Wakil Ketua Komite Pelaksana Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang juga Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa (tengah) menyampaikan keterangan pers usai menerima hasil uji klinis tahap tiga obat baru untuk p | ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA FOTO

Kisah Dalam Negeri

Dari Ketaksengajaan Lahirlah ‘Obat’ Covid

Keabsahan ilmiah obat Covid-19 TNI-Unair-BIN menjadi hal yang mendesak.

OLEH RONGGO ASTUNGKORO, DADANG KURNIA

"Ini berawal dari ketidaksengajaan sebenarnya.’’ 

Kata-kata itu keluar dari Komandan Sekolah Calon Perwira Angkatan Darat (Secapa) TNI AD Mayjen TNI Ignatius Yugo Triono awal bulan lalu. Perwira tinggi bertubuh kekar tersebut kala itu memaparkan asal mula diketahuinya penularan Covid-19 di sekolah yang berlokasi di Jalan Hegarmanah, Kota Bandung, Jawa Barat.

Menurut dia, awalnya ada dua perwira siswa (pasis) Secapa yang dirujuk oleh dokter klinik lembaga pendidikan tersebut ke RS Dustira (RS milik TNI AD) yang berlokasi di Kota Cimahi. Seorang pasis mengeluhkan sakit bisul disertai demam karena adanya infeksi dan satu lagi bermasalah dengan tulang belakang. Sesuai dengan prosedur, keduanya kemudian menjalani swab dan dinyatakan positif Covid-19.

"Keduanya dinyatakan positif setelah menjalani swab," kata dia, pertengahan Juli lalu.

Ia kemudian menginstruksikan jajarannya untuk mengirim alat rapid test ke Secapa sebanyak 1.250 unit sesuai jumlah siswa. Dengan pertimbangan ada para pelatih yang sehari-hari berinteraksi dengan mereka, akhirnya dikirim 1.400 unit alat.

Seturut hasil pemeriksaan selanjutnya, di Secapa TNI AD tercatat 1.280 orang positif Covid-19, sedangkan di Pusdikom tercatat 101 siswa positif Covid-19. Dari 1.280 yang dinyatakan positif, di Secapa, 991 di antaranya merupakan pasis, 283 staf dan pelatih, serta enam orang anggota keluarga staf dan pelatih. Saat itu, hampir seluruh prajurit dan keluarga yang dinyatakan positif korona tidak ada yang memiliki gejala, seperti demam, batuk, dan sakit tenggorokan. 

photo
Warga Hegarmanah, Kecamatan Cidadap, Kota Bandung, kembali menggiatkan pembatasan sosial setelah diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Mikro (PSBM), Selasa (14/7). PSBM dilakukan hanya di wilayah yang berdekatan dengan Secapa TNI AD sebagai klaster baru Covid-19. - (Edi Yusuf/Republika)

Penularan di Secapa inilah yang kemudian jadi ajang uji klinis kombinasi 'obat' penyembuh Covid-19. Dalam rekaman lansiran Mabes TNI AD, pada 13 Juli tim dari Universitas Airlangga (Unair) sudah berada di Secapa TNI AD untuk mempersiapkan pelaksanaan uji swab.

Badan Intelijen Negara (BIN) digandeng dalam uji klinis tersebut. Uji klinis tersebut mula-mula melibatkan 600 perwira siswa yang dinyatakan positif Covid-19.

Dari rangkaian tersebut, muncul klaim mengejutkan. Pihak Unair belakangan mengeklaim bahwa kombinasi obat-obatan yang mereka ujikan kepada pasien dari Secapa TNI AD manjur. Tak main-main, kombinasi tersebut bahkan disebut-sebut sebagai obat Covid-19 pertama di dunia. 

“Tentu, karena ini akan menjadi obat baru dan diharapkan ini akan menjadi obat Covid-19 pertama di dunia,” kata Rektor Unair Prof M Nasih, di Surabaya, Ahad (16/8).

Nasih menjelaskan, obat Covid-19 yang ditemukan merupakan campuran dari berbagai macam obat tunggal yang telah diberikan kepada pasien Covid-19 di berbagai belahan dunia. Kesimpulannya, terdapat tiga kombinasi obat yang ditemukan Unair dan telah lolos uji klinis, di antaranya Lopinavir/Ritonavir dan Azithromycin; Lopinavir/Ritonavir dan Doxycycline; serta Hydrochloroquine dan Azithromyci.

“Awalnya lima kombinasi, kemudian ada saran untuk mengambil tiga kombinasi terbaik saja, yang dampaknya paling besar. Akhirnya, kami ambil tiga tersebut karena efektivitasnya mencapai 98 persen dan kami lakukan uji klinis dengan mengujinya secara acak di lapangan,” ujar Nasih memaparkan.

Dalam melaksanakan uji klinis obat kombinasi tersebut, ia mengeklaim tim Unair tidak hanya melakukan pada satu pihak dan satu tempat. Nasih menegaskan, tim Unair melakukan uji klinis pada 13 pusat penelitian di Indonesia dan masing-masing tempat dikoordinasi oleh salah seorang dokter profesional.

“Secara keseluruhan kami hanya ada satu tim, tetapi di beberapa daerah kami ada beberapa kelompok yang kami sebar menjadi 13 center, karena kami melakukan uji klinis untuk obat itu,” kata dia.

photo
Petugas dari Gugus Tugas Covid-19 Kota Bandung, berjaga-jaga di Check Point Pembatasan Sosial Berskala Makro (PSBM) di Jalan masuk Cisatu dari arah Ciumbuleuit, Rabu (15/7). Dalam penerapan PSBM, Jalan Cisatu termasuk jalan yang ditutup karena mempunyai akses langsung ke Jalan Hegarmanah dan Secapa TNI AD sebagi klaster baru Covid-19. - (Edi Yusuf/Republika)

Untuk mempercepat proses rilis kombinasi obat tersebut, Nasih meminta TNI, Polri, BIN, Ikatan Dokter Indonesia, Ikatan Apoteker Indonesia, Kimia Farma, serta Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional bahu-membahu dan membuang ego sektoral masing-masing.

“Kami sudah diminta oleh Kimia Farma dan Lembaga Biologi TNI AD untuk menjelaskan petunjuk teknis dalam memproduksi obat kombinasi tersebut. Sehingga, kami berharap kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk dapat memperlancar izin produksi obat tersebut,” ujar dia berharap.

Memang harus diakui tingkat kesembuhan para pengidap Covid-19 dari klaster Secapa TNI AD tergolong lekas. Dari total 1.280 pasien pada pertengahan Juli, pekan lalu tersisa 12 orang yang masih positif Covid-19.

Kemudian pada Sabtu (15/8), Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Andika Perkasa menyebutkan seluruh pasien dari klaster Secapa TNI AD sudah dinyatakan sembuh. "Dari total 1.308 pasien positif Covid-19 di Secapa AD, pada hari ini tidak ada yang positif," kata KSAD melalui pernyataan tertulis.

Namun, kesembuhan tersebut bukan dari eksperimen pengobatan saja. Andika mengungkapkan, upaya penyembuhan lain yang juga dilakukan adalah terapi plasma convalescent. Istilah terapi plasma convalescent merujuk pada pemberian plasma darah dari orang yang telah sembuh ke pasien lainnya yang dalam masa pengobatan untuk penyakit infeksi yang sama.

Plasma darah dari orang yang telah sembuh diperkirakan bisa membantu melawan SARS-CoV-2 karena memiliki antibodi yang telah dibentuk oleh pasien tersebut.

photo
Wakil Ketua Komite Pelaksana Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Jenderal TNI Andika Perkasa (kanan) menerima hasil uji klinis tahap tiga obat baru untuk penanganan pasien Covid-19 dari Rektor Universitas Airlangga (Unair) Mohammad Nasih, di Jakarta, Sabtu (15/8). - (ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA FOTO)

Standar riset

Untuk sebagian peneliti dan praktisi di Indonesia, keabsahan ilmiah obat tersebut justru menjadi hal yang mendesak. Epidemologis dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Pandu Riono, masih menunggu publikasi riset obat tersebut.

Maksud dia, apakah sudah ada publikasi riset obat yang sesuai kaidah standar laporan ilmiah untuk uji klinis. “Biasanya setiap uji klinis harus diregistrasi secara internasional dan protokol harus bisa diakses oleh dunia akademis,” kata Pandu, seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Selasa (18/8).

Ia kemudian mengingatkan, seharusnya tim Unair mengikuti prosedur terbuka dan dilaporkan hasilnya dalam pertemuan akademis yang memahami prosedur uji klinis. Tahapan riset juga harus dipantau oleh tim pengawasan klinis yang independen.

Selain itu, secara administratif dan transparansi mesti ada pengawas klinis independen, data safety monitoring board (DSMB) minimal tiga orang, meliputi masing-masing satu ahli farmakologi, biostatistik, dan ahli penyakit yang diteliti. “Dan, harus terdaftar di International Clinical Trial Registry, bisa di WHO atau registry lainnya,” ujar Pandu lagi.

Pandu juga mengingatkan agar setiap ada perubahan protokol riset harus dilaporkan dan ditelaah oleh komite etik penelitian yang independen dan disetujui oleh BPOM. Komite etik yang independen, Pandu melanjutkan, sebaiknya dari Balitbangkes Kementerian Kesehatan dan beberapa pakar dari luar Unair sendiri.

“Ya, ini uji klinik pertama obat Covid-19 di dunia yang anomali dan prosedur riset yang tak terbuka dan klaimnya tidak mengikuti standar uji klinis yang baku. Itu sebabnya akan banyak akademis yang meragukan validitas hasil riset uji klinis Unair tersebut,” ujarnya memperkirakan.

Seakan menjawab keraguan tersebut, Koordinator Produk Riset Covid-19 Universitas Airlangga (Unair) Prof Ni Nyoman Tri Puspaningsih mengatakan, pihaknya tengah mempersiapkan agar temuan obat Covid-19 Unair bisa masuk tahap publikasi internasional. Namun, dia menyatakan, itu bukan merupakan fokus utama.

“Yang diutamakan ini izinnya dulu karena untuk kebutuhan mendesak masyarakat Indonesia. Kalau publikasi ilmiah, kan bisa sambil jalan paralel," ujar Nyoman kepada Republika, Selasa (18/8).

Nyoman menegaskan, sangat mendesak untuk bisa memproduksi obat tersebut secara massal agar lebih banyak masyarakat yang sembuh dan terselamatkan dari Covid-19. "Dari segi keilmuan, juga pasti nanti ada. Namun, kan karena ini untuk masyarakat, maka kalau produk ilmiah kan kadang-kadang riset yang sifatnya lebih ke hulu ya publikasi ilmiah. Tapi, kalau ke hilir kan inginnya produk ini lebih cepat untuk diserap di masyarakat. Jadi, aplikasinya lebih diutamakan," kata Nyoman menjelaskan.

Terkait izin produksi dan izin edar, Nyoman menegaskan pihaknya masih menunggu tindak lanjut dari BPOM. "Sudah pengajuan, nanti BPOM yang memutuskan. Itu nanti akan ada klarifikasi beberapa poin terkait dengan persyaratan perizinannya," ujar Nyoman.

Pembuktian Ilmiah 

Ketua Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Zubairi Djoerban mengatakan, Hydroxychloroquine merupakan obat yang resistan terhadap malaria dan ternyata efektif untuk beberapa penyakit lainnya, seperti lupus. Sebelumnya, Chloroquine juga diduga bermanfaat untuk mengobati SARS (sindrom pernapasan akut parah) yang pernah menjadi wabah pada 2002 hingga 2004.

“Sehingga dari sana, banyak sekali negara memakai Hydroxychloroquine untuk pengobatan Covid-19. Tetapi, semakin lama diketahui, banyak pasien dengan gejala ringan dan dapat sembuh sendiri, khususnya OTG (orang tanpa gejala),” ujar Zubairi kepada Republika, Senin (17/8). 

Sejumlah penelitian lebih lanjut lalu dilakukan terhadap Hydroxychloroquine dan ditemukan adanya efek samping berbahaya dari penggunaan obat, yaitu pengaruh pada irama jantung. Zubairi mengatakan, penelitian dalam skala besar dilakukan oleh Oxford University di Inggris yang melihat bahwa ternyata angka kematian dari penggunaan obat ini menjadi lebih tinggi. 

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga telah menyarankan agar penggunaan Chloroquine dihentikan. Zubairi mengungkapkan, salah satu penelitian menunjukkan setelah pemberian obat selama 28 hari, sebanyak 25,7 persen pasien yang menerima Hydroxychloroquine meninggal dunia. Persentase ini lebih banyak dibandingkan 23,5 persen pasien yang meninggal dunia saat menerima perawatan biasa. 

 
Sangat bagus jika ini dinilai oleh tim internasional dan kalau terbukti baik, ini bisa diusulkan terbit di jurnal kedokteran internasional. Karena jika tidak, masih akan jadi tanda tanya besar.
Ketua Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Zubairi Djoerban
 

Karena itu, terkait penemuan kombinasi obat dari tim Unair yang salah satunya menyertakan Hydroxychloroquine, Zubairi mengatakan, hal ini bisa berdampak baik dan bermanfaat jika disertakan dengan bukti yang dinilai oleh tim internasional. Pembuktian akan efektivitas obat juga kemudian dirilis di jurnal kedokteran internasional sehingga ini akan menjadi terobosan bagi dunia.

“Sangat bagus jika ini dinilai oleh tim internasional dan kalau terbukti baik, ini bisa diusulkan terbit di jurnal kedokteran internasional. Karena jika tidak, masih akan jadi tanda tanya besar,” kata Zubairi.  

Akademisi dan Praktisi Klinis Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Prof Ari F Syahrial juga mengatakan, uji klinis obat harus sampai pada tahap publikasi internasional. Prof Ari menjelaskan, setelah suatu uji klinik baru selesai, uji coba berikutnya adalah pengajuan ke kongres dunia.

Dari sana, hasil penelitian akan dipublikasi di jurnal internasional untuk mendapatkan pengakuan bahwa uji klinik tersebut valid, serta bisa masuk panduan dan protokol pengobatan baru.

"Walau ini pun juga tidak otomatis karena akan melihat, apakah hasil ini konsisten dengan penelitian lain di luar negeri," ujar Prof  Ari dalam rilis yang diterima Republika, Selasa (18/8).

Dia mencontohkan, salah satu uji klinik obat yang pernah UI lakukan dengan menggunakan kombinasi obat, yakni pada penanganan pasien dengan infeksi kuman H pylori. Uji klinik dilakukan secara Double-Blinded Randomized Clinical Trial, artinya peneliti dan pasien tidak tahu obat yang diberikan.

"Kami ingin melihat, apakah pemanjangan lama pemberian obat kombinasi tiga macam obat Amoksisilin, Claritromisin, dan Rabeprazole akan lebih efektif, yaitu jika diberikan lebih panjang menjadi 14 hari, di mana sebelumnya 10 hari," kata dia.

Penelitian ini, menurut Prof Ari, lolos etik Komite Etik Kesehatan FKUI-RSCM yang sudah berstandar internasional. Riset kemudian didaftarkan ke clinicaltrial.gov, yang menurutnya mendaftarkan uji klinik ke laman itu saat ini menjadi seperti kewajiban saat diajukan ke jurnal internasional.

"Baru setelah itu, hasil penelitian dipublikasi dan dengan proses review yang panjang, akhirnya artikel tersebut bisa publikasi di Asian Pac J Cancer Prev (Asian Pacific Journal of Cancer Prevention)," kata dia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat