Oni Sahroni | Daan Yahya | Republika

Kabar Utama

Hak Istri dalam Pendapatan Suami

Ada beragam pandangan ahli fikih terkait hak istri dalam pendapatan suami.

DIASUH OLEH DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Assalamualaikum wr wb. Bagaimana Islam mengatur nafkah untuk istri? Apakah gaji suami adalah hak atau punya istri juga? Dan apakah nafkah istri dan uang belanja itu sama? Mohon penjelasan ustaz! --Fatimah, Depok

Waalaikumussalam wr wb.

Sebelum menjawab pertanyaan secara khusus, akan dibahas beberapa poin ke belakang agar jawabannya tepat dan proporsional sebagaimana dijelaskan dalam poin-poin berikut ini.

Pertama, berbagi peran dan tugas. Misalnya, kewajiban si ayah (suami) untuk menyediakan nafkah keluarga dan istri (ibu) mengelola urusan keluarga, termasuk anak-anak. Pembagian tugas tersebut agar sakinah dan mawadah keluarga bisa dirawat karena hak dan kewajiban masing-masing ditunaikan dengan maksimal.

Kedua, pendapatan suami milik bersama. Ini karena output tugas suami dan istri untuk keluarga. Misalnya, nafkah yang disediakan oleh suami itu diperuntukkan bagi keluarga (bersama termasuk istri). Begitu pula dengan keluarga yang nyaman dengan anak-anak yang terdidik yang disediakan oleh istri itu diperuntukkan bagi keluarga (bersama termasuk suami).

Saat nafkah itu mampu disediakan oleh suami seorang diri maka peruntukannya juga untuk keluarga, termasuk istri. Begitu pula saat dalam kondisi di mana nafkah disediakan oleh suami dan istri bersama-sama (maksudnya suami bekerja dan istri juga bekerja) maka nafkah yang disediakan oleh keduanya juga diperuntukkan bagi keluarga, termasuk suami dan istri.

Ada beragam pandangan para ahli fikih terkait dengan nafkah yang tersedia itu diperuntukkan untuk apa saja. Tetapi, menurut pandangan yang diunggulkan dan menjadi pilihan bagi ulama kontemporer bahwa peruntukan nafkah itu merujuk kepada tradisi dan kelaziman di setiap tempat dan waktu itu menentukan jenis dan kadarnya dan kemampuan suami dan istri. Sehingga, tidak ada besaran dan batasan minimal kebutuhan keluarga yang harus disediakan oleh suami atau suami dan istri. Sebagaimana pandangan mazhab Malikiyyah dan sebagian Syafi'iyyah (Raudhah al-Thalibin 9/40).

 
Peruntukan nafkah itu merujuk kepada tradisi dan kelaziman di setiap tempat dan waktu itu menentukan jenis dan kadarnya dan kemampuan suami dan istri.
 
 

Ketiga, di antara indikator kelaziman tersebut adalah kebutuhan-kebutuhan mendasar. Hal itu di antaranya adalah kebutuhan yang harus dipenuhi segera, seperti biaya pendidikan anak-anak di bulan tersebut, kebutuhan dapur, angsuran rumah (jika ada), dan kebutuhan lainnya.

Kemudian, dana-dana darurat yang harus disediakan, nafkah untuk orang tua suami dan orang tua istri sesuai dengan kondisinya dan kemampuannya, investasi sesuai dengan kemampuan, serta kebutuhan pribadi suami, istri, dan anak-anak (termasuk uang saku pribadi istri dan uang saku pribadi suami).

Hal ini didasarkan pada pengertian para ahli fikih terhadap istilah nafkah istri yang maksudnya adalah nafkah keluarga, sebagaimana dibahas dalam beberapa referensi, seperti al-Mausu'ah al- Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah dan Maushuat al-Usrah Tahta Ri'ayat al-Islam, Syekh Athiyah Shaqr.

Keempat, jika menelaah beberapa tuntunan Alquran dan hadis Rasulullah SAW beserta pandangan para ahli hadis maka disimpulkan bahwa ada hak keuangan istri atau uang saku istri yang harus dipenuhi. Di antaranya, firman Allah SWT, "... Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf." (QS al-Baqarah: 233).

Kelima, bermusyawarah. Apa saja daftar kebutuhan asasi yang harus dipenuhi, apakah uang saku pribadi istri itu termasuk dalam komponen kebutuhan mendesak, apakah nafkah orang tua suami dan istri itu termasuk kebutuhan mendesak, berapa alokasi uang belanja untuk kebutuhan pribadi istri, semua itu didasarkan pada musyawarah antarsuami dan istri karena peruntukan nafkah itu beragam dan merujuk kepada kelaziman dan kemampuan.

Keenam, dalam kondisi tertentu, menemukan kondisi ideal sesuai keinginan sulit dilakukan maka memenuhi kewajiban dengan maksimal, tapi lapang dada dan merelakan hak agar tepat dan adil itu menjadi pilihan.

Dalam kondisi kemampuan suami atau kemampuan suami dan ihsan (istri) dalam menyediakan nafkah keluarga itu terbatas, tetapi sudah ditunaikan dengan maksimal dan proporsional, maka istri dan suami menerima nafkah itu dengan penuh rasa syukur. Di antaranya, dengan menyesuaikan antara kebutuhan dan biaya yang tersedia. Wallahu a'lam.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat