Foto aerial suasana Rumah Sakit Darurat Penanganan Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran, di Jakarta, Kamis (10/9) | ANTARA FOTO/Galih Pradipta

Kisah Dalam Negeri

Tanjidor, Ondel-Ondel, dan Shalawat

Saya masih ingat betul, suara musik tanjidor pengiring ondel-ondel memecah suasana kesunyian.

Terjangkit Covid-19 bukan cobaan yang mudah bagi sebagian besar orang. Pada masa pandemi ini, Covid-19 menjadi jenis penyakit dengan banyak nuansa, bukan hanya memengaruhi kesehatan, melainkan juga kehidupan sosial pengidapnya. Jurnalis Republika, Fauziah Mursid, menuturkan pengalamannya terjangkit dan akhirnya sembuh dari penyakit tersebut. Berikut tulisan bagian keempatnya.

Meski anggapan isolasi di Wisma Atlet masih lebih nyaman dibandingkan dengan menjalani perawatan di rumah sakit, tidak berarti semuanya berhubungan. Status sebagai pasien Covid-19, ditambah bagi mereka yang mengalami gejala, merasa jauh dari keluarga atau beban pikiran lainnya menyeruak membuat penyesuaian juga tidak mudah.

Pada awal perawatan di Wisma Atlet, meski terhitung sehat dan bergejala ringan, pikiran negatif sempat menghantui saya. Ditambah efek penyesuaian obat yang sempat membuat saya menjadi bingung, merasa gelisah.

Namun, berbekal keyakinan, doa, dan optimisme, semua masa-masa itu mulai terlewati. Perlahan demam mulai hilang pada hari kedua, penciuman yang hilang juga sudah mulai membaik pada hari ketiga dan total pada hari keempat.

 
Hampir tiap hari waktu kepulangan, biasanya teman-teman Wisma Atlet saling memberi selamat dan semangat. Selamat sudah sembuh dan kembali bertemu kehidupan normal dan semangat untuk terus berjuang melawan virus kecil nan merepotkan ini.
 
 

Beban pikiran juga mulai berkurang. Saat itu, kondisi keluaga di rumah mulai terkendali. Ibu saya pun sudah berangsur membaik. Semangat mulai kembali meninggi ditambah dukungan teman-teman, orang-orang kantor, semakin menumbuhkan semangat.

Hampir tiap hari waktu kepulangan, biasanya teman-teman Wisma Atlet saling memberi selamat dan semangat. Selamat sudah sembuh dan kembali bertemu kehidupan normal dan semangat untuk terus berjuang melawan virus kecil nan merepotkan ini.

Namun, saat kondisi sudah fit, ujian datang kembali saat memasuki hari ke tujuh di Wisma Atlet. Kabar duka datang dari ibu saya yang tutup usia setelah berjuang melawan Covid-19.

Selama berada diisolasi di Wisma Atlet, banyak rekan yang bertanya kepada saya, apa saja kegiatan saya selama 11 hari di sana? Saya jawab, hampir seluruh waktu saya dihabiskan di dalam kamar.

Namanya juga isolasi diri, meski di lingkungan yang sama-sama positif Covid-19, tidak berarti kita kemudian leluasa ke sana-kemari. Pesan seorang tenaga medis kepada saya ketika awal saya tiba di Wisma, “Meski sama-sama positif, kekebalan orang berbeda-beda, Mbak.”

Karena itu, kegiatan harian saya di Wisma Atlet, pagi diawali dengan melakukan pemeriksaan rutin sekitar pukul 06.00 WIB. Biasanya mengecek tekanan darah, nadi, saturasi, keluhan, dan mendapatkan obat. Setelah itu mengambil kotak makanan yang tersedia untuk pasien di depan ruang perawat.

 
Selesai berolahraga, biasanya masing-masing penghuni kembali ke kamar masing-masing. Tidak ada kegiatan khusus kecuali inisiatif masing-masing penghuni kamar.
 
 

Setelah itu, biasanya saya dan juga teman-teman lainnya kembali ke kamar masing-masing. Baru sekitar pukul 08.00 hingga 09.00 WIB, penghuni tiap-tiap kamar mulai beraktivitas. Ada yang berolahraga ringan, lari pagi, atau berjemur di sinar matahari.

Di tower tujuh tempat isolasi saya tersedia jogging track di lantai 12 dan 16. Kalau saya, memilih di lantai 16 dan pagi hari karena biasanya pagi belum begitu ramai. Lari kecil beberapa putaran sudah membuat badan keringat, ditambah matahari yang langsung mengenai badan.

Ada juga senam kebugaran jasmani (SKJ) bersama, ada yang duduk-duduk sambil berjemur, atau jalan santai di sekitar lokasi. Meski begitu, semua pasien tetap menggunakan masker dan saling menjaga jarak.

Selesai berolahraga, biasanya masing-masing penghuni kembali ke kamar masing-masing. Tidak ada kegiatan khusus kecuali inisiatif masing-masing penghuni kamar.

Saya memilih balik ke kamar, membasuh diri, mencuci baju, dan bersih-bersih kamar sendiri. Praktis, semua hal di Wisma Atlet dilakukan sendiri, termasuk membersihkan kamar dan pakaian adalah tanggung jawab masing-masing penghuni.

Barulah ketika waktu menjelang siang, biasanya pukul 12.00, grup Whatsapp dari perawat lantai mengabarkan bahwa jadwal pemeriksaan telah tiba dan makanan siang sudah tersedia. Para penghuni pun keluar dari kamar.

Begitu selesai pemeriksaan, penghuni kembali ke kamar hingga tiba waktu pemeriksaan sore. Apa hiburan selama isolasi? Saya masih ingat betul, suara musik tanjidor pengiring ondel-ondel memecah suasana kesunyian dari kamar yang berada di lantai 24 itu. Bunyi alat musik Betawi, tehyan, yang menguar dari pelantang memecah rutinitas saya berhari-hari yang hanya menikmati hiburan di ponsel.

 
Menjelang sore menuju Maghrib selalu terdengar suara shalawatan dan bacaan Alquran dari masjid di sekitar Wisma Atlet. Meski datang dari masjid-masjid berbeda, seluruhnya membentuk semacam harmoni yang membuat perasaan saya tenang.
 
 

Ia kerap terdengar saat saya berdiri di depan jendela kamar, sambil melihat pemandangan sekitar, atap rumah penduduk di sekitar Wisma Atlet Kemayoran. Meski sederhana, suara tersebut menghibur kala itu. 

Menjelang sore menuju Maghrib selalu terdengar suara shalawatan dan bacaan Alquran dari masjid di sekitar Wisma Atlet. Meski datang dari masjid-masjid berbeda, seluruhnya membentuk semacam harmoni yang membuat perasaan saya tenang. Suara-suara itu makin menguatkan saya untuk tetap semangat pulih.

Bagaimanapun, menjalani isolasi di Wisma Atlet membuat saya dan juga pasien lainnya begitu merindukan kata pulang. Sesuai prosedur, pasien baru dibolehkan pulang jika hasil swab kedua atau ulangnya negatif atau positif tetapi tak melewati ambang batas aman. Proses swab ulang itu biasanya dilakukan satu pekan setelah pasien menjalani pengobatan.

Jika dihitung, minimal 7-8 hari pasien baru melakukan swab ulang, ditambah waktu menunggu hasil 1-2 hari. Maka, minimal pasien yang hasil swab-nya bagus akan bisa pulang pada hari ke-9 atau ke-10.

Saat hari kepulangan itu, kami sesama pasien biasanya saling memberi selamat. Mereka yang pulang biasanya juga berbalik menyemangati kami yang baru atau masih dalam tahap pemulihan.

Saat ditinggal mereka yang sudah boleh pulang, ada sedikit rasa iri di hati. Membuat saya berhitung kembali hari-hari menuju swab kedua menuju kepulangan.

Dalam hal itu, kata terima kasih mungkin tidaklah cukup untuk para petugas medis yang bekerja demi kami para pasien Covid-19. Kerepotan yang kami timbulkan tak menyurutkan keramahan dan pelayanan mereka.

Terkadang, di tengah tugasnya, petugas medis kerap bercanda dengan pasien. Terus menyemangati yang tak kunjung pulang dari perawatan. Para pengemudi jasa pengantar juga banyak membantu kami para pasien.

Saya butuh 11 hari untuk pulang. Namun, karena menunggu dokumen administrasi kepulangan, total 12 hari baru saya bisa meninggalkan Wisma Atlet.

Kita juga akan melalui IGD Wisma Atlet saat pulang, seperti saat awal datang. Kali ini kita hanya diminta menunggu berkas surat kepulangan. 

Setelah mengantongi izin surat selesai perawatan, kita terlebih dahulu melapor ke pos pengamanan di luar Wisma Atlet untuk pendataan keluar-masuk Wisma Atlet seperti saat kita tiba. Baru setelah itu, kita benar-benar pulang.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat