Buku karya Syed Hussein Alatas ini mengulas tentang salah satu mitos kolonial, yakni bahwa pribumi cenderung pemalas | DOK GOODREADS

Kitab

Bantahan atas Prasangka Kolonial

Dengan berpegang pada mitos kolonial, penguasa hanya berusaha menyuburkan mental jongos.

OLEH HASANUL RIZQA

Sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara meyakini adanya motif agama di balik kemunculan penjajahan yang dilakukan bangsa-bangsa Eropa sejak abad ke-16 hingga 20. Menurut dia dalam Api Sejarah, imperialisme Barat dilahirkan dari Perjanjian Tordesilas Spanyol pada 7 Juni 1494.

Kesepakatan tersebut mempertemukan dua kerajaan Katolik besar di Benua Biru kala itu, Portugis dan Spanyol. Dengan diperantarai Paus Alexander VI, disepakatilah bahwa Portugis berhak menguasai dunia belahan timur, sedangkan untuk Spanyol dunia belahan barat.

Bangsa-bangsa Eropa yang sukses memperluas kekuasaannya di Asia dan Afrika belakangan tidak hanya Portugis dan Spanyol, tetapi juga Belanda, Inggris, Belgia, dan Jerman. Sementara itu, Eropa memasuki Abad Pencerahan (Age of Enlightenment) sejak 1800-an hingga 1900-an.

Pada masa itu, rasionalisme dan sekularisme lebih disukai kaum terpelajar daripada dogma-dogma agama. Orang-orang Eropa pun mulai menumbuhkan solidaritas atas kesamaan identitas negara-bangsa (nation-state), alih-alih iman atau sekte keagamaan belaka.

Seiring dengan perkembangan teknologi produksi dan transportasi, semangat penjajahan lebih didorong motif ekonomi daripada agama (gospel). Tiap negara kolonial berambisi mengumpulkan kapital sebanyak-banyaknya.

Untuk mewujudkan ambisi itu, dalih yang dipakai bukan lagi menyelamatkan domba-domba tersesat. Berbagai mitos kolonial pun dikukuhkan. Caranya dengan memandang masyarakat terjajah sebagai sang lain yang terbelakang sehingga perlu diberadabkan.

Buku Mitos Pribumi Malas karya Syed Hussein Alatas membedah salah satu mitos kolonial, yakni masyarakat pribumi sebagai kelompok pemalas. Orang-orang yang menjadi fokus kajian sosiolog kelahiran Bogor, Jawa Barat, itu adalah penduduk Jawa (Indonesia), Melayu (Malaysia), dan Filipina dalam rentang abad ke-16 hingga 20. Ketiga negara di Asia Tenggara itu dijajah bangsa-bangsa Eropa yang berlainan, yakni Belanda, Inggris, dan Spanyol.

Alatas mengawali uraiannya dengan mengingatkan ledakan kolonialisme yang dahsyat pada abad ke-19 diiringi oleh kecenderungan intelektual yang mencari-cari pembenaran atas gejala tersebut. Kolonialisme atau dalam skala yang lebih besar, imperialisme, tak hanya suatu kepanjangan kedaulatan oleh satu bangsa dan pemerintahannya terhadap yang lain, tetapi juga suatu pengawasan atas pikiran masyarakat terjajah (hlm 26). Buku tersebut berupaya untuk memeriksa dengan perspektif dan cara apa aparatus-aparatus kolonial mengawasi dan menghakimi tingkah laku orang-orang pribumi.

 
Bagi sang gubernur jenderal, pola pikir bangsa Jawa tak ubahnya bocah Belanda usia 12 atau 13 tahun.
 
 

Asal stigma

Dengan teliti, Alatas membedah dari mana datangnya stigma pribumi pemalas. Pertama-tama, dirinya melihat pada penelitian Denys Lombard yang tertuang dalam Le Carrefour Javanais (Nusa Jawa: Silang Budaya). Ahli sejarah Asia Tenggara asal Prancis itu menyebutkan salah satu contoh cara pandang kolonial terhadap masyarakat pribumi. Para pejabat kolonial tidak habis pikir, mengapa orang-orang pribumi banyak membuang-buang waktu dengan bersantai, alih-alih menyelesaikan pekerjaannya.

Yang dimaksud dengan pekerjaan tentunya dalam perspektif kolonial juga. Atas dasar itu, Lombard menyimpulkan, citra pemalas --yang terwujud dalam ujaran banyak mem buang-buang waktu dengan bersantai-- sebenarnya bukanlah sifat inheren masyarakat pribumi.

Bila dianggap inheren, hadir atau tidaknya kolonialisme di Asia Tenggara tetap saja tak akan mengubah citra itu. Artinya, ada tidaknya penjajahan Eropa tetap saja masyarakat pribumi pemalas.

Alatas mengkaji lebih jauh temuan Lombard. Ia berargumen, apa yang dianggap oleh penguasa kolonial sebagai tabiat pemalas dari masyarakat pribumi justru merupakan bentuk perlawanan terhadap kolonialisme.

Sebagai contoh, ia menemukan bahwa dokumen-dokumen Belanda sejak abad ke-17 hingga 18 amat sedikit menyinggung soal kemalasan pribumi. Baru setelah diterapkannya sistem tanam paksa (cultuurstelsel) pada 1830 mulailah bermunculan tuduhan-tuduhan dari pihak kolonial, betapa pemalasnya masyarakat pribumi, yakni Jawa.

Di Jawa, cultuurstelsel memungkinkan Belanda untuk mengatur langsung tenaga kerja lokal. Masyarakat setempat dipaksa menanam berbagai jenis tanaman komoditas yang bernilai ekspor tinggi. Target-target yang ditetapkan juga selalu begitu membebani kalangan petani setempat.

Amsterdam menaruh seorang yang berperangai keras, yakni Van den Bosch, sebagai gubernur jenderal Hindia Belanda.

Alatas menemukan, Van den Bosch tidak hanya mengecap kaum pribumi sebagai pemalas, tetapi juga kekanak-kanakan. Bagi sang gubernur jenderal, pola pikir bangsa Jawa tak ubahnya bocah Belanda usia 12 atau 13 tahun.

Jalannya tanam paksa di Jawa kian menyengsarakan kaum pribumi, sedangkan keuntungan mengalir deras ke pundi-pundi kolonial di negeri Belanda. Keengganan pribumi untuk menjalankan tanam paksa dipandang sebagai kemalasan. Hal itu sesungguhnya dideteksi oleh kalangan Belanda sendiri, khususnya kelompok yang berhaluan politik liberal.

Seorang humanis Belanda, Eduard Douwes Dekker, menulis novel fenomenal, Max Havelaar (1860). Menurut Alatas, karya tersebut secara keras berupaya melawan mitos pribumi malas. Multatuli --demikian nama samarannya-- dalam novelnya itu mempertanyakan, mengapa yang bekerja di perkebunan-perkebunan komoditas ekspor bukan orang Eropa saja yang tinggal di koloni?

Toh, sistem ekspor itu sangat timpang, hanya menguntungkan bangsa Eropa. Mengapa harus tenaga kerja pribumi yang melakukannya? Ambil contoh para tentara Belanda kulit putih. Bukankah mereka menjalani kehidupan yang keras pula di Jawa sehingga dapat dikatakan terbiasa 'kerja paksa'?

Menurut Multatuli, reaksi masyarakat Jawa yang malas-malasan terhadap kerja paksa sebenarnya merupakan protes diam-diam terhadap pemerintah kolonial. Ada harga diri pribumi di balik kemalasan mereka.

Dengan berpegang pada mitos kolonial, yakni pribumi malas, penguasa ternyata hanya berusaha menyuburkan mental jongos sekaligus memudarkan mental pejuang dan kewirausahaan (entrepreneurship) masyarakat pribumi.

"Mereka (kolonial) mempertalikannya dengan ciri-ciri pribumi yang mereka ciptakan sendiri. Setelah kekuatan kolonial melindas golongan pedagang pribumi terkemuka, pribumi dituduh tidak berminat dalam perdagangan, kata Alatas (hlm 283).

 
Setelah kekuatan kolonial melindas golongan pedagang pribumi terkemuka, pribumi dituduh tidak berminat dalam perdagangan.
 
 

Secara keseluruhan, buku Mitos Pribumi Malas sangat layak dibaca untuk membuka mata kesadaran kita. Betapa dampak penjajahan tidak hanya pada terkurasnya sumber daya alam, tetapi juga mental yang selalu merasa diri inferior. Padahal, sikap rendah diri itu hanyalah citra yang ditanamkan aparatus-aparatus kolonial terhadap bangsa terjajah.

Buku yang kerap dikutip presiden keempat Indonesia, almarhum KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, ini juga dapat dipandang sebagai sebuah pleidoi dari bangsa pribumi di Indonesia, Malaysia, maupun Filipina yang berabad-abad dituduh sebagai pemalas oleh pihak penjajah. Dalam hal ini, kita patut berterima kasih pada sang penulis.

DATA BUKU

- Judul : Mitos Pribumi Malas: Citra Orang Jawa, Melayu dan Filipina dalam Kapitalisme Kolonial (diterjemahkan dari The Myth of the Lazy Native)

- Penulis : Syed Hussein Alatas

- Penerjemah: Achmad Rofi'ie lPenerbit : LP3ES Jakarta

- Tebal : x+358 halaman

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat