Kepala Sekolah (kanan) berfoto bersama murid saat pelaksanaan prosesi wisuda virtual salah satu sekolah di Bekasi, Jawa Barat, Rabu (1/7/2020). Sekolah tersebut menggunakan inovasi teknologi robot wisuda untuk memudahkan prosesi kelulusan 85 siswa kelomp | ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah

Inovasi

Realita Kesenjangan Digital Antargenerasi

Setiap perkembangan zaman pasti akan memunculkan kesenjangan.

Era digital yang terus bergulir, dalam kenyataannya tidak dapat mulus diadopsi oleh semua kalangan. Beberapa kalangan merasa kesulitan mengikuti cepatnya arus digital karena faktor geografis, kesulitan ekonomi, keterbatasan akses, atau terbentur faktor sosial serta budaya.

Saat ini, kesenjangan digital antargenerasi pun tak bisa dipungkiri. Di saat kalangan milenial sudah kian menyatu dengan teknologi, kalangan generasi analog secara bertahap berupaya menyelaraskan diri dengan zaman.

Ketua umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Jamalul Izza mengungkapkan, saat ini generasi tua di pedesaan lebih sulit berpindah ke dunia digital. Karena tidak ada faktor yang menuntut mereka untuk bermigrasi ke sana atau pekerjaan mereka tidak berkaitan dengan digital.

Namun, anak-anak mereka pasti akan tetap mengikuti perkembangan teknologi. Sebab, mereka sudah mulai mengenal sekolah melalui daring di tengah pandemi Covid-19. “Berbeda dengan generasi tua di perkotaan, mereka dituntut juga dari sisi pekerjaan dan pendidikan , sehingga jauh lebih mudah berpindah ke dunia digital,” ia menjelaskan.

Selain itu, celah antara generasi tua dan generasi muda, menurut Jamalul, akan tetap selalu ada. Tetapi secara perlahan-lahan kurvanya akan bergerak secara bersamaan.

Keingintahuan terhadap kemajuan teknologi dari anak-anak, akhirnya akan membuat generasi tua akhirnya mencoba bermigrasi ke dunia digital, meski hal ini memang ini tidak bisa dipaksakan. “Setiap perubahan zaman dengan perkembangan teknologi dan perubahan generasi pasti akan memunculkan gap. Misalnya, generasi milenial dengan generasi baru,” katanya.

Transfer Pengetahuan

photo
Sejumlah siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Karya Utama memanfaatkan akses internet gratis di Taman I Love Karawang, Nagasari, Karawang, Jawa Barat, Kamis (6/8/2020). Menurut Satuan Tugas (Satgas) Pelajar Sekolah Menengah Kejuruan Kabupaten Karawang siswa tersebut kesulitan mendapat akses internet di daerahnya dan terpaksa pergi ke kota untuk mengerjakan tugas sekolah dengan memanfaatkan fasilitas internet gratis - (Muhamad Ibnu Chazar/ANTARA FOTO)

Bersama-sama hidup di era digital, membuat baik geerasi milenial, maupun para pendahulunya harus memiliki keterampilan digital yang baik. Saat ini, tak sedikit orang yang berupaya mengejar ketertinggalannya, dengan menjajal media sosial, atau sekadar mencicipi luasnya jagat rimba maya.

Menurut pengamat sosial dari Universitas Indonesia Devie  Rahmawati, antusiasme yang muncul dari generasi tua perlu disambut dan dibantu dengan literasi agar mereka tidak ketinggalan. Yang diperlu diliterasi adalah bagaimana cara anak-anak muda bisa berkomunikasi dengan generasi tua di lingkungan terdekat.

Misalnya, di lingkup keluarga dengan mengedepankan komunikasi yang membuat generasi tersebut tidak merasa disingkirkan atau tidak merasa direndahkan. “Kalangan yang lebih muda menjadi punya tanggung jawab lebih, karena memang mereka sudah menguasai teknologi tersebut,” ujar Devie.

Dengan begitu, ia melanjutkan, sudah otomatis mereka juga sebenarnya punya tanggung jawab untuk bisa mentransfer pengetahuan tersebut terhadap generasi yang lebih tua.

Dalam prosesnya, menguasai teknologi pun memiliki berbagai poin yang perlu diperhatikan. Psikolog Mia Marissa Kumala, M Psi menjelaskan, kecerdasan digital memiliki delapan poin.

Pertama, bisa memilih identitas yang boleh dibagikan dan tidak. Tujuannya, untuk menjaga keamanan diri dan privasi, agar identitas kita tidak disalahgunakan oleh pihak lain.

Kedua, menyeimbangkan penggunaan digital. Perlu ada kelola waktu daring dan waktu untuk aktivitas riil sehari-hari, misalnya membantu ibu dan ayah di rumah.

Ketiga, bisa mendeteksi konten berisiko, seperti cyberbullying,  radikalisasi, pornografi dan penipuan. Kemudian, kita bisa mengambil tindakan untuk melaporkan akun yang mengancam keselamatan diri maupun teman kita.

Keempat, bisa mendeteksi ancaman siber yang dapat berupa hacker, scam dan sebagainya. Dengan begitu, kita dapat mengambil tindakan untuk melindungi akun dan gawai kita dari ancaman siber.

Salah satu caranya, adalah dengan rutin mengganti kata sandi dan memasang antivirus. Kelima, bisa berempati dan berhubungan baik secara daring. “Yuk jadi netizen yang sopan, bukan berkata-kata kasar, apalagi cyberbullying. Ingat jejak digital ya, jangan sampai postinganmu merugikan masa depanmu,” ujar Mia.

Keenam, bisa komunikasi dan kolaborasi menggunakan teknologi. Pemanfaatan multimedia dapat diarahkan untuk menjadi keterampilan yang berguna, misalnya mengedit video, menyampaikan presentasi, atau menulis surel. “Meskipun bentuk komunikasinya daring, etika dan sikap hormat pada guru dan teman tetap penting,” katanya.

Ketujuh, literasi digital. Mia mengatakan poin ini, mengarah pada  paham cara mendapatkan informasi. Misalnya, dengan menggunakan mesin pencari, membaca artikel, berita atau jurnal dan bisa mengkritisi antara hoaks atau fakta.

Ia juga mengingatkan, agar kita selalu menyaring informasi sebelum membagikan kepada orang lain. Kedelapan, adalah menghormati hak cipta orang lain dengan mencantumkan nama pembuatnya ketika mengambil atau meneruskan karya tersebut. 

Solusi Mengatasi Friksi

Pada dasarnya, setiap generasi akan sulit mengadopsi teknologi baru ketika mereka sudah di usia 30 hingga 40. Biasanya, seseorang akan bertahan dengan teknologi yang diadopsi ketika remaja.

Ini tidak hanya terjadi pada adopsi teknologi, tetapi juga banyak hal lain, misalnya selera musik. Head of Education Websis for Edu, Adi Respati memilih dua kajian psikologi yang relevan untuk menjelaskan hal tersebut.

Yakni, kajian psikologi belajar dan kajian psikologi perkembangan . Ada tiga dinamika yang berkaitan dengan adopsi teknilogi dan generasi, yaitu bagaimana remaja mengadopsi teknologi, bagaimana orang dewasa sulit mengadopsi teknologi baru dan mengapa orang dewasa sulit meninggalkan teknologi lama.

Pertama, Adi mengungkapkan, tingkah laku yang muncul pada masa remaja akan bertahan kuat dan lama. Dalam ilmu psikologi belajar, belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang permanen jika mendapat reinforcement, seperti hadiah, pengakuan, atau penghargaan.

Sementara itu, dalam psikologi perkembangan, masa remaja ditandai dengan seseorang sedang banyak-banyaknya memiliki teman dan haus pengakuan dari mereka semua. Ini membuat masa remaja menjadi periode “belajar” yang sangat signifikan.

Menurut Adi, apabila diterapkan dalam konteks teknologi, keterampilan seorang remaja menggunakan teknologi yang menjadi tren saat itu dihadiahi dengan perhatian dan pengakuan dari semua temannya. “Dengan begitu, gaya menggunakan teknologinya akan sangat kuat menjadi bagian dari identitasnya,” ujarnya.

Kedua, Adi melanjutkan, sebaliknya ketika dewasa, apalagi lansia, lingkungan sosial kita tidak terlalu mendukung seperti ketika remaja untuk belajar hal baru. Di lingkungan kerja, menguasai hal baru dipandang sebagai tingkah laku kompetitif, bahkan ancaman. Hal ini kerap dianggap sebagai bentuk hukuman.

Dalam psikologi belajar, hukuman adalah cara jitu untuk mematikan tingkah laku. “Jadi semakin kuatlah motif orang dewasa untuk bertahan dengan keterampilannya. Ini menjelaskan mengapa ketika dewasa kita tidak mengadopsi teknologi baru segiat ketika remaja dan malah protektif terhadap teknologi,” katanya.

Meninggalkan teknologi lama, merupakan pengalaman yang cukup menyakitkan. Tidak jarang perubahan menuntut kita untuk belajar ulang. “Artinya, kita diminta untuk meninggalkan teknologi yang bertahun-tahun sudah menghadiahinya dengan kesuksesan dan harus mengadopsi teknologi baru yang tidak menjanjikan hal yang sama atau malah membawa risiko,” Adi menjelaskan.

Dampak perttumbuhan teknologi paling ekstrem adalah akses yang terdiri dari batasan jumlah dan batasan waktu. Ini karena sifat teknologi sekarang adalah mobile dan connected.

Generasi yang berusia remaja sebelum era connected, yakni generasi X yang lahir antara 1965-1976 dan generasi Y yang lahir antara 1977-1995, cenderung mengonsumsi konten secara intensif dengan sedikit variasi, tapi mendalam. Ini karena ketersediaan konten terbatas dan tidak murah.

Generasi yang berusia remaja di era connected, yakni generasi Z atau yang lahir antara 1996-belum ditetapkan, kini mengonsumi konten secara diverse atau kaya variasi, tapi tidak mendalam. Hal ini dimungkinkan karena akses mereka tidak terbatas.

Dengan biaya langganan terjangkau mereka bisa mengakses, katalog global, misalnya Spotify, Netflix, Coursera, GoFood dan lain-lainnya, mereka dapat mencicip berbagai rasa. Tapi, tidak sampai fanatik kepada kelompok citarasa tertentu. “Ketika generasi sebelum era connected mengadopsi layanan online, gaya konsumsi mereka cenderung sama dengan gaya tradisional mereka,” ujar Adi.

Kendati demikian, ia melanjutkan, ada solusi untuk mempersempit celah agar generasi tua tidak ketinggalan. Caranya, adalah dengan mengintervensi lingkungan sosial. Kita bisa membuat agar suatu lingkungan sosial bersahabat untuk lintas generasi. Baik itu, lingkungan kampus, kantor, keluarga, komunitas.

Kembali kajian ilmu Psikologi Belajar, cara belajar paling efektif adalah modeling. Seseorang akan mencoba sesuatu setelah ia melihat orang lain mendapat manfaatnya.

Biasanya orang dewasa yang terbuka mencoba teknologi baru atau apapun selain teknologi memiliki dua karakteristik ini, yatu mereka dikelilingi oleh orang yang lebih muda dan hubungan mereka dengan orang-orang lebih muda ini “santai”.

Khusus di lingkungan kerja, percepatan adopsi teknologi baru bisa dilakukan dengan manajemen membuat tim-tim yang multigenerasi. Mereka ditugaskan mengerjakan tugas, membuat produk dengan harus saling belajar dan saling mendukung.

Junior bisa mengajarkan teknik baru, sementara senior bisa mengajarkan wisdom atau kebijaksanaan mereka dalam menggunakan teknologi. Hasilnya, tim yang bijak dalam menggunakan teknologi baru. 

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat