Bakal Calon Wali Kota Solo Gibran Rakabuming tiba di Kantor DPP PDIP, Senin (10/2). | GALIH PRADIPTA/ANTARA FOTO

Opini

Problem Kepartaian

Salah satu problem sistem kepartaian politik di Indonesia adalah sulitnya melakukan modernisasi partai.

IDING ROSYIDIN, Ketua Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) akhirnya resmi menetapkan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wali kota Solo pada Pilkada Serentak 2020.

Bakal calon sebelumnya, Ahmad Purnomo, yang saat ini menjabat wakil wali kota Solo, harus rela atas keputusan tersebut sebagai bentuk kepatuhan atas keputusan DPP. Terpilihnya Gibran tidak mengejutkan publik.

Namun, tetap saja keputusan partai kepala banteng itu menjadi perbincangan luas, terutama di media massa. Selain karena elektabilitas Gibran kian menanjak, yang lebih menyita perhatian publik karena ia putra pertama Presiden Joko Widodo (Jokowi).

 
Salah satu problem besar dalam sistem kepartaian politik di Indonesia adalah sulitnya melakukan modernisasi partai.
 
 

Tulisan sederhana ini mencoba untuk menganalisis ditetapkannya Gibran dari dua perspektif. Pertama, dari perspektif sistem kepartaian politik di Indonesia.

Apakah keputusan itu menguntungkan partai, dalam hal ini PDIP atau sebaliknya, justru bisa menurunkan citranya di mata publik Indonesia? Salah satu problem besar dalam sistem kepartaian politik di Indonesia adalah sulitnya melakukan modernisasi partai.

Di antara karakteristik partai politik modern yang relevan dengan situasi ini adalah sistem kaderisasi berjenjang.

Dalam konteks ini, partai politik modern biasanya melakukan setidaknya tiga tahap, yaitu rekrutmen anggota, pembinaan yang melahirkan kader loyalis, meminjam istilah Dan Nimmo dalam Komunikasi Politik, Komunikator, Pesan, dan Khalayak, politisi ideologis, dan terakhir distribusi kader ke sumber kekuasaan, baik pada ranah eksekutif maupun legislatif.

Dilihat dari perspektif ini, ditetapkannya Gibran oleh PDIP sebagai calon wali kota Solo, bisa dianggap sebagai lompatan dari tahap pertama ke tahap ketiga. Ia melewati tahap kedua yang justru paling penting dalam proses ini, yakni pembinaan kader.

 
Partai agaknya lebih suka mengusung orang yang sudah memiliki modal politik besar meski bukan kader internal. 
 
 

Ia langsung didistribusikan ke dalam sumber kekuasaan eksekutif, yakni wali kota. Fenomena seperti ini sebenarnya, bukan hanya ada di partai politik pimpinan Megawati Soekarnoputri, melainkan di hampir semua partai politik di Indonesia.

Partai agaknya lebih suka mengusung orang yang sudah memiliki modal politik besar meski bukan kader internal. Tidak hanya di ranah eksekutif, dalam hal ini pemilihan kepala derah, tetapi juga di ranah legislatif seperti pemilihan calon legislator (caleg).

Bahkan, partai politik melakukan open recruitment demi menjaring orang yang memiliki modal politik meski belum pernah aktif di partai tersebut. Tampaknya, kemenangan kontestasi politik lebih penting daripada membangun sistem kepartaian modern.

Inilah dorongan pragmatisme politik yang boleh dikatakan cukup akut menyerang hampir semua partai politik di negeri ini. Dalam konteks penetapan Gibran sebagai calon wali kota, besar kemungkinan keputusan itu merugikan PDIP dalam jangka panjang.

 
Bagaimanapun Gibran merupakan anak Presiden Indonesia saat ini. Hubungan kekeluargaan Gibran dan Jokowi tentu saja tidak dapat dikesampingkan siapa pun.
 
 

Persepsi publik terhadap partai ini boleh jadi akan negatif, misalnya, karena telah mengabaikan kader internalnya sendiri yang sudah jauh lebih dahulu aktif dan mengembangkan partai. Perspektif kedua, berkaitan dengan Jokowi itu sendiri.

Bagaimanapun Gibran merupakan anak Presiden Indonesia saat ini. Hubungan kekeluargaan Gibran dan Jokowi tentu saja tidak dapat dikesampingkan siapa pun.

Mungkin saja, Jokowi mengatakan, Gibran melakukan itu semua melalui prosedur sebagaimana mestinya, layaknya seseorang yang akan maju di sebuah pilkada. Ia sama sekali tidak melakukan intervensi terhadap prosesnya itu.

Dengan kata lain, ia membiarkan semua proses itu berjalan. Atau bisa juga ditegaskan, secara konstitusional, tidak ada satu pun hal yang dilanggar oleh Gibran. Ia memiliki hak politik yang sama dengan warga Negara Indonesia untuk berpartisipasi dalam kontestasi politik.

Siapa pun atau apa pun, tidak ada yang bisa mencegahnya untuk maju sebagai calon kepala daerah. Itu memang benar. Namun, satu hal yang tidak dapat diabaikan begitu saja adalah apa yang populer dalam dunia politik sebagai kekuasaan rujukan (referent power).

Hal ini ditunjang kenyataan, masuknya Gibran ke dalam gelanggang politik tidak melalui proses panjang. Seperti diketahui, sebelumnya Gibran selalu mengatakan, ia tidak tertarik dengan dunia politik. Ia lebih suka menjalankan bisnis.

Namun ternyata, Gibran mengubah keputusannya. Ia maju dalam pencalonan. Dari sudut pandang ini, hemat penulis, sebenarnya dia bisa melakukan pembelajaran politik yang memadai terlebih dahulu bersama dengan kader PDIP lainnya.

Dengan demikian, nantinya benar-benar memiliki kesiapan yang matang untuk berkontestasi politik. Jika itu yang terjadi, suara-suara terkait politik dinasti pun tidak akan muncul. Setidaknya, tidak akan seriuh seperti sekarang. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat