Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik menunjukan aplikasi rekapitulasi elektronik (Sirekap) saat uji coba di Gedung KPU RI, Jakarta, Selasa (25/8). | Republika/Thoudy Badai

Kabar Utama

Istana Restui Pilkada 

Pilkada dinilai bisa jadi ajang adu gagasan atasi Covid-19.

JAKARTA -- Pemerintah menegaskan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2020 tetap akan berlangsung sesuai jadwal, meskipun berbagai kalangan mendesak agar ditunda. Agar tak menjadi klaster penyebaran Covid-19, pemerintah meminta pelaksanaan pilkada harus mengutamakan kesehatan masyarakat dengan menjalankan protokol kesehatan secara ketat. 

Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan penyelenggaraan pilkada tidak bisa menunggu pandemi Covid-19 berakhir. Apalagi, tidak ada satu pun negara yang tahu kapan pandemi berakhir. Oleh karena itu, penyelenggaraan pilkada dinilai harus dilaksanakan dengan protokol kesehatan ketat agar aman dan tetap demokratis.

"Penyelenggaraan Pilkada 2020 tetap sesuai jadwal, 9 Desember 2020, demi menjaga hak konstitusi rakyat, hak dipilih, dan hak memilih," ujar Fadjroel dalam siaran resminya, Senin (21/9). 

Untuk memastikan protokol kesehatan dijalankan dengan ketat saat pelaksanaan pilkada, pemerintah dapat memberikan sanksi tegas dan penegakan hukum kepada masyarakat yang melanggar. Sehingga tak menyebabkan munculnya klaster baru pilkada. 

Fadjroel menyebut, pelaksanaan pilkada di masa pandemi bukanlah hal yang mustahil. Negara-negara lain seperti Singapura, Jerman, Prancis, dan Korea Selatan juga menggelar pemilihan umum di masa pandemi dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Pemerintah pun mengajak semua pihak untuk bergotong-royong mencegah potensi klaster baru penularan Covid-19 pada setiap tahapan pilkada.  

Berdasarkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 6 tahun 2020, kata dia, pelaksanaan pilkada Serentak 2020 harus menerapkan protokol kesehatan tanpa mengenal warna zonasi wilayah. Menurut Fadjroel, pilkada serentak bisa menjadi momentum tampilnya inovasi baru bagi masyarakat bersama penyelenggara negara untuk bangkit bersama dengan menjadikan pilkada ajang adu gagasan, adu berbuat dan bertindak untuk meredam serta memutus rantai penyebaran Covid-19.  

Ia mengatakan, penyelenggaraan pilkada serentak juga dapat menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia adalah negara demokrasi konstitusional yang menjaga keberlanjutan sistem pemerintahan demokratis sesuai dengan ideologi Pancasila dan konstitusi UUD 1945.

Penundaan pelaksanaan pilkada serentak ditunda terus disuarakan berbagai pihak. Organisasi massa Islam juga menyarankan agar pilkada ditunda demi keselamatan masyarakat. Bagi PP Muhammadiyah, keselamatan masyarakat jauh lebih utama dibandingkan pelaksanaan pilkada yang berpotensi menjadi klaster penularan Covid-19. PBNU sebelumnya juga telah meminta agar pilkada ditunda. 

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, Muhammadiyah hanya berupaya memberi masukan yang objektif dan sesuai realita bahwa saat ini kasus Covid-19 di Indonesia terus meningkat. Haedar mengingatkan, pemerintah dan semua pihak terkait harus benar-benar bertanggung jawab sepenuhnya atas segala konsekuensi dari penyelenggaraan pilkada. 

"Jangan sampai banyak hal terjadi seperti sekarang, Covid-19 naik (angkanya) setelah new normal diberlakukan, yang ternyata tidak dapat dikendalikan," kata Haedar kepada Republika, Senin (21/9).

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti mengatakan, KPU hendaknya mempertimbangkan dengan saksama agar pilkada 2020 ditunda pelaksanaannya sampai keadaan memungkinkan. Muhammadiyah, lanjut Mu'ti, mengimbau KPU untuk segera membahas hal itu secara khusus dengan Kementerian Dalam Negeri, DPR, dan instansi terkait.

"Agar pelaksanaan Pilkada 2020 dapat ditinjau kembali jadwal pelaksanaannya maupun aturan kampanye yang melibatkan kerumunan massa," kata Mu'ti dalam konferensi pers virtual, kemarin.

Menurut Mu'ti, dari sisi regulasi ada celah yang memungkinkan untuk menunda pilkada 2020. Ia mengatakan, peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) memiliki kedudukan yang kuat dan sama dengan undang-undang. "Sesuai UU Dasar, dalam keadaan genting dan memaksa, pemerintah dapat menetapkan peraturan pemerintah untuk melaksanakan UU sebagaimana mestinya. (Jika) UU diubah, prosesnya lama. Tetapi kalau perppu, wewenangnya kan ada di tangan presiden," ujarnya.

Komisi II DPR pada Senin (21/9) menggelar rapat kerja dengan Kemendagri, KPU, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP). Mayoritas fraksi menyatakan mendukung agar pilkada serentak tetap digelar 9 Desember 2020.

"Demokrasi tidak boleh tertunda karena Covid, demokrasi harus jalan, demokrasi hak rakyat," kata anggota Komisi II Fraksi PDI Perjuangan Junimart Girsang. 

Anggota Komisi II DPR Fraksi Partai Golkar Agung Widyantoro mengatakan, berdasarkan penjelasan Kemendagri dan KPU, belum ditemukan alasan perlu ditundanya pilkada serentak untuk kedua kali. 

Menurutnya, kekhawatiran sejumlah pihak cukup beralasan, namun dirinya meminta agar pihak-pihak yang selama ini vokal menunda pilkada menahan diri untuk berkomentar. "Berikanlah kesempatan kepada pemerintah melalui Mendagri, KPU, Bawaslu dan DKPP, untuk bekerja secara maksimal," ujar Agung.

Anggota Komisi II DPR Fraksi PKS Nasir Djamil dalam rapat tersebut berharap agar Presiden Jokowi tidak lagi berubah pikiran dengan adanya berbagai desakan dari berbagai pihak. "Jangan lagi nanti ketika ada desakan, kemudian 'mundur' lagi nih presiden. Yang bingung nanti para menteri, para penyelenggara," katanya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat