IMAN SUGEMA | Daan Yahya | Republika

Analisis

Kontraksi Ekonomi 5,32 Persen

Kepatuhan terhadap protokol kesehatan harus menjadi pra-syarat bagi pemberian insentif.

Oleh IMAN SUGEMA

OLEH IMAN SUGEMA

Pertumbuhan ekonomi minus 5,32 persen pada kuartal kedua tahun ini banyak mengundang perdebatan, terutama dalam tiga hal. Pertama, menyangkut sektor apa yang paling parah terkena imbas Covid-19 dan sebagaimana sudah bisa diduga hanya sektor pertanian, infokom, dan pengadaan air yang tumbuh positif baik dibandingkan dengan kuartal sebelumnya maupun dibandingkan kuartal yang sama setahun lalu.

Jadi, kesimpulannya adalah aktivitas perekonomian cenderung turun pada semua bidang kecuali tiga sektor yang disebutkan di atas. Ini juga berarti bahwa Covid-19 tidak hanya memiliki dampak langsung, tetapi juga dampak tidak langsung dalam bentuk penurunan permintaan agregat. Hal ini terlihat jelas dengan menurunnya semua komponen permintaan agregat, seperti konsumsi rumah tangga dan pemerintah, investasi, dan permintaan ekspor.

Kedua, perdebatan juga mencakup apakah kinerja pertumbuhan Indonesia lebih baik atau lebih buruk dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Tentu saja kita masih lebih baik dibandingkan dengan Uni Eropa, Amerika Serikat, dan beberapa negara besar lain. Sebaliknya, Cina memiliki kinerja yang lebih baik karena bisa menghindari resesi ekonomi.

Perbandingan seperti ini hanya untuk sekadar memberikan gambaran tentang perbedaan dampak Covid-19 pada berbagai jenis struktur perekonomian. Tentu saja tidak ada struktur ekonomi yang 100 persen sama. Karena itu, perdebatan seperti ini kita abaikan saja.

Ketiga dan mungkin yang paling penting untuk terus kita cermati, yaitu apakah kita akan mengalami resesi atau tidak. Banyak pihak yakin bahwa kita akan memasuki resesi yang ditandai dengan pertumbuhan minus selama dua kuartal berturut-turut. Akan tetapi, nyatanya tidak ada satu pihak pun yang bisa secara kredibel memberikan ramalan yang akurat.

 
Nyatanya tidak ada satu pihak pun yang bisa secara kredibel memberikan ramalan yang akurat.
 
 

Sebagai contoh saja, semua prediksi tentang pertumbuhan pada kuartal kedua 2020 meleset jauh. Coba Anda bandingkan ramalan Bank Dunia, IMF, Kementerian Keuangan, dan Bank Indonesia dengan kenyataan yang terjadi. Semuanya meleset jauh.

Tentu hal itu bisa kita maklumi karena krisis ekonomi yang menyertai Covid-19 tidak pernah kita alami sebelumnya. Apa pun yang kita prediksikan secara kuantitatif hampir pasti akan salah. Maka yang terpenting adalah bagaimana kita mampu menangkap gambaran kualitatif tentang perekonomian ke depan.

Berikut adalah ulasannya. Sumber permasalahan utama adalah penyebaran Covid-19 dan untuk menekan jumlah orang yang terinfeksi, semua negara harus mengadopsi non pharmaceutical instrument (NPI), seperti lockdown, shutdown, physical distancing, social distancing, karantina, pakai masker, dan cuci tangan pakai sabun. Selama belum ada vaksin, hanya NPI yang kita andalkan untuk menekan persebaran virus. Selama belum ada vaksinasi massal, kita tidak akan bisa hidup normal seperti waktu lalu. Itu juga berarti bahwa aktivitas perekonomian tidak bisa berlangsung normal alias akan terus tertekan.

Pertanyaannya, sampai kapan ekonomi akan mengalami tekanan? Di sini akan ada tiga isu penting, yakni penemuan vaksin, kecepatan implementasi vaksinasi, dan harga vaksin. Perkembangan paling mutakhir menunjukkan bahwa vaksin baru akan ditemukan sekitar akhir tahun ini atau awal tahun depan.

Kurang lebih 150 perusahaan di negara maju dan negara berkembang sekarang ini berkejaran dengan waktu untuk bisa menciptakan vaksin. Kita belum bisa memastikan bahwa semua perusahaan itu akan sukses. Kalau hanya separuhnya saja sukses, hal itu sudah merupakan hal yang sangat luar biasa.

 
Kurang lebih 150 perusahaan di negara maju dan negara berkembang sekarang ini berkejaran dengan waktu untuk bisa menciptakan vaksin.
 
 

Isu selanjutnya adalah seberapa cepat dapat dilakukan vaksinasi massal. Ini adalah pekerjaan yang sangat besar. Untuk menjamin tingkat imunitas, kurang lebih dua pertiga penduduk dunia harus divaksinasi.

Dengan jumlah penduduk dunia sekitar 7,8 miliar orang, vaksinasi harus dilakukan terhadap sekitar 5 miliar orang. Untuk kasus Indonesia, vaksinasi harus dilakukan terhadap sekitar 180 juta orang. Di sinilah pentingnya isu harga vaksin.

Tidak semua negara memiliki kapasitas keuangan untuk membiayai vaksinasi. Kalau saja harga vaksin adalah Rp 1 juta per unit, nilai bisnis vaksin secara global adalah sekitar Rp 5.000 triliun. Nilai bisnis vaksin se-Indonesia akan mencapai Rp 180 triliun.

Karena itu, menjadi sangat penting untuk menekan harga vaksin. Salah satu caranya dengan menciptakan persaingan antarprodusen vaksin. Jangan sampai terjadi monopoli produksi dan pengadaan vaksin. Kita juga bisa menekan harga impor vaksin kalau perusahaan farmasi kita bisa memproduksinya secara murah. Produksi dalam negeri yang kompetitif kelak akan terbukti dalam menekan ongkos vaksinasi.

Terus apa yang harus kita lakukan sebelum vaksinasi massal diselesaikan? Semua aktivitas harus dijalankan dengan mengadopsi protokol kesehatan. Nah, di sinilah peran penting insentif atau stimulus ekonomi. Pemberian stimulus sebaiknya hanya diberikan kepada unit usaha yang mematuhi protokol kesehatan.

Kepatuhan terhadap protokol kesehatan harus menjadi prasyarat bagi pemberian insentif. Tanpa itu, stimulus ekonomi hanya akan membuat persebaran Covid-19 makin tidak terkendali. Semoga hal seperti ini bisa diterapkan.

 
Kepatuhan terhadap protokol kesehatan harus menjadi prasyarat bagi pemberian insentif.
 
 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat