Sastrawan Ajip Rosidi | Edi Yusuf/Republika

Kisah Dalam Negeri

Sepekan Kepergian Sang Pelestari Sastra Daerah

Demikianlah Ajip. Ia bukan lagi milik masyarakat Sunda, tetapi Indonesia.

OLEH GUMANTI AWALIYAH

Hadiah Sastra Rancagè, menjadi salah satu warisan terbesar dari Ajip Rosidi untuk sastra dan budaya daerah. Rancagè bertolak dari inisiatif pribadi Ajip sebagai upaya untuk memelihara dan mengembangkan kembali sastra Sunda. Terutama karena lunturnya kepedulian masyarakat Sunda terhadap bahasa, sastra dan kebudayaannya sendiri.

Pada 1989, dengan menggunakan dana pribadi, Ajip Rosidi memulai penganugerahan hadiah sastra Rancagè untuk dunia sastra Sunda. Prakarsa tersebut mendapat sambutan hangat dari masyarakat Sunda dan sejak itu hadiah Rancagè selalu diberikan setiap tahun.

Budayawan yang menutup usia pada pekan lalu, 29 Juli 2020 itu memang giat mengkritik kesusastraan dan kebudayaan Sunda. Kritik jelas perlu agar eksistensi budaya tetap kokoh dan tak mudah babak belur ketika berhadapan dengan modernisasi. 

Dalam buku ‘Surat-surat Ti Jepang’ misalnya, Ajip banyak menuangkan gagasan dan kegelisahannya terhadap masa depan sastra dan budaya Sunda. Buku itu lahir setelah Ajip bermukim di Jepang pada 1980 selama 6 bulan, atas undangan dari The Japan Foundation.

Buku ini berisi surat-surat Ajip yang dikirim kepada para koleganya dan ditulis dalam bahasa Sunda. Surat-surat tersebut sebelumnya telah dikurasi oleh budayawan Sunda Usep Romli HM dan diterbitkan oleh Kiblat Buku Utama menjadi enam bagian.

photo
Sejumlah warga memikul keranda jenazah budayawan Ajip Rosidi saat prosesi pemakaman di rumah duka Desa Pabelan, Mungkid, Magelang, Jawa Tengah, Kamis (30/7).  - (ANTARA FOTO/ANIS EFIZUDIN)

Dalam buku itu, Usep mengungkap bahwa surat-surat tersebut dibukukan untuk mendokumentasikan gagasan Ajip dalam menegakkan kesusastraan dan kebudayaan Sunda. “.. Katangèn paèh posona Ajip nanjarkeun basa jeung sastra Sunda. Èstuning pok-pèk-prak. Gagasan. Rarancang, diwujudkeun dina kanyataan. Lain ukur ‘mandahong’ --mamandalan bari ngabahong-- nu mindeng kasaksian dina pakumbuhan sapopoè...,” tulis Usep dalam buku tersebut.

Jika dialihbahasakan: “Nampak jelas segenap daya upaya Ajip menegakkan bahasa dan sastra Sunda. Apa yang diucapkan, dituangkan pada gagasan, pemikiran, langsung dikerjakan saat itu juga. Bukan hanya berbual tanpa berbuat, yang sering kita saksikan dalam pergaulan sehari-hari”.

Untuk menjaga agar hadiah Rancagè tetap ada meski suatu saat pemrakarsa telah tiada, maka didirikanlah Yayasan Kebudayaan Rancagè pada 23 Maret 1993. Ajip tak sendiri mendirikan yayasan ini. Para tokoh budayawan Sunda seperti Erry Riyana Hardjapamekas, Edi Suhardi Ekadjati dan beberapa tokoh lainnya turut andil mendirikan yayasan itu. Karenanya kini, Rancagè tidak hanya memberikan hadiah sastra, tetapi juga mengembangkan kegiatannya pada aspek kebudayaan lainnya.

Mulanya, Hadiah Sastra Rancagè hanya mencakup sastra Sunda saja. Namun kemudian penghargaan ini juga diberikan kepada dunia sastra Jawa (sejak 1994), sastra Bali (sejak 1998), sastra Lampung (sejak 2008), sastra Batak dan sastra Madura (sejak 2020).

Selama 32 kali digelar, tercatat sudah 32 kali anugerah Rancagè memberikan hadiah untuk buku sastra Sunda, 26 kali untuk buku sastra Jawa, 22 kali untuk buku sastra Bali, lima kali untuk buku sastra Lampung, empat kali untuk buku sastra Batak, dan satu kali untuk buku sastra Madura. 

Sebelumnya, hadiah Rancagè juga diberikan untuk buku berbahasa Banjar, tahun 2007 dan 2018. Namun karena jumlah penerbitan buku sastra berbahasa Banjar tahun 2019, tidak memenuhi syarat, maka sementara hadiah Rancagè tahun 2020 untuk kategori sastra Banjar ditiadakan.

Seperti telah mafhum akan isyarat kepergian sang inisiator, perhelatan anugerah Hadiah Sastra Rancagè 2020 digelar di tempat kelahiran Ajip di Jatiwangi art Factory (JaF), Jatiwangi, Majalengka pada 31 Januari 2020. Pada kesempatan itu, Ajip hadir dan mengungkap bahwa dirinya jarang singgah ke tanah kelahirannya itu.

photo
Almarhum Ajid Rosidi bersama aktirs Nani Wijaya. - (Edi Yusuf/Republika)

Dalam kurun waktu satu tahun terakhir, terhitung dua kali ia singgah di Jatiwangi. Pertama pada pembukaan Pameran Indonesian Contemporary Ceramic Biennale (ICCB) pada Oktober 2019 lalu, dan kedua sekaligus terakhir pada anugerah Rancagè 2020 di JaF.

Satu hal lagi yang begitu melekat pada sosok Ajip. Penyair Dodong Djiwapradja, salah seorang sahabat Ajip, pernah mengatakan, karakter Ajip sangatlah kuat dan lurus. Sikap ini terbukti pada tahun 1963-1964, ketika sastrawan lain ramai-ramai menandatangi Manifes Kebudayaan, Ajip tetap pada jalannya dan enggan mengikuti jejak kawan-kawannya itu. Alasannya sederhana, bagi Ajip itu akan memudahkan pihak lawan menggebuknya.

Ajip juga teliti dan kritis dalam melihat sejarah. Dalam bukunya berjudul ‘Mencari Sosok Manusia Sunda: Gagasan dan Pikiran’ Ajip menyinggung bagaimana ia meluruskan kembali butir ketiga isi Sumpah Pemuda. Selepas kongres, entah mengapa butir ketiga berubah menjadi ‘Mengaku Berbahasa Satu, Bahasa Indonesia’, sumpah yang keliru itulah yang dipelajari dan diajarkan. Hingga tahun 1977, Ajip menulis karangan sekaligus meluruskan bahwa isi Sumpah Pemuda butir ketiga yang benar adalah ‘Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia’.

Demikianlah Ajip. Ia bukan lagi milik masyarakat Sunda, tetapi Indonesia. Selamat Jalan, Kang Ajip. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat