Preman yang terjaring Operasi Sikat Jaya 2019. (ilustrasi) | Republika/Putra M. Akbar

Nasional

Wakapolri Berkukuh Libatkan Preman Pasar

Gatot mengatakan, membangun kesadaran kolektif relatif mudah dilakukan di tempat atau komunitas terstruktur.

JAKARTA – Wakapolri Komisaris Jenderal Gatot Eddy Pramono berkukuh untuk bekerja sama dengan ‘jeger’ atau preman pasar dalam penegakan disiplin protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Gatot menilai, pelibatan ini akan efektif untuk mendisiplinkan masyarakat.

“Kami bukan merekrut preman pasar, tapi bekerja sama dengan mereka. Tidak mungkin kan kami setiap hari patroli sedangkan mereka di sana 24 jam,” kata Gatot dalam rapat bersama Komisi III DPR, Senin (14/9).

Menurut Gatot, ada dua upaya penegakan protokol Covid-19, yakni melalui operasi yustisi dan membangun kesadaran. Operasi yustisi merupakan tindakan menegakkan peraturan daerah (perda) yang dilakukan Satpol PP dibantu TNI dan Polri. Sedangkan dalam upaya kedua, pembangunan kesadaran kolektif membutuhkan upaya semua pihak, terutama tokoh tertentu dalam suatu komunitas.

“Komunitas itu apa saja, ada komunitas perkantoran, pasar, hobi, pasar, ojek, motor besar yang semuanya mempunyai pimpinan formal dan informal,” kata dia.

Gatot mengatakan, membangun kesadaran kolektif relatif mudah dilakukan di tempat atau komunitas terstruktur, misalnya perkantoran, mal atau pasar pemerintah. Sebab, ada pimpinan resmi dari tempat tersebut. Namun, ada komunitas yang tidak memiliki struktur resmi tapi memiliki tokoh yang dianggap penting oleh komunitas tersebut.

photo
Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Erick Thohir (tengah) berbincang dengan KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa (kiri) dan Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono (kanan) di Jakarta, Jumat (11/9/2020). - (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)

Dia mencontohkan, di pasar tradisional kerap ada preman yang selalu berada di lokasi. “Realitas kita pasar tradisional itu nggak ada pimpinan, ada yang menyebut kepala keamanannya, ada yang menyebut mandor di situ, ada yang menyebutnya ‘jeger’, preman. Mereka ini kan setiap hari di sana,” ujar Gatot.

Menurut dia, anggota kepolisian maupun Satpol PP tak bisa sepenuhnya berada di pasar tertentu setiap saat. Maka, kata dia, diperlukan tokoh yang mampu menjadi pendorong kesadaran bersama dalam mendongkrak kesadaran kolektif tersebut.

“Kalau kesadaran kolektif berbasis komunitas ini kita kerjakan bersama, saya kira percepatan memutus mata rantai bisa dilaksanakan,” ujar dia.

Namun, gagasan ini dikritik banyak pihak. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindakan Kekerasan (Kontras) menilai, wacana itu kontraproduktif dan menunjukkan kegagalan polisi dalam melakukan tugasnya. “Wacana pelibatan preman pasar hanya akan semakin memperburuk situasi,” kata Badan Pekerja Kontras, Fatia Maulidiyanti.

Kritik juga disampaikan pakar pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar. Dia menilai, pelibatan preman untuk menertibkan protokol Covid-19 tak tepat. Wacana itu, kata dia, justru bertentangan dengan tugas kepolisian.

“Dari dasar pikirannya saja untuk melibatkan ‘jeger’ ini jelas bertentangan dengan tugas kepolisian sendiri untuk memberantas premanisme. Dengan pikiran itu artinya (polisi) mengakui eksistensi preman. Ini pikiran yang justru bertentangan dengan akal sehat, terlalu pragmatis,” ujar dia.

Fickar mengingatkan, berdasarkan UU Kepolisian, tugas kepolisian selain menjaga keamanan dalam negeri, termasuk memberantas premanisme, juga sebagai penegak hukum dan pelayan masyarakat. Dalam menegakkan hukum, termasuk menegakkan aturan pandemi, sepenuhnya harus dilakukan secara profesional oleh para penyidik kepolisian.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat