Sejumlah hakim konstitusi bersiap mengikuti sidang lanjutandi ruang sidang pleno Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (10/8). | ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT

Nasional

Istana: 'Larangan' Rangkap Jabatan Wamen tak Mengikat

Pendapat MK dinilai sifatnya tidak mengikat karena bukan bagian dari putusan.

JAKARTA -- Pihak istana kepresidenan memberi komentar terkait 'larangan' Mahkamah Konstitusi (MK) bagi pejabat wakil menteri untuk rangkap jabatan. Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Purwono, menekankan bahwa MK sebenarnya tidak memberi putusan terkait rangkap jabatan wakil menteri. 

MK, ujarnya, bahkan tidak menerima permohonan uji materi tentang jabatan wakil menteri yang diatur dalam Pasal 10 UU 39/2008 tentang Kementerian Negara. "Namun MK memang memberikan pendapat bahwa ketentuan rangkap jabatan yang berlaku terhadap menteri seharusnya diberlakukan mutatis mutandis terhadap jabatan wakil menteri," kata Dini, Ahad (6/9). 

Dini pun mengingatkan bahwa pendapat yang disampaikan MK ini sifatnya tidak mengikat karena bukan bagian dari putusan. Kendati demikian, Dini menyebutkan bahwa pemerintah tetap memperhatikan dan mempelajari lebih lanjut pendapat MK tersebut. 

"Soalnya di media masih banyak pendapat-pendapat blunder yang mengatakan bahwa pendapat MK itu adalah keputusan MK dan karenanya final serta mengikat," ujar Dini. 

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam pertimbangan putusan nomor 80/PUU-XVII/2019 menegaskan, larangan rangkap jabatan berlaku pula bagi wakil menteri (wamen). Putusan ini terkait perkara uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. 

photo
Presiden Joko Widodo (keempat kiri) didampingi Wakil Presiden Maruf Amin (keempat kanan) berfoto bersama calon-calon wakil menteri Kabinet Indonesia Maju sebelum acara pelantikan di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (25/10/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/ama - (Akbar Nugroho Gumay/ANTARA FOTO)

"Seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 UU 39/2008 berlaku pula bagi wakil menteri," ujar anggota majelis hakim, Manahan Sitompul dalam sidang pembacaan putusan yang disiarkan daring, Kamis (27/8) lalu.

MK menegaskan hal tersebut karena pemohon mengemukakan tidak adanya larangan rangkap jabatan wakil menteri yang mengakibatkan seorang wakil menteri dapat merangkap sebagai komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau swasta. Atas fakta tersebut, MK menjelaskan, sekalipun wakil menteri membantu menteri dalam memimpin pelaksanaan tugas kementerian, maka wakil menteri ditempatkan juga sebagaimana halnya status yang diberikan kepada menteri.

Gugatan tentang jabatan wakil menteri ini diajukan oleh Ketua Umum Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) Bayu Segara serta mahasiswa Usahid Jakarta yakni Novan Lailathul Rizky. Mereka menilai penambahan jumlah wakil menteri dilakukan secara subjektif dan tanpa ada alasan urgensi yang jelas.

Kuasa hukum pemohon, Viktor Santoso Tandiasa menyebutkan dalam persidangan pendahuluan pada 10 Desember 2019, ada dua wakil menteri di Kementerian BUMN yang merangkap jabatan sebagai komisaris. Hal itu menandakan tugas wakil menteri tidak banyak dan urgen.

Sebab, menurut pemohon, apabila urgen, tidak mungkin kursi wakil menteri diduduki seseorang yang sudah menjabat sebagai komisaris BUMN. Padahal, tujuan pengangkatan wakil menteri untuk mengemban beban kerja yang membutuhkan penanganan khusus.

"Faktanya, dua wakil menteri yang menduduki jabatan kementerian itu rangkap jabatan menjadi Komisaris Pertamina dan Komisaris Bank Mandiri," kata Victor. Namun, dalam sidang putusan gugatan tersebut, MK menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat