOK WIKIPEDIA)

Negeri yang tak Pernah Dijajah

 

Terutama sejak usainya Perang Dunia II, Tanduk Afrika terbagi ke dalam sejumlah wilayah, yakni Djibouti, Eritrea, Etiopia, dan Somalia. Dari keempatnya, Etiopia menjadi satu-satunya negara di Benua Afrika yang tidak pernah dijajah kolonialisme Eropa.

Sejak akhir abad ke-19 penjajahan Eropa semakin menggurita. Bahkan, periode antara tahun 1881 dan 1914 dinamakan sebagai “Perebutan Afrika” (Scramble for Africa). Sebab, berbagai imperium Eropa satu sama lain saling berebut wilayah kekuasaan di Afrika. Masa kelam itu bermula dari Konferensi Berlin pada 1884.

Di Berlin, Kekaisaran Jerman, para perwakilan dari 14 negara bertemu atas undangan Otto van Bismarck. Tujuannya membagi-bagi daerah kolonial di Benua Afrika. Dalam pandangan mereka, benua terluas kedua di dunia itu bagaikan kue yang siap dipotong-potong sesuka hati.

Sebelumnya, bangsa-bangsa Eropa “hanya” menguasai sekitar 20 persen dari keseluruhan Afrika. Cakupan kekuasaannya pun terbatas di kawasan pesisir, terutama yang menghadap Samudra Hindia. Namun, sejak Konferensi Berlin ditandatangani belasan negara Eropa mencaplok nyaris 90 persen Benua Hitam.

Hanya Etiopia yang tegar bertahan. Kerajaan yang mengisi lebih dari separuh Tanduk Afrika itu memang diserang terus menerus oleh Italia, terutama dalam periode 1936-1941. Meskipun sempat menduduki beberapa daerah negeri itu, Italia tidak bisa mendirikan suatu pemerintahan kolonial yang permanen di sana. Sebab, pasukan dan rakyat Etiopia yang setia tak henti-hentinya bergerilya demi mengusir kekuatan asing.

photo
Lukisan lain yang menggambarkan perang Adwa antara pasukan Ethiopia melawan Italia periode 1936-1941 - (DOK Wikipedia)

Titik tolak ketangguhan Etiopia terjadi pada 1895. Waktu itu, Perang Italia-Etiopia Pertama hampir berakhir. Italia yang mulanya percaya diri menjadi gamang. Pasukan Etiopia yang mengenal amat baik medan pertempuran justru semakin di atas angin. Pada 1 Maret 1896, Pertempuran Adwa berlangsung.

Negara Afrika itu keluar sebagai pemenang. Beberapa bulan kemudian, Italia secara resmi hengkang dari wilayah Etiopia. Itu setelah pihaknya menandatangani Perjanjian Addis Ababa pada 23 Oktober 1896. Dalam historiografi Barat, tanggal itu disebut sebagai “hari pengakuan kemerdekaan Etiopia”.

photo
Lukisan yang menggambarkan perang Adwa antara Ethiopia melawan Italia. - (DOK Wikipedia)

Seakan penasaran, Italia kembali mencoba peruntungan dengan menginvasi lagi Etiopia untuk kedua kalinya. Waktu itu, seorang fasis Benito Mussolini tampil sebagai pemimpin Negeri Pizza. Pada 1935, ia menerjunkan pasukan untuk menduduki negara itu.

Untuk sementara waktu, pada Mei 1936 operasi militer ini berhasil. Etiopia dimasukkan dalam wilayah koloni Italia di Tanduk Afrika, yakni Africa Orientale Italiana (AOI).

Raja Etiopia Haile Selassie kemudian memperkarakan invasi tersebut ke sidang umum Liga Bangsa-bangsa pada Juni 1936. Ia lantas meraih dukungan Amerika Serikat dan Uni Soviet meskipun beberapa negara sentral, seperti Inggris dan Prancis tetap mengakui AOI. Barulah pada saat Perang Dunia II, tepatnya 5 Mei 1941, wilayah Etiopia akhirnya dipulihkan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat