Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Memaknai Hijrah pada Masa Pandemi

Hijrah kali ini akan menempa kita lebih efisien dan produktif dari waktu-waktu lampau.

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA

Jika tahun masehi menggunakan tahun kelahiran Isa AS sebagai hitungan awal, kaum Muslimin memilih pendekatan berbeda.

Bisa saja, Amirul Mukminin ketika itu memilih tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW sebagai tonggak tahun hijriyah, tetapi bukan itu yang dipilih. Atau sebagai alternatif, momen besar lain terkait kenabian, yaitu saat wahyu pertama turun.

Alih-alih memilih momen di atas sebagai titik awal menentukan kalendar umat Islam, pemimpin saat itu akhirnya mengambil peristiwa hijrah dari Makkah ke Madinah. Latar yang menjadi alasan pijakan kalender kaum muslimin disebut tahun Hijriyah.

Banyak alasan mengapa momentum hijrah yang dipilih. Salah satunya, betapa hijrah merupakan langkah terpenting dalam sejarah umat Islam dan umat manusia. Di dalam hijrah, ada perubahan, ada perpindahan, baik secara fisik maupun spiritual.

Lebih dari itu, terkandung makna pengorbanan, persatuan, persaudaraan, strategi, dan kepemimpinan dalam hijrahnya Nabi dan kaum muhajirin. Teramat banyak hal bermakna dalam kehidupan tersirat pada peristiwa hijrah.

 
Sesuatu yang dulu kita anggap berat harus dijadikan mudah, sesuatu yang rasanya tidak mungkin harus dibuat nyata.
 
 

Pesan itu menjadi semakin penting ketika kita memperingati tahun baru Hijriyah pada masa pandemi ini. Tidak banyak pilihan kecuali kita harus menyatukan barisan dan sama-sama berhijrah, untuk melewati situasi berat dan penuh ujian yang belum jelas kapan berakhirnya.

Keharusan untuk sama-sama hijrah dari kebiasaan dan kelaziman lama menjadi kebiasaan baru atau normal baru. Sesuatu yang dulu kita anggap berat harus dijadikan mudah, sesuatu yang rasanya tidak mungkin harus dibuat nyata.

Di dunia pendidikan, guru dan dosen yang terbiasa dengan kelas tatap muka, mau tak mau harus berhijrah dengan metode pengajaran daring. Tidak terhitung banyaknya adaptasi yang dibutuhkan. Tanpa semangat hijrah, akan sulit menerapkannya secara konsisten.

Para pengajar ditantang menemukan cara mendidik secara daring yang tidak membosankan. Di sisi lain, pelajar harus menemukan cara bertahan dengan sistem pengajaran atau kuliah yang lebih searah.

Dari sisi keluarga, para orang tua harus hijrah menjadi pengawas anak yang sedang menyelesaikan tugas akademis. Kalau dulu, sebagian ibu bisa menemani anak di sekolah sambil mengobrol dengan ibu-ibu lain, kini harus menemani anak 24/7, bermain, belajar, termasuk tetap awas saat buah hati belajar.

Di dunia kerja, para atasan harus membuat prioritas. Memilih  pekerjaan mana yang membutuhkan kehadiran pegawai dan mana yang bisa dilakukan dari rumah (work from home). Mereka menyadari, jika semua dipaksakan ke kantor sementara jumlah kasus saat ini masih terus meroket, akan menjelma bencana.

Kalangan profesional muda harus mengubah kebiasaan berkumpul di kafe bersama teman atau kolega. Pertemuan yang biasa dilakukan setiap hari atau sepekan sekali, mungkin menjadi sebulan atau dua bulan sekali- barangkali malah sepenuhnya temu virtual.

Masih banyak lagi bentuk hijrah yang terpaksa kita lakukan. Bukan perkara mudah keluar dari kebiasaan. Apalagi, kita juga dituntut tetap memperoleh raihan yang sama dengan pencapaian sebelum pandemi. Kebutuhan hidup tak lantas menyusut karena Covid-19.

Uang kontrakan tetap ditagihkan setiap bulan, berbagai cicilan tetap berdatangan, kebutuhan pangan juga tak bisa ditunda. Bukan hanya tak mudah melainkan sulit, teramat sulit. Apalagi, berjuta rakyat sudah kehilangan pekerjaan. Lalu, bagaimana mampu bertahan?

Sungguh saya berharap di hadapan rakyat  yang sebagiannya ‘sekarat’,  terdampak keras oleh pandemi, akan hadir lebih banyak kaum Anshar--sebagai  penolong, hingga impitan hidup tak membuat umat kehabisan napas.

 
Pendeknya, hijrah kali ini akan benar-benar menempa kita menjadi sosok manusia yang lebih efisien dan produktif dari waktu-waktu lampau. 
 
 

Hijrah kita kali ini, seolah perjalanan melalui lorong panjang dan gelap yang entah di mana ujungnya. Namun, di balik semua tantangan dan kesulitannya, jika kita sanggup melaluinya, kualitas setiap diri insya Allah akan terangkat berlipat-lipat. 

Pendeknya, hijrah kali ini akan benar-benar menempa kita menjadi sosok manusia yang lebih efisien dan produktif dari waktu-waktu lampau. Dunia ini bagaimana pun sudah tidak sama lagi.

Pada normal baru, utamanya adalah perubahan. Sesuatu yang tidak biasa harus menjadi kebiasaan. Sesuatu yang dulu aneh, kini menjelma kewajaran. Sesuatu yang tidak mungkin harus menjadi mungkin. Berubahlah, beradaptasilah, sambil memperbanyak doa.

Selamat Tahun Baru 1442 Hijriyah. Semangat dan kilas balik hijrah Rasulullah SAW, semoga menyumbangkan energi bagi umat yang tertatih untuk memiliki kekuatan dan tujuan. Cahaya, semoga dekat, menanti di ujung lorong panjang yang saat ini kita lalui. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat