Peserta mengikuti Seleksi Kompetensi Dasar (SKD) berbasis Computer Assisted Test (CAT) untuk Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di kantor Wali Kota Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (17/2). | GALIH PRADIPTA/ANTARA FOTO

Tajuk

PNS Produktif

Dalam konteks mendapatkan PNS produktif, reformasi birokrasi merupakan keniscayaan.

Kata "produktif" sedang banyak diperbincangkan di jagat maya. Penyebutan kata "produktif" ini dikaitkan dengan kinerja pegawai negeri sipil (PNS). Penyebabnya, pernyataan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Tjahjo Kumolo, yang mengeluhkan tingginya angka PNS tak produktif.

Tjahjo mengungkapkan, sebanyak 20 persen aparatur sipil negara berada pada posisi tenaga administrasi. Mereka yang berjumlah sekitar 1,6 juta pegawai itu dinilai tidak produktif bekerja. Namun, tidak mudah untuk memberhentikan 1,6 juta orang setara tenaga administrasi itu dari total sekitar 4,2 juta PNS.

Ada aturan berjenjang yang mesti dilalui hingga seorang PNS bisa diberhentikan. Prosesnya pun tidak cepat, setidaknya memakan waktu satu tahun. "Kita enggak bisa memberhentikan 1,6 juta tenaga yang dianggap tanda petik itu tenaga administrasi, yang mungkin 20 persen tidak produktif itu," kata Tjahjo saat rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR, Senin (6/7).

Karena ada aturan berjenjang yang mesti dilakukan, pilihannya adalah bagaimana meningkatkan produktivitas PNS. Di antara cara yang bisa dilakukan, yakni menyetop rekrutmen untuk posisi tenaga administrasi sebagaimana pernah dilakukan saat penerimaan calon PNS 2019.

 
Dalam konteks mendapatkan PNS produktif, reformasi birokrasi merupakan keniscayaan. Proses reformasi yang sedang berjalan saat ini mesti diteruskan. 
 
 

Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), produktif bermakna mampu menghasilkan, mendatangkan, atau menguntungkan. PNS yang produktif mengandung makna pegawai yang mampu menghasilkan atau menguntungkan dari kondisi sebelumnya, biasa-biasa saja menjadi sesuatu yang luar biasa dalam konteks positif. Tentu, PNS yang produktif bekerja tidak lagi biasa. Mereka adalah pegawai yang memiliki ritme kerja luar biasa.

Merujuk data Badan Kepegawaian Negara per Desember 2019, sebanyak 22,6 persen PNS berada di pusat. Mayoritas mereka, yakni 77,4 persen merupakan pegawai daerah. Belanja yang dianggarkan untuk jumlah hampir 4,2 juta PNS ini setara Rp 416,6 triliun.

Sebenarnya, moratorium penerimaan PNS pernah berlaku sejak 2015. Namun, dibuka kembali pada 2019. Sejak moratorium, jumlah PNS terus berkurang. Selain juga faktor PNS yang memasuki masa pensiun. Sementara itu, hingga 2019, terdapat 438.590 pegawai pemerintah berstatus honorer. Penutupan penerimaan PNS ini bisa memupuskan sementara harapan mereka menjadi PNS.

Dalam konteks mendapatkan PNS produktif, reformasi birokrasi merupakan keniscayaan. Proses reformasi yang sedang berjalan saat ini mesti diteruskan. Mengalihkan jabatan eselon ke tenaga fungsional, salah satunya, sebagaimana pernah diamanatkan Presiden Joko Widodo untuk merampingkan struktur pejabat.

Hingga Juni 2020 lalu, sudah diselesaikan tahap pertama, mengalihkan 440.029 pejabat eselon III, IV, dan V menjadi tenaga fungsional. Kini memasuki tahap kedua yang akan dituntaskan hingga Desember 2020. Mekanisme pengalihan jabatan yang sudah dilakukan dengan mengidentifikasi jabatan administrasi pada unit kerja.

Pola ini diharapkan dapat memetakan profesionalitas dan produktivitas PNS. Namun, tak bisa berhenti di sini. Kebijakan menyetop sementara rekrutmen PNS pada 2020 dan 2021 bisa menjadi salah satu opsi mengefisiensikan pegawai pemerintah. Pemerintah bisa memfokuskan pada penyelesaian proses penerimaan 2019 yang tertunda karena pandemi Covid-19.

Akan tetapi, pola organik guna mendapatkan pegawai profesional dan produktif, tak cukup dengan itu. Dibutuhkan langkah-langkah anorganik dengan percepatan program pengembangan profesionalitas kepegawaian.

Seleksi alam dengan menyortir pegawai tak produktif--tentunya berdasarkan penilaian yang fair dan adil dengan parameter yang telah ditetapkan--bisa menjadi pola rekrutmen baru. Apalagi, kondisi tak biasa pada era normal baru saat ini membutuhkan tenaga multitalenta.

 
Tepat kompetensinya, juga sesuai kebutuhan pembangunan. Oleh karena itu, restrukturisasi ulang manajemen kerja PNS menjadi keharusan.
 
 

Pola kaderisasi dan pemberdayaan pegawai dengan program-program peningkatan skill diharapkan bisa mendapatkan pegawai yang produktif dan profesional. Keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan jumlah PNS sesuai kompetensi dan pemetaan kerja yang tepat, menjadi kata kunci.

Tepat kompetensinya, juga sesuai kebutuhan pembangunan. Oleh karena itu, restrukturisasi ulang manajemen kerja PNS menjadi keharusan.

Pegawai yang adaptif, dinamis, dan fleksibel terhadap situasi sangat diperlukan. Memiliki inovasi, kreativitas, dan terobosan menghadapi suasana baru. Era pandemi Covid-19 menyebabkan penjarakan sosial sehingga banyak pegawai yang mesti bekerja dari rumah. Kondisi ini menuntut mereka terampil menguasai teknologi untuk urusan pekerjaan.

Pola-pola sebelum pandemi Covid-19 tidak bisa lagi diterapkan. Pegawai mesti beradaptasi dengan teknologi digital, salah satunya. Selain tentunya mampu membangun jejaring komunikasi dan organisasi yang baik. Adanya penjarakan sosial di tengah pandemi menjadi tantangan bagi PNS untuk tetap melayani masyarakat secara profesional. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat