Suasana Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan. | Akbar Nugroho Gumay/ANTARA FOTO

Kabar Utama

UU Ciptaker Belum Tuntas

Sebanyak 40 aturan turunan dari UU Ciptaker dikebut rampung dalam sebulan mendatang.

JAKARTA – Naskah UU Cipta Kerja (Ciptaker) yang disahkan melalui Sidang Paripurna DPR pada Senin (5/10) disebut masih akan disempurnakan. Hal ini memunculkan pertanyaan terhadap legalitas beleid yang ramai mendapat penolakan tersebut.

Pihak Badan Legislatif (Baleg) DPR mengatakan, naskah final yang sempat beredar selepas paripurna, yang sudah berisi sejumlah perbaikan dari draf awal yang diusulkan pemerintah, bukan draf yang sudah pungkas. "Artinya, bahwa memang draf ini dibahas tidak sekaligus final. Itu masih ada proses-proses yang memang secara tahap bertahap itu kan ada penyempurnaan," kata Firman Soebagyo, anggota Baleg DPR dalam keterangannya, Kamis (8/10).

Firman yang berasal dari Fraksi Partai Golkar mengatakan, draf RUU tersebut masih dirapikan. Setelah dirapikan, akan dimintakan tanda tangan pada Presiden Joko Widodo. "Jangan sampai ada salah typo dan sebagainya. Nanti hasil itu akan segera dikirim ke Presiden untuk ditandatangani jadi UU dan sudah bisa dibagikan ke masyarakat,” ujarnya.

Ia menyatakan, penolakan belakangan berdasarkan hoaks terkait RUU Cipta Kerja, seperti soal penghapusan cuti, pesangon, hingga upah minimum. Meski begitu, tanpa naskah asli dari beleid tersebut, klaimnya belum bisa dibuktikan.

Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi juga menegaskan, draf akhir yang beredar belakangan belum bersifat final. "Bukan (draf final RUU Cipta Kerja), apalagi versinya beda-beda," ujar Baidowi, Kamis (8/10).

Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar menyatakan, naskah UU Ciptaker berdasarkan hasil yang sudah diputuskan dan sedang dirapikan kembali. “Nanti itu akan disampaikan ke Presiden untuk dijadikan UU. Setelah ditandatangani barulah disampaikan ke publik," kata Indra Iskandar, Kamis (8/10).

Presiden Joko Widodo punya waktu 30 hari meneken UU yang diusulkan pemerintahannya itu. Namun tanpa tanda tangan Jokowi pun, UU yang dianggap merugikan buruh dan mengancam lingkungan itu otomatis berlaku setelah 30 hari disahkan di paripurna.

Draf awal RUU Cipta Kerja diserahkan pemerintah ke DPR pada Februari lalu. Kala itu, pemerintah melalui Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan draf mengatur 11 klaster dengan 15 bab berisi 174 pasal. Sebanyak 79 undang-undang direvisi melalui undang-undang omnibus law alias sapu jagat tersebut.

Merujuk catatan Kemenko Perekonomian, setelah melalui 66 kali rapat sejak dijadikan RUU prioritas oleh Baleg DPR pada April lalu, sebanyak tujuh UU dikeluarkan dari omnibus law, tapi empat perundang-undangan dimasukkan, sehingga total ada 76 UU direvisi. Jumlah bab tetap 15, tapi pasal bertambah menjadi 185.

Selama masa pembahasan, pihak DPR mengeklaim ada sekitar 8.000 daftar inventaris masalah (DIM) dalam RUU Cipta Kerja yang diselesaikan dalam waktu enam bulan. Sebagai perbandingan, dua buku RUU KUHP yang belum kelar dibahas sejak 2015 hanya berisi 2.900 DIM.

Sejumlah anggota DPR yang mengikuti sidang paripurna Senin lalu mengeklaim, mereka juga tak mendapatkan naskah fisik maupun digital saat RUU disahkan. “Sudah tiga periode saya jadi anggota DPR, baru kali ini saya punya pengalaman yang tidak terduga. Pimpinan DPR telah mengesahkan RUU yang sesat dan cacat prosedur," ujar anggota Fraksi Partai Demokrat Didi Irawadi, Kamis (8/10).

"Tidak ada selembar pun naskah RUU terkait Ciptaker yang dibagikan saat rapat paripurna tanggal 5 Oktober 2020 tersebut," ia menambahkan.

Didi juga mengungkapkan, undangan rapat paripurna pengesahan diberitahu hanya beberapa jam sebelumnya. Dalam rapat tingkat I pada Sabtu (3/10) malam, pengesahan sebenarnya dijadwalkan Kamis (8/10).

Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menilai ada ketidaklaziman dalam aspek formalitas pembentukan RUU Ciptaker oleh pemerintah dan mayoritas fraksi di Baleg DPR. Menurutnya, saat pengambilan keputusan tingkat I di Baleg dan tingkat II di Rapat Paripurna, draf utuh dan final RUU tersebut belum dibagikan kepada semua fraksi.

"Sesuai kebiasaan ketatanegaraan atau konvensi dalam penyusunan rancangan undang-undang, setiap fraksi dikirimi draf naskah RUU secara utuh yang sudah disepakati dan selesai dibahas," ujarnya.

Kesimpulannya, kata Hidayat, pembahasan RUU tersebut tak memenuhi asas transparansi dan kepatuhan pada aspek legal.

Terkait belum diterimanya draft final RUU Cipta Kerja oleh anggota DPR, Achmad Baidowi menyebut hal tersebut sudah sesuai dengan tata tertib. Sebab, kata Baidowi, hanya ada dua hal yang wajib dibagikan saat rapat paripurna. "Satu, pidato pimpinan DPR pembukaan dan penutupan masa sidang, Pasal 253 ayat 5. Dua, bahan rapat kerja dengan pemerintah dan pakar, Pasal 286," ujar Baidowi.

photo
Sejumlah anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat meninggalkan ruang sidang (walk out) saat pembahasan tingkat II RUU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10). - (Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO)

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitulu mengkritik sengkarut naskah UU Ciptaker tersebut. "Ini jujur nanya. Jadi sebetulnya final dulu baru disahkan atau disahkan dulu baru difinalkan? Dalam dokumen hukum, titik, koma, spasi, typo itu punya konsekuensi. Harusnya yang udah bersih, baru dibawa ke paripurna, bukan?" ujarnya. 

Turunan UU Ciptaker dikebut 

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menargetkan, 40 aturan turunan dari UU Cipta Kerja dapat rampung dalam sebulan. Target ini sesuai dengan arahan dari Presiden Joko Widodo.

Airlangga menjelaskan, aturan turunan dibutuhkan untuk melaksanakan poin-poin dalam UU Cipta Kerja yang baru saja disetujui oleh DPR pada Senin (5/10) itu. "Ada 35 PP (peraturan pemerintah) dan lima perpres (peraturan presiden), diharapkan dapat segera diselesaikan," ujarnya dalam diskusi virtual, Kamis (8/10) pagi.

Airlangga menuturkan, dalam aturan yang ada, peraturan turunan sebenarnya secara formal boleh dirampungkan dalam waktu tiga bulan setelah diundangkan. Akan tetapi, agar UU Cipta Kerja dapat segera dilaksanakan, pemerintah berkomitmen untuk menyelesaikan target sebulan.

Salah satu regulasi yang akan dikebut adalah aturan hukum mengenai sovereign wealth fund (SWF) atau dalam UU Cipta Kerja disebut sebagai Lembaga Pengelola Investasi (LPI). Regulasi turunannya ditargetkan selesai dalam satu pekan, sesuai instruksi Presiden Jokowi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menuturkan, produk hukum turunan dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) itu kini sudah mulai dibuat. "Presiden minta PP-nya selesai paling cepat. Jadi kita lakukan sesuai instruksi Bapak Presiden, satu minggu," katanya dalam konferensi pers virtual, Rabu (7/10).

PP mengenai LPI akan membahas cara-cara pemerintah dalam menghimpun modal awal LPI. Sesuai UU Cipta Kerja, modal awal LPI terdiri atas empat opsi. Pilihan itu adalah dana tunai, barang milik negara, piutang negara pada BUMN atau perseroan terbatas, ataupun saham milik negara pada BUMN atau perseroan terbatas.

Untuk modal awal, Sri berharap, nilainya dapat mencapai Rp 75 triliun atau sekitar 5 miliar dolar AS. Dengan ekuitas itu, pemerintah menargetkan dapat menarik investasi tiga kali lipat. "Sekitar Rp 225 triliun atau 15 billion USD," katanya.

Aturan turunan yang juga akan diselesaikan dalam waktu dekat adalah PP mengenai upah minimum, seiring dengan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. PP ini akan membahas pembaharuan ketentuan dan tata cara penetapan upah minimum serta formulasinya.

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah memastikan, pembahasan PP akan menyertakan pemangku kepentingan ketenagakerjaan, termasuk serikat pekerja atau buruh. Pihak pengusaha juga akan dilibatkan, dengan diwakili oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin). "Kami benar-benar memastikan, pembahasan PP menyertakan stakeholder ketenagakerjaan," ujar Ida, kemarin.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian juga menyebutkan, PP turunan UU Cipta Kerja akan dirampungkan pada bulan depan, sebagaimana perintah Presiden Joko Widodo. "Beliau perintahkan paling lambat bulan depan harus selesai," kata Tito, Rabu (7/10).

Menurut Tito, UU Cipta Kerja akan mempermudah dan menyederhanakan prosedur pengurusan izin di daerah yang selama ini kerap dikeluhkan prosesnya yang panjang. "Akan ada PP untuk menginventarisasi dan mengidentifikasi jenis-jenis usaha apa saja di daerah yang harus disederhanakan dan prosedurnya seperti apa," ujarnya.

 
Besok mulai membuat rencana PP-nya. Minggu depan draf sudah selesai, kami mengundang rekan-rekan asosiasi pemerintah daerah. 
TITO KARNAVIAN, Mendagri
 

Dalam menyusun PP itu, menurut Mendagri, asosiasi pemerintahan daerah, seperti APPSI, Apeksi, Apkasi, Adeksi, dan Adkasi akan ikut diundang untuk memberikan masukan. "Besok mulai membuat rencana PP-nya. Setelah itu, minggu depan draf sudah selesai, kami mengundang rekan-rekan asosiasi pemerintah daerah. Ada lima, yakni asosiasi bupati, wali kota, gubernur, DPRD tingkat I, DPRD tingkat II," kata Tito.

Dengan cara itu, Mendagri berharap, bisa menampung aspirasi dari pemerintah daerah terkait penyusunan PP turunan UU Cipta Kerja. "Kami masukkan dalam tim. Mari kita identifikasi jenis-jenis usaha apa saja yang harus disederhanakan dan bagaimana prosedurnya, itu NSPK, yakni norma, standar, prosedur, dan kriterianya seperti apa. Yang penting intinya adalah mempermudah," kata Mendagri. 

Tito pun mengharapkan, baik legislatif maupun eksekutif, memiliki semangat sama, yakni mempermudah perizinan sehingga lapangan kerja semakin terbuka dan masyarakat juga mudah bekerja. 

Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) Yasonna Laoly membantah ada resentralisasi perizinan di UU Ciptaker. Pemerintah pusat, katanya, akan memberikan batasan waktu kepada pemerintah daerah untuk menjalankan kewenangannya dalam menerbitkan perizinan.

"Perizinan tetap ada di daerah yang sesuai dengan kewenangannya, tetapi diberi batas. Perlu diberi batas waktu," kata Yasonna. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat