
Kisah Dalam Negeri
Penyair 'Hujan Bulan Juni' Berpulang di Bulan Juli
Penyair Sapardi Djoko Damono dikenang sebagai pribadi sederhana.
Oleh MUHYIDDIN, SHELBI ASRIANTI
Tak terhitung muda-mudi se-Indonesia yang mengulang puisinya untuk pujaan hati mereka. Banyak yang sudah berusia puluhan tahun, karya-karyanya adalah satu dari sedikit gubahan sastra Tanah Air yang melekat di benak banyak orang.
Di Surakarta, pada 20 Maret 1940, Sapardi Djoko Damono hadir ke dunia. Pria yang belakangan kerap disapa dengan singkatan namanya, SDD dikenal melalui berbagai karya.
Puisinya banyak bicara mengenai hal-hal sederhana namun penuh makna kehidupan, sehingga beberapa di antaranya sangat populer, baik di kalangan sastrawan maupun khalayak umum.
Ambil contoh Karya berjudul "Aku Ingin" yang ditulis pada 1989 berikut.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Sapardi berpulang di Rumah Sakit Eka BSD, Tangerang Selatan karena sakit pada usia 80 tahun, Ahad (19/7). Masa muda Sapardi dihabiskan di Surakarta. Ia lulus SMP Negeri 2 Surakarta tahun 1955 dan SMA Negeri 2 Surakarta tahun 1958.
Sejak masih berseragam putih biru dan putih abu-abu, Sapardi sudah gemar menulis dan mengirimkan sejumlah karyanya ke majalah-majalah. Kesukaannya menulis ini berkembang saat ia masuk Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta dengan jurusan Bahasa Inggris.
Pada 1973, Sapardi hijrah dari Semarang ke Jakarta untuk menjadi direktur pelaksana Yayasan Indonesia yang menerbitkan majalah sastra Horison. Sejak tahun 1974 sampai pensiun, ia mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia. Sapardi pernah menjabat sebagai dekan FIB UI periode 1995-1999 dan menjadi guru besar.

Penyair Angkatan 66 Taufiq Ismail menyinggung perannya dalam perpindahan tersebut. Sekitar 48 tahun yang silam. Pada 1970-an, lanjut dia, nama Sapardi semakin dikenal kalangan sastrawan dan para pegiat kebudayaan. Rekan-rekannya di Jakarta lantas membujuknya agar hijrah dari tempatnya mengabdi di Universitas Diponegoro Semarang ke UI.
Tujuannya agar sastrawan kelahiran Surakarta, Jawa Tengah, itu dapat turut mengasuh majalah sastra Horison. Sapardi bersedia.
"Kami di Jakarta pada tahun 1970-an ingin sekali membujuk SDD (Sapardi Djoko Damono) pindah dari Undip Semarang ke UI Jakarta, sekaligus mengasuh majalah sastra Horison. Saya menguruskan status kepindahannya ke Ditjen Perguruan Tinggi di Depdiknas. Waktu itu, direktur pendidikan tinggi dijabat Prof Kusnadi Hardjasumantri," tutur Taufiq Ismail kepada Republika, kemarin.
"Alhamdulillah, semua prosesnya berjalan lancar. Maka pindahlah beliau sekeluarga ke UI Jakarta dan berkarya selanjutnya," lanjut salah seorang pendiri Horison itu.
Selain Horison, Sapardi juga menjadi redaktur majalah Basis, Kalam, Pembinaan Bahasa Indonesia, Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, dan country editor majalah Tenggara di Kuala Lumpur. Hingga sebelum meninggal, Sapardi masih aktif menulis fiksi maupun nonfiksi.
Sapardi juga banyak menerima penghargaan. Pada tahun 1986, SDD mendapatkan anugerah SEA Write Award. Ia juga penerima penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003. Ia adalah salah seorang pendiri Yayasan Lontar. Ia menikah dengan Wardiningsih dan dikaruniai seorang putra dan seorang putri.
Sajak-sajak Sapardi telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa daerah. Ia tidak saja aktif menulis puisi, tetapi juga cerita pendek. Selain itu, Sapardi juga menerjemahkan berbagai karya penulis asing, menulis esai, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola.

Salah satu adikarya Sapardi yang juga banyak dipuji adalah "Hujan Bulan Juni" yang ia ciptakan pada 1989 silam. Sajak pun tercantum dalam buku kumpulan sajak Sapardi terbitan 1994, yang terus dicetak ulang sampai sekarang.
Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu.
Kala itu, tajuk tersebut memuat kontradiksi karena bulan Juni bukan masa lazim untuk turunnya hujan. Betapa tidak, Juni adalah kurun kemarau di bumi pertiwi. Dalam wawancara khusus dengan Republika pada 2015, Sapardi mengaku sengaja menggagas sajak yang berlawanan dengan kalender musim.
“Justru karena Juni tidak hujan, kalau ada hujan kan istimewa,” ungkap Sapardi dalam wawancara khusus dengan Republika, 2015 silam.
Dia berkata, meski kemarau sedang panas-panasnya, selalu dijumpainya sekali dua kali hujan turun di bulan Juni. Orang Jawa menyebut fenomena itu sebagai hujan kiriman.
Sapardi memaknainya sebagai perlambang kasih sayang hujan kepada pohon. Dalam benak Sapardi, hujan yang turun pada bulan Juni sungguh tabah, bijak, dan arif, karena mengetahui kerinduan yang dirasakan pohon.
Hujan pun sesungguhnya menyimpan kangen dan ingin jatuh. Ada sebuah hubungan timbal-balik antara hujan dan pohon. Kendati demikian, Sapardi membebaskan penikmat sajaknya untuk membuat interpretasi apa saja.
Kepopuleran puisi-puisi Sapardi sebagian disebabkan musikalisasi oleh mantan-mantan mahasiswanya di FIB UI, yaitu Ags Arya Dipayana, Umar Muslim, Tatyana Soebianto, Reda Gaudiamo, dan Ari Malibu.
Dari musikalisasi puisi yang dilakukan mantan-mantan mahasiswa ini, salah satu album yang terkenal adalah oleh Reda dan Tatyana (tergabung dalam duet "Dua Ibu"). Selain mereka, Ananda Sukarlan pada tahun 2007 juga melakukan interpretasi atas beberapa karya Sapardi.

"Pak Sapardi buat saya kayak ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk. Sangat humble, mungkin dia tidak sadar betapa dahsyat puisinya. Buat dia, puisi mengalir saja, bukan sesuatu yang membikin eksis," ujar Ananda Suparlan saat dihubungi Republika, Ahad (19/7).
Pianis tersebut telah menggubah musik dari sekitar 30 puisi Sapardi yang sudah ada. Selain itu, terdapat dua karya musik Ananda yang lahir dari puisi khusus yang memang sengaja ditulis Sapardi. Salah satunya bertajuk "Kita Ciptakan Kemerdekaan".
Beberapa tahun lalu, Sapardi menciptakan puisi tersebut atas permintaan paduan suara Institut Teknologi Bandung (ITB) dan langsung digubah menjadi musik oleh Ananda. Satu puisi lainnya amat istimewa karena merupakan kado ulang tahun untuk sang komposer.
Pada 10 Juni 2007, tepatnya pada hari jadi Ananda, Sapardi mengirimkan surel yang isinya meminta Ananda membaca salah satu koran nasional untuk melihat hadiahnya. Pada rubrik sastra di koran tersebut, terdapat puisi berjudul "Sonet untuk Andy, Pengamen".
Ananda mengaku sangat bahagia dengan keakraban serta berbagai kolaborasi antara dia dan almarhum. Dalam pandangan Ananda, karya-karya puisi Sapardi sangat indah dan sederhana, tetapi kekuatannya bisa melampaui kata-kata.
Sebagai musisi, Ananda kagum karena puisi Sapardi punya karakteristik khusus. Bagi Ananda, tidak semua puisi bisa berbunyi menjadi musik. Akan tetapi, lebih dari 90 persen puisi Sapardi bisa menghasilkan tekstur dan harmoni musik.

Menurut Ananda, pada hakikatnya Sapardi mengajarkan kepada penikmat sastra bahwa kata-kata memiliki makna metaforik. Itu menjadi pengingat baik di era sekarang, di mana kata-kata lebih kerap digunakan secara harfiah semata.
"Sapardi menyadarkan betapa indahnya kata-kata itu kalau kita berpikir lebih dalam. Sapardi mengonfirmasi apa yang dikatakan William Shakespeare, bahwa kata-kata tidak diciptakan untuk berkomunikasi, tapi untuk mencintai," kata dia.
Kepergian sastrawan Sapardi meninggalkan duka mendalam bagi semua orang, termasuk orang dekat almarhum dan kalangan sastrawan Indonesia. Sastrawan dan budayawan Nahdlatul Ulama (NU), Ahmad Tohari, merupakan salah seorang yang merasa kehilangan sosok sastrawan besar itu.
“Kita kehilangan sastrawan besar yang sulit dicari gantinya. Karena beliau selain pelaku sastra dia juga akademisi sastra. Gabungan dari dua hal yang sangat penting dan sulit dicari gantinya,” ujar penulis trilogi Ronggeng Dukuh Paruk itu saat dihubungi Republika, Ahad (19/7).
Di mata penyair Hasan Bisri, sosok Sapardi Djoko Damono merupakan sastrawan terkemuka sejajar dengan Chairil Anwar. “Sapardi Djoko Damono (SDD) adalah salah satu dari sedikit sastrawan terkemuka Indonesia. Sebagai penyair, beliau adalah penyair papan atas bersama Chairil Anwar, Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Goenawan Mohammad,” kata Hasan Bisri dalam rilis yang diterima Republika.
Hasan Bisri menambahkan, puisi-puisi Sapardi naratif, penuh imajinasi, dan menggugah pembaca utk melakukan pembacaan, pemahaman dan penafsiran lebih jauh. Bahkan inspiratif bagi perkembangan perpuisian dan kepenyairan Indonesia modern. “SDD boleh meninggalkan kita. Tapi duka kita tak perlu abadi, sebab karya-karyanya insya Allah lebih abadi,” tutur Hasan Bisri.
Yang fana adalah waktu
Kita abadi memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu.
Kita abadi.
-- 1978
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.