Karyawan melintas di Lobby Gedung Bank Indonesia, Jakarta. (ilustrasi) | Republika/ Yasin Habibi

Opini

Reformasi Sistem Keuangan

Revisi UU Perbankan harus mengarah pada upaya menciptakan kedaulatan sektor keuangan.

DIDIN S DAMANHURIGuru Besar Dep Ilmu Ekonomi FEM IPB

Salah satu hal terpenting pascakrisis moneter 1997/1998 adalah reformasi BI dan perbankan. Sehingga, BI menjadi lembaga independen dan tegaknya prinsip makro dan mikroprudensial dalam pengelolaan perbankan di Indonesia.

Dengan begitu, rupiah stabil, inflasi terkontrol, dan pertumbuhan ekonomi terdongkrak. Setelah lebih satu setengah dasawarsa, reformasi BI dan perbankan berhasil menjadi faktor tercapainya stabilitas makroekonomi.

Namun, itu tidak cukup karena negara belum berhasil menciptakan “kesempatan kerja”  layak bagi setiap warga negara (Pasal 27 ayat 2 UUD 45) dan pembangunan ekonomi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat 3 UUD 45).

 
Padahal, pembangunan ekonomi harusnya makin memperkecil sektor informal karena banyaknya angkatan kerja terserap ke dalam sektor formal.
 
 

Sejak era reformasi dengan BI yang independen serta sistem perbankan yang berhasil menciptakan stabilitas makroekonomi, belum juga mampu mendorong pemerataan kesejahteraan secara lebih baik.

Ini terlihat dari proporsi sektor informal yang masih sangat besar, sekitar 60 persen. Padahal, pembangunan ekonomi harusnya makin memperkecil sektor informal karena banyaknya angkatan kerja terserap ke dalam sektor formal.

Selain itu, bertambahnya pengangguran total, terbuka plus setengah pengangguran tersembunyi, yang sekarang lebih dari 40 persen dari angkatan kerja. Juga, gagal mengatasi ketimpangan antargolongan pendapatan, antarsektor, dan antarwilayah. Antara lain, rasio gini konsumsi 2014 sebesar 0,413, pada 2018 membaik jadi 0,39. Penduduk dengan pengeluaran 2 dolar AS per hari, masih 46 persen, karena dampak krisis 2008 hingga pandemi Covid-19 sekarang, malahan menjadi lebih 50 persen.

Artinya, kondisi golongan miskin stagnan kemajuannya, kalau tidak malahan makin miskin. Jadi, dalam ukuran konstitusi-UUD 45, BI belum sepenuhnya merealisasikan kewajiban konstitusionalnya.

Substansi lebih mendasar, terkait fakta empiris, penempatan kebijakan moneter ternyata tak cukup mampu mendorong kesejahteraan umum melalui peningkatan pemerataan, kesempatan kerja, dan dukungan bagi UMKM.

Fenomena di Indonesia ini mengonfirmasi berbagai kasus peranan bank sentral di negara berkembang. Peran bank sentral tak cukup menjaga stabilitas makro ekonomi semata. Dengan demikian, terdapat urgensi merevisi UU Perbankan.

Urgensinya terletak pada upaya, di satu pihak, memerankan agent of development, di pihak lain menegakkan kedaulatan sektor keuangan di Indonesia.

Seiring upaya pemulihan perbankan dari krisis 1997/98, Pemerintah Indonesia membuka ruang kepemilikan modal asing di sektor perbankan yang bisa mencapai 99 persen. Namun, saat krisis telah usai, batasan kepemilikan modal asing tak direvisi lagi.

 
Peran bank sentral tak cukup menjaga stabilitas makro ekonomi semata. Dengan demikian, terdapat urgensi merevisi UU Perbankan.
 
 

Suku bunga riil di Indonesia yang jauh lebih tinggi daripada negara lain yang setara, masuknya modal asing secara masif ke sektor perbankan, tak terhindarkan. Tanpa regulasi ketat terhadap modal asing, kerentanan perekonomian terhadap krisis akan meningkat.

Sebab, bersamaan dengan dibuka lebarnya porsi kepemilikan asing, Indonesia menganut sistem devisa bebas, yakni hilir-mudik modal bisa masuk dan keluar secara bebas.

Saat krisis, dengan mudah asing mengalihkan modalnya dari anak cabang (di Indonesia) ke perusahaan atau perbankan induk (di luar negeri), yang bisa memperparah keadaan. Padahal, fungsi perbankan menciptakan kesempatan kerja dan memakmurkan rakyat.

Sebagai agen pembangunan, sulit saat perbankan nasional dikuasai asing, di satu pihak dan ada kebebasan menyimpan devisa hasil ekspor di lain pihak.

Sementara itu, revisi UU BI harus lebih menegaskan posisi independensinya secara eksplisit, yakni arah independensi BI adalah dari sisi instrumen. Dari sisi tujuan, BI tidak bisa independen dari tujuan nasional.

Dari sini, penyeimbangan antara fungsi BI sebagai agen stabilisasi dan agen pembangunan, perlu dilakukan dengan penguatan UU BI yang selaras dengan tujuan nasional.

Sementara itu, revisi UU Perbankan harus mengarah pada upaya menciptakan kedaulatan sektor keuangan, pembentukan modal dalam negeri, peningkatan akses kredit bagi UMKM, serta terdistribusikannya likuiditas (kredit) secara lebih merata ke daerah.

 
Distribusi nisbah perekonomian justru semakin mengalir ke sektor, yang tak menaungi hajat hidup orang banyak.
 
 

Jika mengamati perekonomian usai krisis moneter 1997/1998, sebenarnya dalam jangka panjang perekonomian secara makro cukup stabil.

Namun, tak berbanding lurus dengan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama penyediaan lapangan kerja serta pengurangan tingkat kemiskinan dan ketimpangan secara signifikan.

Distribusi nisbah perekonomian justru semakin mengalir ke sektor, yang tak menaungi hajat hidup orang banyak, seperti pertanian dan industri sehingga dampaknya memperlebar tingkat ketimpangan.

Fungsi BI dan perbankan nasional selain sebagai agen stabilisasi ekonomi, juga perlu ditambah sebagai agen pembangunan, terutama dalam penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi yang merata.

Kedua fungsi ini dalam praktik pengelolaan sektor moneter di Indonesia tidak dapat dipisahkan, mengingat ada faktor yang bersumber dari sektor moneter, tetapi juga dari sektor riil, seperti inflasi yang bersumber dari pangan dan energi.

Dengan demikian, fungsi stabilisasi ekonomi oleh BI hanya berjalan dengan efektif bila ditopang fungsi sebagai agen pembangunan, yakni penciptaan lapangan kerja, peningkatan akses kredit lebih besar bagi UMKM, dan pemerataan akses kredit ke daerah.

Tantangan pembangunan nasional dalam perekonomian dunia yang semakin mengglobal, membutuhkan sinergi dan peran sistem perbankan yang kontributif bagi pembangunan dan stabilitas perekonomian.

Revisi UU BI dan UU Perbankan yang mengarah dan mengembalikan pada tujuan nasional, dapat menjadi titik awal pembangunan yang menyejahterakan rakyat.

Reformasi keuangan

Itulah substansi yang harus masuk revisi UU BI dan UU Perbankan dalam kerangka reformasi sistem keuangan. Ada urgensi pula merevisi UU Lalu Lintas Devisa yang harus ada kewajiban setidaknya enam bulan, hasil devisa ekspor disimpan di perbankan nasional.

Lalu, kebutuhan revisi UU Pasar Modal yang harus dapat diakses pelaku UMKM. Sekarang, hanya dikuasai korporasi besar nasional dan asing.

Menanggapi draf RUU dan Perppu Reformasi Sistem Keuangan yang diajukan pemerintah dan DPR, justru akan menghilangkan independensi BI yang selama ini telah berhasil menegakkan prinsip makro dan mikroprudensial.

 
Maka itu, reformasi sistem keuangan hendaknya dibatasi agar BI terjaga independensinya, seperti sekarang.
 
 

Inilah kinerja yang menciptakan stabilitas makro ekonomi dengan inflasi rendah, rupiah terkontrol sehingga terdongkraknya pertumbuhan ekonomi. Namun, dalam RUU BI Pasal 9A dan B disebutkan adanya Dewan Moneter yang diketuai menteri keuangan.

Ini menyubordinasikan BI selevel menteri, seperti zaman Orde Baru, yang pada gilirannya presiden dapat mengintervensi BI untuk kepentingan pemerintahan secara sempit.

Namun, itu mengorbankan pertimbangan aspek makro dan mikro prudensial moneter, yakni pertimbangan jumlah dan kecepatan peredaran uang, tingkat bunga acuan, inflasi, dan kondisi kesehatan bank-bank.

Maka itu, reformasi sistem keuangan hendaknya dibatasi agar BI terjaga independensinya, seperti sekarang. Di sisi lain, memasukkan pokok-pokok reformasi terhadap UU baru atau perppu seperti telah diuraikan di atas.

Lalu, ada klausul presiden sebagai kepala negara dapat merundingkan dengan gubernur BI agar tujuan nasional dapat dicapai, di luar UU berlaku. Misalnya, khusus seperti dalam menghadapi pandemi Covid-19 sekarang ini.

Sekaligus revisi UU Pasar Modal dan revisi atau perppu UU Lalu Lintas Devisa, diperkirakan ada devisa hasil ekspor di luar negeri secara kumulatif sekitar Rp 150 miliar, yang bisa memperkuat kapasitas fiskal dalam penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat