Seorang murid SDN Dringo mengikuti Penilaian Tengah Semester (PTS) dengan metode pembelajaran dari rumah di Desa Dringo, Wonotunggal, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Kamis (24/9). Hubungan guru, orang tua, dan siswa harus menjadi pola dialogis yang terkon | Harviyan Perdana Putra/ANTARA FOTO

Opini

Dialog Guru, Orang Tua, dan Siswa

Hubungan guru, orang tua, dan siswa harus menjadi pola dialogis yang terkoneksi erat secara emosional.

ANGGI AFRIANSYAH, Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI

Pendidikan merupakan laku menyeluruh yang melibatkan berbagai aktor. Bicara pendidikan anak maka relasi guru, orang tua, dan anak menjadi krusial.

Aspek penting yang sering dilupakan dalam proses membangun pendidikan adalah komunikasi antara guru, orang tua, dan anak. Orang tua pasti memiliki imaji ideal tentang pendidikan anak-anaknya.

Biasanya, imaji tersebut dibangun berdasarkan rangkaian stock of knowledge yang didapat dari pengalaman dan bacaan-bacaan. Bagi masyarakat perkotaan, bangunan informasi yang begitu banyak juga menentukan pilihan pendidikan orang tua untuk anak-anaknya.

Kadang, orang tua lupa apa yang mereka imajinasikan atau proyeksikan bagi anak-anak tak sesuai kebutuhan atau keinginan anak. Kita sebagai orang tua, sering luput memastikan apa sebetulnya aspirasi sang anak.

 

 
Kadang, orang tua lupa apa yang mereka imajinasikan atau proyeksikan bagi anak-anak tak sesuai kebutuhan atau keinginan anak.
 
 

 

Ketika itu terjadi, ketegangan orang tua dengan anak jika mereka sudah mampu mengartikulasikan keinginannya, sangat mungkin terjadi. Anak, berapa pun usia mereka, tentu memiliki kehendak. Sebaiknya, aspirasi anak didengar orang dewasa di sekitar mereka.

Karena itu, dialog dengan anak menjadi sangat penting untuk mengetahui aspirasi, keinginan, atau kegelisahannya. Membiasakan dialog dengan anak, memang bukan perkara mudah.

Ketika menjadi guru di salah satu sekolah bagi anak-anak kelas menengah atas, ada satu hal yang penulis pelajari, kebutuhan finansial yang secara lengkap dihadirkan orang tua bagi anak-anak mereka bukanlah utama.

Kecukupan pemenuhan finansial memang salah satu hal yang wajib dipenuhi orang tua, tetapi tak berhenti pada hal tersebut. Harus ada atensi penuh kasih dan kehadiran orang tua dalam setiap proses perkembangan anak-anak.

Misalnya, yang paling sederhana, anak-anak butuh sosok orang dewasa yang mau mendengarkan mereka tanpa interupsi dan suguhan nasihat bertubi-tubi atau bahkan menghakimi. Utamanya, bagi mereka yang sudah menanjak dewasa.

 

 
Sering kita yang sudah lebih dewasa menganggap apa yang diungkapkan anak adalah perkara remeh-temeh. 
 
 

 

Ada momen, anak-anak sebenarnya hanya ingin didengar. Orang tua dan guru sebagai sosok orang dewasa di sekitar anak perlu menjadi pendengar yang baik. Perkara mendengarkan, memang bukan hal mudah karena memerlukan ketangguhan.

Sering kita yang sudah lebih dewasa menganggap apa yang diungkapkan anak adalah perkara remeh-temeh. Namun, mungkin bagi anak, ketika kita mau mendengar mereka, kita adalah sosok yang mau menghargai ide-ide atau kegelisahan sang anak.

Akan ada momen saat suara kita lebih didengar anak-anak. Colorasso mengutip Schulman dan Mekler (2008) menyatakan, dalam konteks pembangunan moral, misalnya, mengajak orang tua agar mengajarkan anak belajar bertanggung jawab atas setiap konsekuensi tindakannya, percaya diri atas kemampuannya membuat keputusan-keputusan baik, dan mengevaluasi alasan-alasan tindakan atau keputusan anak.

Memberi ruang bagi anak menyuarakan argumen, sangat penting. Jangan sampai, argumen dari anak ditutup karena orang tua merasa menjadi pusat otoritas. Yang paling penting, setiap argumen harus dapat dipertanggungjawabkan.

Mengapa mereka perlu menyampaikan argumen? Jika orang tua sebagai sosok terdekat tak mau mendengar argumen anak-anak atau menjadi pendengar yang baik, anak- anak dengan mudah mencari sosok lain yang dapat mendengarkan yang ingin mereka sampaikan.

Hubungan dialogis

Jika bicara proses pendidikan, hubungan guru, orang tua, dan siswa harus menjadi pola hubungan dialogis yang terkoneksi erat secara emosional. Manusia dialogis, jika merujuk pada Freire (2008) adalah mereka yang punya rasa percaya terhadap manusia lain.

Konteks Freire memang dalam membangun dialog antara penindas dan tertindas atau pihak yang termarginalkan. Namun, apa yang disampaikan sangat relevan jika kita ingin membangun hubungan dialogis antara guru, orang tua, dan siswa.

 
Pada praktiknya, membangun relasi dialogis bukan perkara mudah. Sebab, orang dewasa biasanya memiliki ego dan harapan besar terhadap anak-anak mereka.
 
 

Sering, orang tua dan guru tak menyadari mereka menjadi para penindas anak-anak dalam relasi keseharian. Anak-anak dipaksa menjadi subjek yang patuh dan mengikuti apa yang dimau orang tua atau guru.

Tentu kita harus berhati-hati. Jangan-jangan kita telah menjadi sosok penindas yang sewenang-wenang ketika berhadapan dengan anak-anak yang kita cintai, karena tidak sedikit pun mendengarkan apa suara mereka.

Ada beberapa sekolah yang penulis tahu berupaya membangun relasi dialogis antara guru, orang tua, dan anak-anak. Program yang diselenggarakan sekolah, misalnya, berupaya mengeratkan hubungan guru, orang tua, dan anak.

Misalnya, ada program rutin yang memungkinkan guru, orang tua, dan siswa bertemu bersama dalam satu momen. Substansi diselenggarakan pertemuan, untuk membicarakan perkembangan anak dan tujuan yang ingin dicapai anak selama proses pendidikan.

Tiga pihak berbicara keinginan dan fokus yang diinginkan. Masing-masing pihak didengar suaranya. Pada praktiknya, membangun relasi dialogis bukan perkara mudah. Sebab, orang dewasa biasanya memiliki ego dan harapan besar terhadap anak-anak mereka.

Mereka kadung yakin terhadap setiap keputusan yang telah dibuat. Namun, percayalah, di tengah dunia yang kian penuh kemarahan, mari kita mulai upaya dialog penuh kasih dari ruang keluarga dan pendidikan. Suatu ikhtiar berharga yang patut dicoba. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat