Pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Yogyakarta Tutty Fetrianingsih menunjukan kerajinan produksinya yang dipasarkan secara daring, di galeri Kana Shibori, Yogyakarta, Sabtu (15/8). | Andreas Fitri Atmoko/Antara Foto

Opini

Literasi Digital UMKM

Saat ini baru sekitar 4,3 juta pelaku UMKM terintegrasi dengan sistem transaksi daring.

RAHMA SUGIHARTATI, Dosen Isu-isu Masyarakat Digital Program S3 Ilmu Sosial FISIP Unair

Kendati perekonomian nasional tengah lesu, bahkan terancam resesi pada kuartal ketiga 2020, prospeknya berpeluang kembali bangkit melalui revitalisasi UMKM.

Di Indonesia, UMKM diakui sebagai penyangga utama perekonomian nasional yang mampu menyerap banyak tenaga kerja. Berdasarkan data BPS, di Indonesia (2018) jumlah UMKM 64,2 juta, yang meliputi 63,35 unit usaha mikro, 783 ribu usaha kecil, dan 60.702 usaha menengah.

Di berbagai daerah, UMKM mampu menyerap 116 juta angkatan kerja. Untuk membantu UMKM kembali bangkit, revitalisasi yang dilakukan pemerintah adalah mendorong keterlibatan pelaku UMKM dalam proses digitalisasi.

Menurut data Bank Indonesia, saat ini baru sekitar 4,3 juta pelaku UMKM terintegrasi dengan sistem transaksi daring, yaitu digitalisasi pada sistem pembayaran menggunakan QRIS (QR CodeIndonesia).

Pergeseran

Ketika menyalurkan dana bantuan sosial ke masyarakat terdampak Covid-19 dan bantuan modal ke pelaku UMKM, pemerintah berharap itu menjadi stimulan bagi kebangkitan UMKM dari keterpurukan.

Namun nyatanya, itu tak cukup efektif memacu minat belanja masyarakat ekonomi menengah ke bawah, terutama pada produk UMKM. Di berbagai wilayah, sektor UMKM umumnya terdampak dari dua sisi, baik suplai maupun permintaan.

 
Menurut data Bank Indonesia, saat ini baru sekitar 4,3 juta pelaku UMKM terintegrasi dengan sistem transaksi daring, yaitu digitalisasi pada sistem pembayaran menggunakan QRIS (QR CodeIndonesia).
 
 

Distribusi dan arus kas yang terganggu menjadi penyebab sekitar 50 persen UMKM sulit bertahan, bahkan diprediksi gulung tikar pada September 2020 gara-gara pandemi Covid-19. Penerapan PSBB di berbagai kota/kabupaten, membuat daya tahan UMKM tergerus.

Tak hanya UMKM di bidang layanan pariwisata, produk UMKM, seperti makanan, kerajinan, alat rumah tangga, dan lain-lain, terancam gulung tikar karena tak ada permintaan pasar. Memasuki normal baru, pergeseran ke belanja daring tidak dapat dihindari.

Pencegahan penyebaran Covid-19 agar tak kian masif, mau tidak mau harus didukung dengan penerapan social distancing ataupun physical distancing. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, masyarakat harus lebih banyak berbelanja daring.

UMKM yang berkukuh dengan model layanan dan pemasaran konvensional, niscaya digerus perubahan. Para pelaku UMKM yang ingin bertahan, harus mampu menyuguhkan layanan daring kepada pembelinya.

Lebih dari sekadar menggunakan gawai untuk memasarkan produk dan memperluas pangsa pasar, agar UMKM mampu bertahan atau bahkan bangkit, yang dibutuhkan tak pelak adalah kemampuan literasi digital.

Literasi digital

Literasi digital, pada dasarnya praktik komunikasi, menjalin relasi, berpikir, dan aktivitas lain yang berkaitan dengan media digital.

Pengembangan literasi digital, bagian dari upaya memahami bagaimana media memberikan dampak terhadap berbagai jenis praktik literasi yang muncul, termasuk praktik membaca dan menulis yang berkembang karena pengaruh penggunaan teknologi digital. Hal itu dimanfaatkan untuk kebutuhan pemasaran bagi pelaku UMKM.

Memahami literasi digital berarti tidak sekadar menunjuk bagaimana secara teknis peralatan digital dipraktikkan, tetapi juga penggunaan peralatan digital itu terkait aspek sosial, termasuk kemampuan mengelola hubungan dan identitas sosial dalam lingkungan digital.

 
Literasi digital, pada dasarnya praktik komunikasi, menjalin relasi, berpikir, dan aktivitas lain yang berkaitan dengan media digital.
 
 

Seperti dikatakan Jones & Hafner (2012), literasi digital tidak hanya kemampuan teknis mengoperasionalkan komputer sebagai peralatan digital, tetapi juga kemampuan beradaptasi dengan aktivitas yang termediasi teknologi digital, termasuk praktik sosial.

Bagi pelaku UMKM yang sebagian besar kurang berpendidikan dan gagap dalam pemanfaatan teknologi informasi serta internet, peluang mereka terlibat dalam proses digitalisasi harus diakui tidaklah besar.

Dengan segala keterbatasan mereka, bisa dipastikan tak banyak pelaku UMKM mampu beradaptasi dengan situasi pada era normal baru. Mengapa? Tak lain karena membangun kemampuan literasi digital bukanlah hal yang bisa dilakukan instan.

Terlepas pemerintah sebetulnya bermaksud baik, yakni melakukan revitalisasi melalui digitalisasi UMKM, tetapi kita tak dapat memungkiri, mewujudkannya bukan hal mudah. Di beberapa daerah terpencil, keterbatasan akses internet menjadi kendala.

Pemahaman pelaku UMKM terhadap kegunaan teknologi informasi, pemasaran daring masih terbatas, proses produksi dan akses pasar daring masih belum maksimal, sehingga tak banyak peluang yang bisa dimanfaatkan pelaku UMKM untuk memberdayakan dirinya.

Dalam banyak kasus, kalaupun pelaku UMKM siap memasuki era digitalisasi, diakui atau tidak masih banyak konsumen merasa tidak aman dalam melakukan transaksi digital.

Dalam rangka memasarkan berbagai produknya, pelaku UMKM memang dapat lebih menggencarkan promosi melalui media sosial atau memanfaatkan platform lain, yang tersedia di dunia maya.

Namun masalahnya, sejauh mana pelaku UMKM mampu menjaga kualitas produk sebagaimana diharapkan konsumen. Sepanjang digitalisasi UMKM tak dibarengi jaminan kualitas produk, jangan harap UMKM dapat tetap bertahan pada era normal baru. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat