
Khazanah
BPJPH Keluhkan Tarif Sertifikasi Auditor Halal
BPJPH berharap ada upaya untuk memudahkan sertifikasi kompetensi para auditor halal.
JAKARTA -- Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menyayangkan adanya biaya yang besar bagi calon auditor halal untuk mengikuti sertifikasi profesi di Lembaga Sertifikasi Profesi Majelis Ulama Indonesia (LSP-MUI). Biaya tersebut menjadi salah satu kendala untuk mencetak banyak auditor halal.
"Kalau tak salah sekitar Rp 5 juta. Itu bayar untuk ujian kompetensi. Iya kalau lulus, kalau enggak?" tutur Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Sukoso kepada Republika, Senin (10/8).
Biaya ini akan memberatkan, apalagi tak sedikit calon auditor halal yang berasal dari luar Jakarta. Artinya, mereka membutuhkan biaya makan dan penginapan saat mengikuti sertifikasi profesi di LSP-MUI yang berlokasi di Jakarta.
Dalam hal ini, kata Sukoso, bukan berarti dia ingin agar biaya sertifikasi profesi auditor halal itu gratis. Tetapi, dia menyarankan agar proses sertifikasi tersebut berjalan secara rasional dan memiliki potensi yang besar untuk lulus.
"Bahwa ya 80 persen lulus lah. Mohon maaf, haruslah kita menempatkan secara objektif. Auditor halal itu penting, tetapi harus dipikirkan biayanya kok mahal padahal mereka dalam sepekan kita latih tidak ada serupiah pun kita mengambil uang bayaran, enggak ada," ujar dia.
BPJPH, terang Sukoso, telah melatih 226 calon auditor halal. "Tugas kami, negara, yakni BPJPH, itu men-training calon auditor halal. Sudah dikerjakan lewat dana negara. Ada sejumlah 226 calon auditor halal. Kami mengundangnya dari perguruan tinggi negeri seluruh Indonesia dan yayasan-yayasan Islam," papar dia.

Setelah mengikuti pelatihan yang digelar BPJPH, para calon auditor halal itu harus menempuh uji kompetensi di LSP-MUI untuk menjadi auditor halal penuh. Namun, ratusan calon auditor halal itu belum mendapat sertifikat profesi auditor halal dari LSP-MUI. "Ya itulah belum. Kenapa belum? Karena harus ikut ujian. Ujiannya diadakan oleh LPPOM MUI, membayar Rp 5 jutaan," ujar dia.
Selain itu, lanjut Sukoso, ada keluhan lain, yakni terkait bahan uji kompetensi auditor halal yang dinilai terlalu tinggi standarnya. “Di dalam UU (Jaminan Produk Halal) itu jelas sekali yang namanya auditor itu di bidangnya dan kesyariahan itu sebagai pelengkap atau tambahan. Tetapi, ada keluhan di kami, ujiannya sangat sulit. Kami ini kan orang yang bukan di bidang itu (syariah). Itu jadi keluhan juga," kata dia.
Menanggapi keluhan ini, Direktur Utama LSP-MUI Sholahudin Al-Aiyub mengatakan, MUI tidak menetapkan tarif tersebut secara sepihak. "Biaya itu sudah ada skemanya melalui Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Bukan kita MUI yang menetapkan. Itu adalah melalui mekanisme yang sudah ditetapkan oleh negara, dalam konteks ini adalah BNSP dari Kementerian Ketenagakerjaan," kata dia.
Karena itu juga, menurut Sholahudin, tidak tepat bila MUI menetapkan tarif secara sepihak. "Jadi, tidak tepat kalau untuk masalah biaya itu MUI yang menetapkan secara sepihak. Ini supaya diketahui," tutur Wasekjen MUI bidang fatwa itu.
Terkait bahan uji kompetensi auditor halal yang dinilai terlalu sulit Sholahudin menerangkan, auditor halal adalah saksi Komisi Fatwa MUI dalam mengumpulkan data produk yang disertifikasi. Karena itu, auditor halal harus memiliki wawasan tentang kesyariahan. "Kalau auditor tidak mengerti tentang masalah syariah, sekalipun sesuatu yang elementer dan tidak sama kedalamannya dengan komisi fatwa, tentu mereka tidak akan paham tentang apa yang akan dilaporkan di Komisi Fatwa nanti," ujar dia.
Sholahudin juga menyampaikan, seorang auditor harus tunduk pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). SKKNI ini ditetapkan oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) dan juga oleh pemangku kepentingan terkait masalah halal.
"Jadi bukan semata-mata dari MUI. Dan harus dipahami bahwa auditor halal itu adalah saksi Komisi Fatwa MUI untuk mengumpulkan data. Ini adalah proses yang tidak bisa terpisahkan dari aspek penetapan fatwa kehalalan. Sebab hasil auditing yang mereka lakukan menjadi pijakan utama penetapan kehalalan," jelasnya.
Apalagi, pandangan Komisi Fatwa dan saintifik bisa saja tidak sejalan dan memang tidak harus kompatibel. "Karena ujungnya adalah penetapan kehalalan dalam bentuk fatwa. Karena itu, auditor posisinya adalah saksi, dia itu orang Komisi Fatwa yang diutus untuk check finding ke perusahaan," katanya.
Karena menjadi saksi Komisi Fatwa, auditor halal harus mengetahui apa yang dibutuhkan Komisi Fatwa tentang informasi yang akan dilaporkan di Komisi Fatwa. Dengan demikian, apa yang dikerjakan auditor halal dan apa yang diperlukan Komisi Fatwa harus selaras.
"Jangan yang diinginkan Komisi Fatwa itu A, dia melaporkan B, ya enggak cocok. Maka inilah pentingnya pemahaman masalah kesyariahan meski kedalamannya tidak sedalam ilmu kesyariahan yang lain. Dan itu sudah ada di dalam SKKNI," jelasnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.