Sejumlah perempuan imigran etnis Rohingya menaiki truk evakuasi pascaterdampar di pesisir Pantai Ujong Blang, Lhokseumawe, Aceh, Senin (7/9). | RAHMAD/ANTARA FOTO

Opini

Aceh Surga Rohingya?

Pengungsi Rohingya disambut masyarakat Aceh dengan penuh rasa penghormatan.

MUHAMMAD NASIR DJAMIL, Anggota DPR FPKS Dapil Aceh

Guratan wajah kesedihan, mata sembap dengan tatapan kosong tanpa harapan, dan suara tangisan anak-anak di pelukan adalah ekspresi yang cukup mudah ditangkap di balik perahu yang terombang-ambing.

Gelombang manusia perahu yang berisi etnis Rohingya kembali terlunta-lunta di perairan Aceh.

Kali ini, perahu berisikan sekitar 297 pencari suaka yang didominasi perempuan dewasa, dievakuasi ke daratan oleh nelayan Aceh, tepatnya di Pantai Ujong Blang, Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh, pada Senin (7/9) dini hari.

Kehadiran pengungsi Rohingya secara berkala di Aceh, tak hanya memberikan penjelasan kepada kita, konflik antaretnis dan krisis kemanusiaan di negeri seribu pagoda itu masih jauh dari kata penyelesaian.

 
Di tengah pandemi Covid-19, pengungsi Rohingya disambut masyarakat Aceh dengan penuh rasa penghormatan dan kasih sayang layaknya kaum Anshar ketika menyambut kaum Muhajirin.
 
 

Selain itu, memberi pesan kemanusiaan kepada dunia, saat ini “Aceh surga bagi Rohingya”. Penyematan kata ‘surga’ di atas tidaklah berlebihan, mengingat saat semua negara menutup pintu bagi pencari suaka Rohingya, sebaliknya Aceh memberikan pengecualian.

Di tengah pandemi Covid-19, pengungsi Rohingya disambut masyarakat Aceh dengan penuh rasa penghormatan dan kasih sayang layaknya kaum Anshar ketika menyambut kaum Muhajirin saat peristiwa hijrah pada masa Nabi Muhammad SAW.

Bahkan, salah satu NGO HAM internasional yang konsisten memberikan penilaian tendensius terhadap Aceh dengan sebutan “provinsi paling konservatif” pun mengakui, dalam hal ini Aceh menunjukkan rasa kemanusiaan terbaik.

Jawaban mengapa Aceh menjadi antitesis dari mayoritas sikap dunia terhadap pengungsi Rohingya, tak didasari alasan tunggal, yaitu keyakinan sama sebagai Muslim. Ada kesamaan rasa dan pengalaman yang sulit dipahami mereka yang tak pada posisi tertindas dan terancam.

photo
Pengungsi etnis Rohingya menabur bunga usai pemakaman keluarganya di tempat pemakaman umum Desa Kutablang, Lhokseumawe, Aceh, Rabu (9/9). Perempuan etnis Rohingya bernama Nur Khalimah (21 tahun) yang merupakan bagian dari 296 orang Rohingya yang terdampar di Aceh pada Senin (7/9) dini meninggal dunia di tempat penampungan BLK Desa Mee Kandang, Selasa (6/9). - (ANTARA FOTO/Rahmad)

Masyarakat Aceh memiliki pengalaman itu selama 29 tahun, saat konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia mencapai puncaknya. Ribuan warga Aceh dalam kurun tersebut, mencari perlindungan di negara tetangga, di antaranya Malaysia dan Australia.

Manusia perahu asal Rakhine, pertama kali terdampar di Aceh pada 2009 dengan jumlah grup relatif kecil. Puncaknya medio Mei 2015, saat itu ada empat kapal mengangkut sekitar 500 lebih pengungsi Rohingya. Sejak dalam kurun itu, perahu-perahu nahas berdatangan.

Sabang, Idi Rayeuk, Krueng Raya, Kuala Langsa, Kuala Cangkoi, Seunudon ialah titik pendaratan etnis Rohingya di Aceh. Teranyar, perahu yang diselamatkan di Pantai Ujong Blang, Lhokseumawe, pada 7 September 2020.

 
Berkaca pada kondisi di Myanmar, rasanya gelombang manusia perahu asal Rakhine akan terus hadir di Aceh.
 
 

Sampai kapan?

Gelombang manusia perahu, menimbulkan pertanyaan, sampai kapan pengungsi Rohingya terus berlabuh di Aceh? Jawabannya, bergantung pada penyelesaian krisis kemanusiaan Rohingya di Provinsi Rakhine. Dalam konteks ini, upaya penyelesaian masih jauh panggang dari api.

Tim Independen Pencari Fakta PBB di Myanmar yang dipimpin Marzuki Darusman, telah mengeluarkan beberapa rekomendasi.

Di antaranya, meminta Pemerintah Myanmar memeriksa sejumlah pejabat tinggi militernya karena diduga berniat melakukan genosida terhadap Rohingya. Rekomendasi ini ditolak dan tidak diakui sama sekali oleh otoritas Myanmar. 

Begitu juga, dengan upaya repatriasi puluhan ribu pengungsi Rohingya di kamp-kamp pengungsian di perbatasan Bangladesh dan Myanmar, beberapa kali gagal dilaksanakan meski pakta repatriasi ditandatangani kedua negara sejak 2017.

Alasannya, pengungsi Rohingya enggan kembali ke Rakhine karena tak ada jaminan hak kewarganegaraan dan perlindungan keamanan. Berkaca pada kondisi di Myanmar, rasanya gelombang manusia perahu asal Rakhine akan terus hadir di Aceh.

Kerja sama regional

Menyematkan Aceh sebagai surga bagi pencari suaka etnis Rohingya bukan solusi jangka panjang yang ideal. Tentu juga karena tujuan akhir pengungsi Rohingya ialah negara peserta konvensi pengungsi (Konvensi 1951 tentang pengungsi), Aceh hanyalah tempat transit sementara.

Di samping itu, komparasi penanganan dan bantuan internasional bagi pengungsi rohingya dengan tingkat angka kemiskinan masyarakat Aceh masih tinggi, diyakini ini akan menciptakan segresasi sosial dan potensi konflik sosial.

 
Karena itu, tugas utama seluruh pihak ialah menjadikan Rakhine tanah air Rohingya kembali menjadi surga bagi mereka.
 
 

Mengutip peneliti senior di Arnold Bergstraesser, Dr Antje Missbach yang banyak menulis tentang etnis Rohingya di Aceh, keramahan warga Aceh terhadap etnis Rohingya bukanlah untuk integrasi sosial atau menetap jangka panjang.

Karena itu, tugas utama seluruh pihak ialah menjadikan Rakhine tanah air Rohingya kembali menjadi surga bagi mereka. Guna mencapainya, kerja sama regional harus diperkuat. Ini menjawab krisis kemanusiaan untuk jangka pendek.

Di samping itu, bisa menjadi instrumen terbaik guna menelusuri, apakah kehadiran manusia perahu di perairan Aceh genuine atau ada peran sindikat perdagangan manusia di balik itu.

Menurut Chris Lewa dari Arakan Project, kelompok yang terdampar di Pantai Ujong Blang, merupakan bagian dari kapal besar yang mengangkut 800 Rohingya dari Bangladesh pada akhir Maret. Mereka ditolak Malaysia dan Thailand dengan alasan Covid-19.

Mereka pun dipecah dalam kapal-kapal kecil. Atas dasar rasa kemanusiaan, kita wajib membantu pengungsi Rohingya yang mencari perlindungan. Namun, respons terhadap dugaan perdagangan manusia, wajib dilakukan agar tak memperburuk penderitaan Rohingya. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat