Bagi Nuraeni, pakaian Muslimah merupakan semacam rem agar dirinya selalu ingat Allah SWT serta berupaya bertakwa kepada-Nya | DOK PRI

Oase

Nuraeni: Hijrah Itu Perlu Proses

Penerimaan proses hijrah yang diajarkan oleh sang suami tidaklah mudah.

 

 

OLEH RATNA AJENG TEJOMUKTI

Dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 208, Allah SWT menyuruh manusia agar memeluk Islam secara utuh. Arti ayat itu, “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah), dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia (setan) musuh yang nyata bagimu.”

Tentunya, tidak mudah untuk menjalani perintah Ilahi. Sebab, masing-masing orang memiliki kemampuan dan batasannya sendiri. Akan tetapi, dengan niat yang tulus ikhlas insya Allah Zat Yang Mahakuasa akan menurunkan pertolongan-Nya.

Hal itu pula yang diyakini Nuraeni. Perempuan usia 32 tahun ini berharap, dirinya akan terus istikamah mendalami Islam. Meskipun sejak kecil sudah memeluk agama ini, ia cenderung jauh dari pola kehidupan yang islami. Apalagi, ia akui, keluarganya tidak termasuk kalangan yang cukup taat beribadah. Alhasil, dirinya terbiasa menjalankan perintah-perintah agama dalam rangka ibadah wajib belaka.

Sejak SMP, sebenarnya Nuraeni sering mengikuti kajian keagamaan. Namun, pembahasan tentang Islam saat itu tidak mudah dia cerna. Karena itulah, dia menjadi kurang tertarik untuk terus aktif dalam menuntut ilmu-ilmu agama. Ketika teman-temannya sibuk dalam berbagai organisasi keagamaan atau pengajian, ia cenderung menjauh.

Menginjak masa SMA, kondisi ekonomi keluarganya sempat didera kesulitan. Perempuan yang akrab disapa Nur itu dihadapkan pada ujian. Kedua orang tuanya bercerai. Terpaksa, ia saat itu tinggal bersama kakaknya.

photo
Nuraeni (32 tahun) menuturkan, diirnya baru mulai berhijab sejak masih SMA. Sejak saat itu, ia mulai berupaya rutin mengikuti kajian-kajian keislaman - (DOK IST)

"Saya mengenakan jilbab saat kelas satu SMA. Namun, karena keadaan ekonomi yang sulit, saya hanya berjilbab seadanya," ujar Nuraeni saat menuturkan kisahnya kepada Republika beberapa waktu lalu.

Keadaan Nur ketika itu tidak memungkinkan dia untuk membeli seragam sekolah baru yang menutup aurat. Untuk biaya sekolah saja, Nur menuturkan bahwa dia mengandalkan beasiswa untuk siswa kurang mampu.  

Karena tidak mampu membeli seragam baru, Nur mengganti bawahan pendek dengan celana panjang berwarna sebagaimana seragam sekolah. Untuk atasan, dia tetap mengenakan seragam lengan pendek dan melapisinya dengan jaket. Sementara itu, untuk penutup kepala, dia hanya mengenakan kerudung pendek.

Nur mengatakan bahwa pakaian dan jilbabnya saat itu dia maksudkan sekadar untuk menggugurkan kewajiban menutup aurat. Diakui oleh dia, perilaku, tutur kata, dan ibadah hariannya belum sejalan dengan penampilannya.  

Setelah lulus SMA, karena tidak memiliki cukup biaya, Nur memutuskan untuk bekerja dan tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

Perempuan yang lahir dan tumbuh besar di Bogor, Jawa Barat, ini melamar kerja di berbagai perusahaan yang menerima lulusan SMA. Dia pun diterima bekerja di sebuah perusahaan sepatu. Tak lama setelah mulai bekerja, dia bertemu dengan jodohnya dan melangsungkan pernikahan.  

Nur bersyukur bertemu dengan lelaki yang kini menjadi suaminya. Pria lulusan D-3 Tarbiyah ini benar-benar membimbingnya untuk lebih mendalami Islam, terutama dari aspek akhlak.

Namun, penerimaan proses berhijrah yang diajarkan oleh sang suami tidaklah mudah. Menikah di usia yang relatif muda, 19 tahun, pikirannya pun diakui masih terpaut sikap egois. Komunikasi sering kali menjadi kendala untuk menjaga harmoni rumah tangga.

Awalnya, dia berpikir bahwa dalam hal berjilbab yang penting hanyalah menutup aurat. Kerudung tidak perlu panjang. Pakaian tidak perlu longgar. Ia merasa, Muslimah boleh-boleh saja mengenakan celana ketat, baik berbahan jeans maupun model lain.

"Padahal, suamiku lebih suka aku mengenakan jilbab yang terulur panjang melebihi dada dan mengenakan gamis, tetapi hati belum mampu menerimanya," ujar dia.

Terkadang, saat itu Nur dan suaminya bisa bertengkar hanya karena masalah ringan. Umpamanya, beberapa helai rambutnya tampak atau kerudung yang ia kenakan tak rapi. Dalam hatinya, sempat muncul pertentangan. Sulit rasanya menjalani Islam dengan aturan yang dirasa begitu dekat.

Kondisi tersebut berlangsung selama beberapa tahun. Tatkala usia pernikahannya menginjak tahun kelima, justru suami lebih bersikap akomodatif. Perdebatan yang terkesan remeh kian jarang terjadi. Nur pun diizinkan untuk memakai pakaian selain gamis. Bagaimanapun, aturannya tetap berlaku: pakaian mesti longgar dan tidak ketat.

Melunaknya suami ternyata bagaikan api dalam sekam. Rumah tangganya dua tahun kemudian mendapat ujian besar.R

 
umah tangganya dua tahun kemudian mendapat ujian besar.
 
 

Suaminya menikah kembali. Awalnya, Nur sempat terguncang karena tak menyangka harus berbagi kasih sayang suaminya dengan orang lain. Akan tetapi, lama kelamaan ia menanggapi dengan lapang dada. Dia pun menerima dengan tangan terbuka sosok pilihan suaminya.

Sejak saat itu dia kembali membenahi diri, mulai kembali berpakaian lebih tertutup. Namun dia belum bisa istiqamah, terkadang dia sesekali masih mengenakan pakaian bukan gamis.

Seiring berjalannya waktu, perekonomian rumah tangganya semakin membaik. Suaminya pun diangkat sebagai manajer di perusahaan tempatnya bekerja. Berbagai kebutuhan pangan, sandang, dan papan pun semakin mudah terpenuhi.  

Tetapi di balik itu semua, nyatanya ada ujian sebuah batu besar yang siap menghantamnya. Nur seakan-akan lalai, semua harta miliknya hanyalah titipan dari Allah SWT. Suatu saat, mungkin saja akan kembali kepada Sang Pemilik sesungguhnya.

Dia menjadi sibuk bergaul seperti layaknya sosialita. Meskipun tetap rutin menghadiri majelis taklim, saat di lokasi dirinya larut dalam obrolan yang tak perlu. Malahan, ia justru lebih bersemangat dalam memborong pakaian seragam pengajian atau bahkan berganti-ganti setelan busana.

Ujian kembali menghampirinya. Perusahaan tempat suaminya bekerja nyaris bangkrut. Sayangnya, sang suami termasuk yang kena pemutusan hubungan kerja (PHK). Dalam masa sukar itu, Nur seperti tersadarkan. Ia pun kembali berusaha mendekatkan diri kepada Allah SWT, merenungi langkah-langkah keliru yang telah ia ambil sejauh ini.

Setelah dapat menenangkan diri, ia kembali menyusun rencana. Tidak bisa lagi ia sekadar berpangku tangan. Ia harus memutar otak untuk mencari penghasilan lain. Dari uang tabungannya, ia memperoleh modal untuk berjualan dan membuka kedai bakso.

Nur dan suaminya saling mendukung untuk menghidupkan usaha ini. Tidak perlu merasa malu meskipun sebelumnya sang suami memiliki jabatan tinggi.

Walaupun penghasilannya sempat menurun drastis, Nur merasa ada hikmah di balik setiap peristiwa. Rumah tangganya tak lagi dilanda “madu”. Lama kelamaan, istri kedua suaminya lebih memilih berpisah. Ya, suaminya kini kembali utuh hanya untuk dirinya seorang.

Ternyata, belum bisa bernapas lega. Selang beberapa bulan kemudian, musibah datang menghampiri. Sekelompok penagih utang (debt collector) mendatangi rumahnya. Mereka menagih utang yang sudah cair atas nama suami Nur. Jumlahnya mencapai ratusan juta rupiah. Dan, dana sebanyak itu sudah dihabiskan untuk istri kedua yang sudah pergi itu.

Nasi sudah menjadi bubur. Mau tak mau, utang itu harus dilunaskan. Sebagai konsekuensinya, Nur berupaya hidup sehemat mungkin. Hal itu dilakukannya dengan terus berdoa, memasrahkan diri kepada Allah SWT.

Demi melunasi utang tersebut, Nur dan suaminya mulai mengubah gaya hidupnya. Beberapa aset yang dimiliki seperti rumah dan tabungan habis untuk melunasi utang.

Kini selain kedai bakso, suaminya pun bekerja sebagai ojek daring. Meski di masa pandemi penumpang dan pesanan sepi, dia tetap bersyukur dengan penghasilan yang diperoleh. Tak lupa, dirinya terus menguatkan semangat sang suami.

Di masa pandemi ini dia memutuskan untuk mengenakan cadar. Meski berulang kali suaminya mengingatkan bahwa cadar tidak wajib dan ketika mengenakannya bukan main-main. Nur yakin untuk bercadar dan menutup auratnya dengan lebih baik.

 
Di masa pandemi ini dia memutuskan untuk mengenakan cadar.
 
 

"Sekarang saya merasa, jika tidak mengenakan kaus kaki atau cadar saja, rasanya seperti tidak mengenakan pakaian," ujar dia.

Nur meyakinkan keluarga dan teman-temannya, bahwa dia tidak mengikuti aliran atau dan golongan manapun. Pilihannya untuk mengenakan cadar murni dari kesadaran hatinya sendiri. Dengan tekad untuk lebih menjaga dirinya. Sebab, cadar itu baginya seperti sebuah rem bilamana godaan datang untuk lalai dari perintah Allah SWT.

"Malu rasanya bercadar jika shalat masih terlambat. Juga sejak melihat saya bercadar, suami terlihat lebih bahagia. Ternyata, ini jawaban atas perintah suami di awal-awal pernikahan kami agar saya menutup aurat secara syari," tutur dia.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat