Aksi Mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR di Jakarta (19/05/1998), Tim Mawar disebut terlibat penculikan mahasiswa yang mendorong reformasi kala itu. | DOKREP

Nasional

Eks Tim Mawar akan Berdinas di Kemenhan

Anggota Tim Mawar sebelumnya telah divonis bersalah Pengadilan Militer terkait penculikan mahasiswa pada 1998.

JAKARTA -- Mutasi enam perwira tinggi (pati) atau pejabat eselon I di Kementerian Pertahanan (Kemenhan) terjadi. Hal itu tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 166/TPA Tahun 2020 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan dari dan dalam Jabatan Pimpinan Tinggi Madya di Lingkungan Kemenhan.

Keppres tersebut ditandatangani Presiden Joko Widodo pada Rabu (23/9). Mereka semua nantinya bertugas membantu Menteri Pertahanan Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto dalam menjalankan tugas membangun kekuatan pertahanan RI. Berdasarkan salinan yang didapat Republika pada Jumat (25/9), terdapat enam jabatan strategis di lingkungan Kemenhan yang diganti.

Dua jenderal di antaranya merupakan anggota Tim Mawar kala Prabowo menjadi komandan jenderal (Danjen) Kopassus pada 1997-1998. Berdasarkan dakwaan dalam persidangan Tim Mawar pada 1998 di Pengadilan Militer Jakarta, tim tersebut dibentuk Mayor Bambang Kristiono pada Juli 1997.

Di Tim Mawar, Bambang membawahkan 10 orang anggota, yakni Kapten Inf FS Multhazar, Kapten Inf Nugroho Sulistiobudi, Kapten Inf Untung Budiarto, Kapten Inf Joko Budi Utomo, Kapten Inf Fauka Nurfarid, Kapten Inf Yulius Selvanus, dan Kapten Inf Dadang Hindrayuda.

Keduanya adalah Brigadir Jenderal Dadang Hendrayudha yang saat ini menjadi kepala Biro Umum Sekretariat Utama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Dadang dipromosikan menjadi Dirjen Potensi Pertahanan (Pothan) Kemenhan menggantikan Prof Bondan Tiara Sofyan.

photo
Tentara berjaga-jaga saat aksi unjuk rasa mahasiswa di Jakarta pada 1998. - (DOKREP)

Kedua, Brigjen Yulius Selvanus yang kini menjadi Komandan Korem (Danrem) 181/Praja Vira Tama dipromosikan menjabat kepala Badan Instalasi Strategis Pertahanan (Bainstrahan) yang kini diemban Mayjen Joko Supriyanto. Adapun Mayjen Joko digeser menjadi kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badiklat) Kemenhan menggantikan Laksamana Muda (Laksda) Benny Rijanto Rudy.

Kepala Biro Humas Setjen Kemenhan Brigjen IE Djoko Purwanto membenarkan salinan kepres penggantian pejabat eselon I di lingkungan Kemenhan. Hanya saja, mutasi tersebut masih menunggu keputusan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto. “Masih menunggu proses selanjutnya, Skep (Surat Keputusan) Panglima TNI,” kata Djoko kepada Republika, Jumat.

Brigjen Dadang maupun Brigjen Yulius akan mendapat promosi kenaikan bintang menjadi berpangkat Mayjen di jabatan barunya nanti. Sebelumnya, eks Komandan Tim Mawar Mayjen (Purn) Chairawan Kadarsyah Kadirussalam Nusyirwan sudah lebih dulu bergabung di Kemenhan. Dia menjadi satu dari lima Asisten Khusus yang diangkat Prabowo berdasarkan Keputusan Menhan Nomor: Kep/1869/M/XII/2019 tentang Pengangkatan Asisten Khusus Menhan per 6 Desember 2019.

Penunjukan dua eks anggota Tim Mawar menjadi pejabat baru di Kemenhan dinilai sebagai sinyal yang mengkhawatirkan. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai, hal ini bukan sekadar pragmatisme politik kekuasaan, tetapi juga penghinaan terhadap HAM yang ditetapkan di era Reformasi.

“Perkembangan ini mengirimkan sinyal yang mengkhawatirkan bahwa para pemimpin Indonesia telah melupakan hari-hari tergelap dan pelanggaran terburuk yang dilakukan di era Soeharto,” kata Usman kepada Republika.

Usman mengatakan, dengan menempatkan eks Tim Mawar di jabatan strategis dan strukural di pemerintahan, maka Presiden Joko Widodo dan DPR akan semakin dinilai melanggar janjinya. Amnesty menyerukan pemerintah memastikan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu diselidiki secara menyeluruh.

photo
Aksi mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR di Jakarta (19/05/1998). Aksi untuk melengserkan Presiden Soeharto ini dilakukan setelah peristiwa penembakan terhadap mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998 yang membuat seluruh masyarakat marah dan berduka - (DOKREP)

Persidangan

Tim Mawar Kopassus yang didakwa terlibat kasus penculikan aktivis radikal, dijatuhi hukuman pada April 1999. Catatan Republika kala itu merekam Majelis Hakim Mahmilti II Jakarta yang dipimpin Kol CHK Susanto memutuskan hukuman bervariasi terhadap 11 terdakwa. 

Mayor Inf Bambang Kristiono, mantan Dan Yon IV-2 Grup IV/Sandhi Yudha Kopassus, diganjar satu tahun dan 10 bulan penjara dipotong masa tahanan, serta dipecat dari dinas ABRI. Bambang beserta terdakwa lainnya dinyatakan terbukti bersalah menghilangkan kemerdekaan orang lain dengan memenuhi unsur pidana seperti diatur Pasal 328 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 333 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Majelis hakim juga memutuskan hukuman satu tahun dan delapan bulan penjara dipotong masa tahanan serta dipecat dari ABRI bagi Kapten Inf FS Multhazar, Kapten Inf Nugroho Sulistyo Budi, Kapten Inf Yulius Silvanus, dan Kapten Inf Untung Budi Harto.

Kemudian hukuman satu tahun dan empat bulan penjara dipotong masa tahanan diberikan kepada Kapten Ing Dadang Hendra Yudha, Kapten Inf Djaka Budi Utama, dan Kapten Inf Fauka Noor Farid. Sedang hukuman satu tahun penjara dipotong masa tahanan diberikan kepada Serka Sunaryo, Serka Sigit Sudianto, dan Sertu Sukadi.

Para terpidana itu tergabung dalam Tim Mawar yang dipimpin Bambang, dan menurut pengakuannya dalam sidang, dibentuk atas inisiatif sendiri untuk mengendalikan aktivis-aktivis radikal yang mengancam keselamatan nasional. Tim ini kemudian mengaku menculik sembilan aktivis radikal. Di antaranya Andi Arief, Desmond J Mahesa, Pius Lustrilanang, dan Nezar Patria.

photo
Menhan Prabowo Subianto bersiap mengikuti rapat kerja dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (9/9).  - (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Putusan majelis hakim tersebut sebetulnya lebih rendah daripada tuntutan Oditur Militer (Odmil) Kolonel CHK Harom Widjaja. Harom semula menuntut 26 bulan penjara dan pemecatan dari ABRI bagi Bambang, Multhazar, Nugroho, dan Yulius. Sedangkan Dadang, Djaka, dan Fauka semula dituntut 22 bulan dan pemecatan. Sementara Sunaryo, Sigit, dan Sukadi dituntut 15 bulan. 

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan hal yang meringankan adalah para terdakwa masih muda dan belum pernah dihukum, bersikap terus terang, menyatakan menyesal dalam persidangan, serta masih mempunyai kesempatan untuk kembali ke jalan yang benar. Sementara hal yang memberatkan adalah tindakan terdakwa dianggap mencemarkan nama lembaga ABRI, TNI AD, dan kesatuan Kopassus. "Tindakan mereka ini akan mengakibatkan terpisahnya ABRI dengan rakyat," kata Susanto.

Sejumlah prajurit yang dipecat kemudian mengajukan banding dan akhirnya sanksi pemecatan tak dikenakan atas mereka. Mereka terus meniti karier di TNI dan meduduki beberapa posisi penting. Dari para terdakwa, hanya Mayor Bambang Kristiono yang diberhentikan. Lima lainnya terbebas dari pemecatan dan dikurangi hukuman penjaranya.

Pada 2014 lalu, mantan komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Mayor Jenderal TNI (Purn) Syamsu Djalal sempat menyatakan bahwa Tim Mawar mengaku mendapatkan perintah dari komandan jenderal (danjen) Kopassus terkait pelaksanaan operasi penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998.

"Komandan Tim Mawar mengakui penculikan atas perintah komandannya (Danjen Kopassus)," kata Syamsu dalam Konsolidasi Nasional Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) saat itu. Syamsu menambahkan, Tim Mawar mendapatkan perintah dari danjen kopassus yang saat itu dijabat Prabowo Subianto.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat