Pengungsi Rohingya turun dari kapal yang diselamatkan nelayan di Pantai Lancok, Aceh Utara, Juni lalu. | EPAHOTLI SIMANJUNTAK

Kisah Mancanegara

'Kami Ingin Pulang dengan Aman'

Ada lebih dari satu juta warga Rohingya yang tinggal di permukiman pengungsi terbesar di dunia.

OLEH LINTAR SATRIA KAMRAN DIKARMA 

Sudah tiga tahun lebih dari satu juta Muslim Rohingya melarikan diri dari Myanmar. Hingga kini, nasib mereka masih tak pasti. Mereka ingin pulang. Namun, belum ada secercah harapan yang bisa menjamin keamanan mereka. 

Selasa (25/8), Muslim Rohingya menggelar peringatan tahun ketiga mereka mengungsi dari Myanmar. Peringatan dilakukan oleh setiap pengungsi dari dalam gubuk bambu yang tipis di pengungsian. 

Ada lebih dari satu juta warga Rohingya yang tinggal di permukiman pengungsi terbesar di dunia yang terletak di selatan Bangladesh. Pertempuran antara pemberontak dan militer Myanmar memaksa warga sipil Rohingya eksodus ke negara tetangga.

Kemungkinan mereka kembali ke Myanmar sangat kecil. Masyarakat minoritas itu tidak mendapatkan hak kewarganegaraan di negara Asia Tenggara tersebut. 

Para pengungsi mengatakan, wabah virus korona membuat mereka tidak bisa menggelar pertemuan massal untuk memperingati hari yang mereka sebut 'Hari Peringatan'. Pihak berwenang mengatakan, mereka menemukan 88 kasus infeksi virus korona di pemukiman pengungsi tersebut. Virus yang mematikan tersebut dapat dengan mudah menyebar dan menginfeksi mereka karena jarak fisik hampir tidak mungkin.

photo
Pengungsi Rohingya saling berpelukan dan menangis usai melaksanakan shalat Idul adha 1441 H di Balai Latihan Kerja (BLK) Desa Mee Kandang, Lhokseumawe, Aceh, Jumat (31/7/2020). ANTARA FOTO/Rahmad/pras - (RAHMAD/ANTARA FOTO)

 Tiga tahun yang lalu, pemberontak Rohingya menyerang 30 kantor polisi dan pangkalan militer di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, dan membunuh 12 orang petugas keamanan. Pembalasan yang digelar Pemerintah Myanmar memaksa 730 ribu warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh yang disusul 200 ribu orang lainnya. 

"Kami dipaksa keluar dari tanah air kami untuk berada di permukiman pengungsi terbesar di dunia," kata kelompok masyarakat Rohingya dalam pernyataan mereka, Selasa (25/8). 

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan, ada niat melakukan genosida dalam tindakan militer Myanmar di Rakhine. Myanmar membantah tuduhan tersebut dan mengatakan mereka memiliki hak menggelar operasi militer untuk menumpas pemberontakan kelompok Rohingya dan para pemberontak yang bertanggung jawab atas sebagian besar kekerasan yang terjadi di Rakhine, termasuk membakar desa-desa. 

Pengungsi mengatakan, selama berpuluh-puluhan masyarakat Rohingya menghadapi 'genosida terselubung' di Myanmar. Mereka mendesak PBB dan organisasi internasional lainnya untuk mendeklarasikan apa yang terjadi terhadap mereka pada 2017 lalu sebagai genosida. 

"Mohon berdiri bersama masyarakat Rohingya yang tak bersalah. Harapannya kami dapat kembali pulang ke rumah," ujar kelompok itu dalam pernyataan mereka. 

Bangladesh sebenarnya telah menandatangani perjanjian dengan Myanmar untuk memulangkan para pengungsi. Namun, pengungsi Rohingya menolak pergi tanpa jaminan keamanan dan hak mereka.

photo
Sejumlah anak pengungsi etnis Rohingya berlomba lompat tarik sarung di tempat penampungan Balai Latihan Kerja (BLK), Desa Meunasah Mee Kandang, Lhokseumawe, Aceh, Minggu (16/8/2020). Aneka lomba antar para pengungsi etnis Rohingya itu diselenggarakan dalam rangka memeriahkan HUT ke-75 Republik Indonesia - (RAHMAD/ANTARA FOTO)

Sekira 600 ribu etnis Rohingya tetap berada di Myanmar. Namun, sebagian besar tidak dianggap sebagai warga negara dan hidup dalam kondisi yang digambarkan Amnesty International sebagai kondisi "apartheid". "Rohingya tidak yakin dengan ketulusan Pemerintah Myanmar," kata Menteri Luar Negeri Bangladesh, Masud bin Momen, seperti dilansir Aljazirah.

Khin Maung, seorang aktivis Rohingya berusia 25 tahun yang kehilangan 10 kerabat dalam tragedi 2017 mengatakan, para pengungsi sangat tertekan di kamp pengungsian. "Kami menginginkan keadilan.  Kami juga ingin kembali ke rumah. Tapi, saya tidak melihat harapan itu ada dalam waktu dekat.  Mungkin butuh waktu bertahun-tahun," kata Maung, yang memimpin kelompok pemuda Rohingya.

Dia mengatakan, keputusasaan telah menyebabkan ratusan orang melarikan diri dari kamp tahun ini dengan perahu reyot. Pelarian mereka diatur oleh kelompok perdagangan manusia. Sebanyak 24 pengungsi diyakini tenggelam di lepas pantai Malaysia pada bulan lalu. "Myanmar perlu menerima solusi internasional yang menyediakan pemulangan pengungsi Rohingya yang aman dan sukarela, sementara Bangladesh yang terbentang luas seharusnya tidak membuat kondisi yang tidak ramah bagi pengungsi yang tidak punya tempat tujuan," ujar Brad Adams dari Human Rights Watch.

Deputi Regional Direktur Kampanye Amnesty International Ming Yu Hah mengatakan, berkaca dari kondisi yang terjadi di negara bagian Rakhine, Myanmar sangat jelas tidak menginginkan pengungsi Rohingya kembali ke tempat asal mereka. Warga Rohingya yang tidak ikut melarikan diri dan melintasi perbatasan tiga tahun lalu menjadi sandera. Mereka terkepung oleh pemerintah. 

"Mereka terjebak dalam konflik ketika militer Myanmar bertempur melawan Tentara Arakan--kelompok bersenjata etnis Rakhine--dalam pertempuran sengit, yang menyebabkan etnis Rohingya, termasuk anak-anak, terjebak dalam baku tembak,” kata Ming Yu Hah. 

Dia menambahkan, warga Rohingya juga terjebak di tengah ancaman pandemi Covid-19 yang membayangi keselamatan mereka. Di wilayah mereka, kata dia, pelayanan medis sangat tidak adil dan tidak setara. "Padahal, otoritas Myanmar seharusnya melindungi warga Rohingya sesuai dengan perintah Mahkamah Internasional PBB awal tahun ini.” 

Menurut Ming Yu Hah, Otoritas Myanmar pun kini sudah mengubah tampilan lanskap di beberapa bagian utara wilayah Rakhine. Menurut rekaman video, citra satelit, dan kesaksian yang didapat Amnesty International, terdapat bangunan baru, termasuk kantor pemerintah, yang sedang dibangun di atas tanah yang sebelumnya dimiliki oleh etnis Rohingya. 

"Dalam tiga tahun ke depan, akan seperti apa wilayah utara Negara Bagian Rakhine? Kami khawatir para pengungsi Rohingya yang pernah tinggal di sana dan berharap untuk pulang tidak akan lagi mengenali wilayah tersebut.” 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat