Duta Besar RI untuk Republik Federasi Jerman Arif Havas Oegroseno | EPA/Felipe True

Hiwar

Arif Havas Oegroseno: Tantangan Islamofobia di Eropa

Pergeseran dari antisemitisme ke Islamofobia masih terasa bahkan hingga saat ini.

 

Menurut hasil riset Pew Research Center (PRC), pada 2016 umat Islam meliputi 4,9 persen dari total populasi Eropa. Lembaga yang sama juga memprediksi, persentase itu akan terus meningkat dari dekade ke dekade. Pada 2050, Muslimin bahkan diperkirakan mencapai 11,2 persen dari keseluruhan penduduk Benua Biru.

Duta Besar (Dubes) Indonesia untuk Republik Federal Jerman Arif Havas Oegroseno mengatakan, jumlah umat Islam di Eropa memang kian bertambah. Di Jerman, misalnya, ada sekitar lima juta orang pemeluk Islam menurut sensus pada 2016. Angka itu setara 6,1 persen dari keseluruhan penduduk setempat.

Bagaimanapun, Islamofobia masih menjadi tantangan utama bagi Muslimin di Eropa. Menurut Arif, Indonesia sebagai negara demokrasi berpenduduk Muslim terbesar di dunia dapat turut serta mengatasi persoalan tersebut. Caranya, antara lain, melalui kiprah yang dilakukan organisasi-organisasi masyarakat (ormas) Islam dari Tanah Air, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU).

"Beberapa hal mungkin yang bisa dipikirkan oleh teman-teman Muhammadiyah di Jakarta, misalnya, membuka perwakilan Muhammadiyah yang besar di Eropa," ujar alumnus Harvard Law School ini.

Sebagai contoh, lanjut mantan dubes RI untuk Belgia itu, ormas-ormas Islam dapat berkontribusi dalam penyusunan kurikulum pengajaran agama di sana. Dengan begitu, masyarakat Eropa akan lebih memahami sifat wasathiyah Islam yang memang sudah menjadi arus besar (mainstream) di Tanah Air. Hal itu kemudian diharapkan dapat meredakan tensi kecurigaan terhadap Islam atau Islamofobia.

Berikut petikan uraian yang disampaikan diplomat kelahiran Semarang, Jawa Tengah, itu dalam acara pengajian virtual beberapa waktu lalu. Kegiatan yang digelar Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah itu diikuti wartawan Republika, Muhyiddin, dari Jakarta.

Bagaimana perkembangan Islam di Eropa saat ini?

Kalau kita lihat peta yang menunjukkan populasi warga Muslim di seluruh Eropa, itu akan kelihatan di semua negara Uni Eropa. Pasti ada penduduk Muslimya meskipun dengan persentase yang beragam.

Dalam peta itu juga tergambarkan, jumlah umat Islam di Eropa serta proyeksinya di masa depan. Kalau kita lihat, proyeksinya sampai tahun 2050 itu umat Islam akan meningkat secara cukup tajam. Yang menarik juga, ada analisis tentang tingkat kesuburan (fertility rate).

Ternyata, warga Muslim itu punya fertility rate yang tinggi. Artinya, mereka memiliki anggota keluarga yang lebih banyak dibandingkan umat agama-agama lain. Itu turut berkontribusi bagi meningkatnya jumlah pemeluk Islam di Eropa.

Saya juga melihat, tren meningkatnya jumlah Muslim di Eropa terkait masalah konflik di kawasan Timur Tengah. Apakah itu di Suriah atau mungkin sebagian Yaman atau negara-negara di Afrika, termasuk Libya.

Kebijakan di Jerman sendiri cukup terbuka untuk kemungkinan masuknya migran atau pengungsi dari negara-negara kawasan Timur Tengah. Policy ini bukan tanpa tantangan dari kelompok-kelompok tertentu.

Selain faktor demografis atau migrasi, ada juga hal menarik lainnya. Di Eropa, ada kecenderungan jumlah pemeluk Nasrani menurun secara statistik. Salah satu faktornya, jadi ada pajak agama atau pajak gereja. Bagi mereka yang mendeklarasikan dirinya sebagai Nasrani, maka diharuskan membayar pajak itu.

Akhirnya, banyak orang di Eropa yang karena enggan membayar pajak demikian mendeklarasikan dirinya sebagai bukan Nasrani. Padahal, deklarasi itu bukan berarti dia secara iman tidak Nasrani. Bagaimanapun, akhirnya faktor itu membuat banyak gereja kosong dari jamaat. Jadi orang-orang ini lebih ke ekonomi cara berpikirnya.

Apakah Islamofobia masih menjadi isu di Eropa saat ini?

Kalau kita lihat lebih lanjut, ada beberapa aspek yang saat ini bisa menjadi basis pemahaman, mengapa Islamofobia sangat kuat di Eropa. Pertama, tentu karena adanya pemahaman yang salah tentang Islam. Agama ini dianggap sama dengan Arab.

Lebih parah lagi, Islam dianggap sama dengan radikalisme. Karena itu, Islam pun dianggap sebagai suatu simbol yang tidak sesuai dengan modernisme Eropa, tidak sesuai dengan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) atau human rights.

Padahal, kalau kita analisis secara mendalam, nilai-nilai HAM, demokrasi, rasionalitas, itu semua ada dalam Islam. Bahkan, kalau kita lihat perkembangan sains pada abad pertengahan, peradaban Islam berkontribusi besar. Lihat bagaimana sejarah ditemukannya aljabar atau perkembangan fisika serta sains-sains yang lain.

Kedua, mereka sebagian orang-orang Eropa masih trauma terhadap serbuan bangsa Arab atau bangsa Moor, terutama di Portugal dan Spanyol. Ketiga, mereka merasa terancam dengan serangan teroris. Mereka memiliki persepsi, yang biasa melakukan terorisme adalah orang-orang Timur Tengah, termasuk yang bertempat tinggal di Eropa.

Di luar ketiga aspek itu, ada lagi perihal kecemburuan sosial. Sebagai contoh, dahulu ada aturan bahwa anak dari seorang warga negara asing Muslim yang berkartu penduduk Belgia akan mendapatkan tunjangan. Jadi, walaupun ada Maroko atau Aljazair anaknya itu akan mendapatkan tunjangan dari pemerintah Belgia. Sekarang, aturan itu tidak berlaku lagi. Namun, ini sempat juga menjadi suatu faktor yang menimbulkan kecemburuan sosial terhadap umat Islam.

Bagaimana Anda melihat perkembangan kasus Islamofobia di negara-negara Eropa?

Ini sudah menjadi suatu krisis. Saya akan menunjukkan jumlah dan lokasiya di mana saja. Di Austria, misalnya, itu ada lebih dari seribu kasus. Di Jerman juga tinggi sekali. Di Prancis, jumlahnya bisa ribuan kasus. Begitu juga di Finlandia atau Belgia. Di Inggris itu, (kasus Islamofobia) meningkat di atas 3.000 kasus. Di Polandia, trennya juga semakin meningkat.

Jadi, ada peningkatan kasus dalam jumlah yang begitu besar. Malahan, tren ini tidak akan menurun. Sebab, hal ini juga dibarengi dengan munculnya kelompok-kelompok ekstrem kanan di Eropa. Mereka mempunyai kursi di parlemen.

Di Jerman misalnya, partai politik AFD itu mempunyai posisi yang kuat di parlemen. Bahkan, di daerah-daerah tertentu di Jerman mereka menjadi mayoritas. Di Belanda dan Prancis, kondisinya juga tak jauh berbeda.

Kelompok ekstrem itu juga mengusung politik identitas?

Saya cerita tentang pengalaman ketika saya bertugas di Belgia dan Luksemburg. Waktu itu, saya terlibat dalam banyak sekali diskusi dengan para politikus Uni Eropa. Begitu pula dengan LSM (lembaga swadaya masyarakat /LSM) dari berbagai agama, termasuk Islam, Kristen dan Yahudi. Saya banyak bertukar pikiran terkait masalah toleransi dan intoleransi.

Nah, ada satu hal yang saya temukan. Hal ini sangat mendasar dan menjadi alasan, mengapa di Eropa itu levelnya hanya Islam dan Eropa, bukan Islam Eropa. Misalnya di kita (Indonesia), levelnya itu kan sudah Islam Indonesia. Namun, di sana antara Islam dan Eropa masih merupakan dua hal yang terpisah.

Mereka menganggap, nilai-nilai Eropa (European Values) itu pada dasarnya dipengaruhi demokrasi yang berasal dari filsafat Yunani. Adapun sistem hukum mereka dipengaruhi Romawi. Eropa juga mengalami Zaman Pencerahan (Enlightenment), yang di dalamnya hubungan antara gereja (agama) dan pemerintah serta masyarakat terpilah-pilah. Itu ditambah lagi dengan pengalaman Revolusi Industri yang menunjukkan rasionalitas yang kian meningkat.

Keempat aspek itu bagi bangsa Eropa merupakan inti dari European Values. Nah, Islam tidak ada di dalam keempat aspek itu. Oleh karena itu, secara psikologis Islam dinilai sebagai sesuatu yang asing bagi mereka.

Menghadapi fakta demikian, apa yang bisa dilakukan ormas-ormas Islam Indonesia untuk turut meredakan Islamofobia di Eropa?

Tentunya, ormas Islam seperti Muhammadiyah juga bisa berperan aktif. Khususnya, dalam konteks membantu untuk memberikan gambaran bahwa Islam tidak selalu identik dengan Timur Tengah. Pada faktanya, Islam pun tumbuh dan berkembang pesat di Indonesia, negara demokrasi ketiga terbesar di dunia.

Islam juga hidup di negara yang menghargai perempuan. Islam juga hidup di negara yang banyak di dalamnya politikus wanita, anggota kabinet wanita, dan bahkan pernah dipimpin seorang wanita presiden.

Jadi, inilah yang tidak banyak diketahui di Eropa. Sebab, Islam dalam pengertian umum mereka adalah Islam yang ada di Timur Tengah atau Afrika Utara. Adapun Indonesia lebih dikenal sebagai tempat tujuan wisata. Sebut saja daerah-daerah seperti Bali, Yogyakarta, atau tempat-tempat lain.

Indonesia belum banyak dikenal sebagai suatu negara dengan karakteristik Islam yang wasathiyah (moderat) atau Islam yang berkemajuan.

Konkretnya, seperti apa kontribusi yang bisa diupayakan itu?

Beberapa hal mungkin bisa dipikirkan oleh teman-teman Muhammadiyah dan ormas-ormas Islam lainnya di Jakarta. Misalnya, membuka perwakilan Muhamadiyah yang besar di Eropa.

Selain itu, Muhammadiyah bisa berkontribusi dalam penyusunan kurikulum di berbagai tempat di Eropa. Kita juga bisa mengundang tokoh-tokoh Muhammadiyah untuk berceramah atau menjadi narasumber diskusi ke Jerman atau negara-negara Eropa lainnya. Di sana, mereka dapat berbicara terkait studi-studi Islam, dan juga dengan kelompok-kelompok Islam yang ada di Eropa.

Yang tak kalah penting juga, kita harus berbicara dengan orang- orang Eropa yang anti-Islam. Sebab, bila kita hanya bertemu dengan teman-teman Turki atau Maroko yang moderat, itu sudah pasti akan terjadi diskusi yang bagus. Maka, kita perlu juga mengajak mereka yang memiliki pandangan sementara yang negatif terhadap Islam.

Kita di Kedutaan Besar RI (KBRI) juga sudah bekerja sama dengan satu unit di Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Jerman. Unit ini bertugas mempromosikan interreligious dialogue dan diplomasi. Ini bagian dari upaya yang dilakukan oleh Kemenlu Jerman dan kita melalui kerja sama yang ada. Namun, KBRI sendiri masih ingin lebih mendalami dan lebih terstruktur lagi untuk memberikan pandangan-pandangan mengenai Islam.

Misalnya, Islam tidak selalu identik dengan Timur Tengah dan sebagainya.

photo
ILUSTRASI Menurut Dubes RI untuk Jerman Arif Havas Oegroseno, Islamofobia masih menjadi tantangan masa kini di Eropa. - (EPA/UWE ANSPACH)

Di Balik Islamofobia: Faktor Sejarah dan Ideologis

Dalam nada sinis, filsuf Jerman Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770- 1831) pernah berkata, "Satu-satunya yang kita pelajari dari sejarah ialah bahwa kita tidak belajar (memetik hikmah) apa pun dari sejarah." Kutipan tersebut barangkali relevan untuk menjelaskan geliat Islamofobia di Eropa hari-hari ini.

Duta Besar (Dubes) Indonesia untuk Republik Federal Jerman Arif Havas Oegroseno mengatakan, ada semacam trauma sejarah yang masih terasa di tengah masyarakat Eropa.

Sebagai contoh, Jerman, negara yang pernah mengalami rezim Nazi di bawah pimpinan Adolf Hitler (1921-1945). Pada waktu Perang Dunia II, salah satu wujud ideologi Nazi ialah antisemit atau permusuhan yang keras terhadap kaum Yahudi.

Dalam berbagai kesempatan, Hitler menyalahkan Yahudi sebagai biang keterpurukan Jerman pasca-Perang Dunia I. Hasilnya, si pemimpin berkumis irit itu memerintahkan perburuan dan eksekusi atas Yahudi. Ratusan ribu orang menjadi korban di kamp konsentrasi yang dibangunnya.

Seiring dengan akhir Perang Dunia II, Hitler mati bunuh diri. Ideologi yang dikembangkannya pun menjadi terlarang di seluruh Jerman. Namun, ideologi yang senada kemudian muncul meskipun sasarannya bukan lagi Yahudi, melainkan Islam. Menurut Arif, pergeseran dari antisemitisme ke Islamofobia masih terasa bahkan hingga saat ini.

"Sejarahnya adalah, awalnya antisemit atau anti-Yahudi, bukan Islamofobia. Nah, sekarang sudah berubah dan bergeser ke arah Islamofobia," ujar diplomat kelahiran Semarang, Jawa Tengah, itu saat menjadi narasumber pengajian bulanan Muhammadiyah yang bertajuk "Islam dan Islamofobia di Eropa", beberapa waktu lalu.

Ia menjelaskan, akar kemunculan gerakan-gerakan berbahaya, semisal antisemitisme atau Islamofobia, ialah ideologi yang bersifat eksklusif. Artinya, pengusung ideologi tersebut meyakini orang lain berbeda dan harus selalu di luar masyarakat Eropa.

Pada zaman Nazi, orang lain itu adalah Yahudi. Kini, yang dimaksud adalah Muslimin. Jadi, mungkin sebenarnya core-nya itu bukan terhadap Islam atau terhadap Yahudi, tetapi lebih kepada our difference.

"Jadi, 'kamu berbeda sehingga menjadi masalah buat kami', kira-kira begitu," ucapnya.

"Ini isu kompleks yang tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Tetapi, menurut saya, Muhamma diyah sebagai satu organisasi Muslim terbesar bisa memberikan pemikir an-pemi kiran agar diterapkan di sini (Eropa)," tutupnya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat