
Nasional
Pengambilalihan Kasus Pinangki Terbuka
Kejaksaan undang KPK gelar perkara bersama kasus Djoko-Pinangki.
JAKARTA – Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai, KPK sudah memenuhi syarat untuk mengambil alih perkara Djoko Sugiarto Tjandra yang turut menyeret jaksa Pinangki Sirna Malasari. Pengambilalihan perkara oleh KPK ini dianggap penting dan mendesak dilakukan untuk memastikan proses hukum berjalan tanpa ada konflik kepentingan.
Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman, mengatakan, pengambilalihan perkara oleh KPK sudah diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Sebuah perkara dapat diambil alih oleh KPK bila meemenuhi beberapa kriteria. Salah satu kriteria yang dipenuhi yakni keterlibatan penegak hukum yang berpotensi menyebabkan konflik kepentingan jika kasus ini tetap berada di kepolisian atau kejaksaan.
“Apa iya Pinangki beraksi sendiri mengajukan proposal sebesar 100 juta dollar AS. Apa iya dengan jabatan rendah Pinangki mempunyai kekuasaan yang besar bisa mengatur sebuah perkara. Menurut saya potensi konflik kepentingan sangat tinggi. Dan kemungkinan sangat tinggi pelaku-pelaku lain tidak bisa diselesaikan,” kata Zaenur kepada Republika, Senin (7/9).

Zaenur mengatakan, prosedur pengambilalihan yakni menyampaikan pemberitahuan bahwa KPK mengambil alih kasus Djoko Tjandra tersebut. Nantinya, bila sudah diambil alih, baik kepolisian maupun kejaksaan, wajib menyerahkan tersangka beserta alat bukti, berkas perkara.
KPK, Jumat (4/9), mengumumkan menerbitkan surat perintah supervisi kasus dugaan suap dan gratifikasi Djoko Tjandra kepada jaksa Pinangki. Kemudian pada Senin (7/9), Direktur Penyidikan di Jampidsus Kejakgung, Febrie Adriansyah, menyambangi gedung KPK untuk mengundang sebelum gelar perkara atau ekspose kasus jaksa Pinangki pada hari ini, Selasa (8/9).
“Jadi, ekspose ini akan melakukan pembahasan yang lebih komperehensif lagi. Kita akan menampilkan alat bukti seluruhnya, dan sekaligus meminta masukan-masukan, agar menjadi sempurna (hasil penyidikannya),” kata Febrie.
Perintah telepon
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin disebut pernah memerintahkan Jan Samuel Maringka untuk menghubungi langsung terpidana Djoko Tjandra via telepon. Perintah tersebut terjadi saat Jan Maringka masih menjabat Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) di Kejakgung. Terungkapnya perintah tersebut, setelah Komisi Kejaksaan (Komjak) memeriksa Jan Maringka.

Ketua Komjak Barita Simanjuntak menerangkan, Jan Maringka sudah diperiksa pada Kamis (3/9). Pemeriksaan tersebut terkait laporan dari Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) tentang dugaan keterlibatan Jan Maringka dalam skandal Djoko Tjandra. “Saat diperiksa, dan dimintai klarifikasi, yang bersangkutan (Jan Maringka) mengaku, menghubungi (Djoko Tjandra) dua kali. Menghubunginya lewat telepon,” kata Barita saat dihubungi Republika, Senin (7/9).
Komunikasi antara Jan Maringka dan Djoko Tjandra terjadi pada 2 dan 4 Juli 2020. Namun, kata Barita, hubungan via telepon keduanya terkait kedinasan dan fungsi intelijen. Dalam komunikasi tersebut, Jan Maringka meminta Djoko Tjandra mengakhiri status buronan dengan pulang ke Indonesia untuk menjalankan keputusan Mahkamah Agung (MA) 2009. Keputusan MA 2009 memvonis Djoko Tjandra dua tahun penjara dalam kasus korupsi hak tagih utang Bank Bali 1999.
Namun, kejaksaan tak dapat mengeksekusi putusan tersebut karena Djoko Tjandra berhasil kabur ke Papua Nugini sehari sebelum MA membacakan vonis. Pada 30 Juli 2020, Djoko Tjandra, berhasil ditangkap di Kuala Lumpur, Malaysia, dan dibawa kembali ke Indonesia untuk menjalankan eksekusi dua tahun penjara.
“Itu (komunikasi Jan Maringka dan Djoko Tjandra) atas perintah dan sepengetahuan, juga dilaporkan ke Jaksa Agung (Burhanuddin), sebagai user (pengguna fungsi) intelijen,” kata Barita.
Jan Maringka saat dihubungi membenarkan proses klarifikasi dirinya di Komjak. Namun, Jan Maringka memilih untuk menyerahkan penjelasan hasil klarifikasi tersebut ke Komjak ataupun Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum). “Lewat satu pintu saja penjelasannya,” kata Jan Maringka kepada Republika.
Febrie Adriansyah belum mau berkomentar banyak terkait pengakuan Jan Maringka di Komjak. Tapi, kata Febrie, ada atau tidaknya delik pidana, atau indikasi korupsi yang dilakukan dalam komunikasi dengan Djoko Tjandra tersebut, bergantung dari alat bukti. Keterlibatan seseorang dalam dugaan korupsi, kata dia, tak cukup berdasarkan hasil pemeriksaan institusi pengawasan seperti Komjak. “Kita tidak bisa melebihi alat bukti, dan kita tidak bisa berasumsi,” kata Febrie.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.