Logo Facebook | EPA-EFE/JOHN G. MABANGLO

Inovasi

Raksasa Teknologi di Pusaran Rasisme

Kelompok minoritas masih berada di presentase satu digit, dari tenaga kerja di banyak perusahaan teknologi besar.

Selama berminggu-minggu, kota-kota di seluruh Amerika Serikat (AS) sempat diwarnai aksi protes usai kematian George Floyd oleh para olisi Minneapolis. Aksi ini hadir sebagai wujud kesedihan dan kemarahan banyak orang, terkait isu ketidakdilan rasisme yang selama ini terus terjadi.

Di industri teknologi, tepatnya di Silicon Valley, para raksasa di industri teknologi juga ikut menggemakan suarakannya terhadap antirasisme. Perusahaan teknologi, termasuk Facebook, Apple, Google, Twitter, Uber, Amazon dan Airbnb telah mengeluarkan pernyataan kecaman terhadap rasisme dan mengekspresikan solidaritas dengan pengunjuk rasa.

“Perlakuan yang tidak adil dan brutal terhadap orang kulit hitam di negara kita harus dihentikan,” tulis Amazon melalui akun Twitter resminya. 

“Bersama-sama kita berdiri dalam solidaritas dengan komunitas Black dalam perjuangan melawan rasisme dan ketidakadilan yang sistemik,” katanya lagi.

Senada, di Facebook, Mark Zuckerberg juga sempat berbagi unggahan tentang tanggung jawab untuk memerangi rasisme dan ketidakadilan. Zuckerberg mengatakan, pihaknya berdiri dengan komunitas kulit hitam dan semua orang yang bekerja menuju keadilan untuk menghormati George Floyd, Breonna Taylor, Ahmaud Arbery dan masih banyak orang lagi yang namanya tidak akan dilupakan.

Twitter pun mengubah biodata di akun perusahaannya menjadi “#BlackLivesMatter” serta mengganti gambar profilnya dari logo biru menjadi hitam dan putih yang lebih suram.

Mengharapkan perubahan

Dalam beberapa kasus, pernyataan sikap para raksasa teknologi ini juga disertai dengan sumbangan. Facebook mengumumkan rencana menyumbangkan 10 juta dolar AS pada organisasi keadilan rasial, meskipun perusahaan tidak menentukan siapa yang akan menerima uang atau kapan sumbangan tersebut diberikan. 

Apple dan Google, masing-masing berjanji menyumbang kepada Equal Justice Initiative. Kedua perusahaan tersebut juga telah menawarkan untuk mencocokkan sumbangan karyawan.

Tak ketinggalan Uber menyumbangkan satu juta dolar untuk beberapa kelompok reformasi peradilan. Peneliti Aktivisme Korporat di Wharton School of Business, Mary-Hunter McDonbell mengatakan memberi sumbangan uang pada organisasi yang berada di garis depan lebih bermanfaat, tetapi juga ada pula yang menganggap langkah ini sebagai keptusan yang klise. “Orang-orang sudah bosan dengan itu,” kata McDonbell, seperti yang dilansir dari Wired

Menurut McDonbell, yang perlu dilihat dari itu semua adalah, apakah perusahaan teknologi akan melobi untuk membantu terjadinya perubahan legislatif dan struktural. Perusahaan seperti Google, menurutnya, telah menghabiskan hampir setengah miliar dolar AS untuk melobi isu terkait selama dekade terakhir. 

Mereka bahkan sudah memiliki kursi dengan anggota parlemen dan dapat memiliki dampak yang lebih besar pada kebijakan daripada hampir semua orang, termasuk organisasi nirlaba yang mereka danai. “Jadi yang orang ingin lihat dari mereka adalah bagaimana mereka menggunakan platform itu untuk membuat beberapa perubahan struktural besar,” ujarnya.

Selama ini, perusahaan teknologi terkadang mampu menunjukkan mereka bisa melakukan sesuatu. Contohnya, pada 2017 ketika Presiden AS Donald Trump mengeluarkan perintah eksekutif yang membatasi perjalanan ke AS dari negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim.

Perusahaan induk Google, Alphabet secara signifikan kemudian meningkatkan upaya lobi untuk menentang kebijakan tersebut. Facebook juga menghabiskan uang untuk melobi, setelah Zuckerberg secara terbuka menentang perintah eksekutif yang sama.

Beberapa tahun lalu, Facebook juga memasang spanduk besar “Black Lives Matter di markas besarnya pada 2016, setelah video penembakan polisi Philando Castile dibagikan secara luas di platform. Namun, tidak ada bukti Facebook akan menerapkan tekanan politik atau melobi sumber daya untuk mengatasi kebrutalan polisi.

Profesor sejarah di Universitas Washington, Margaret O’Mara mengatakan banyak teknisi awal Silicon Valley tenggelam dalam etos kiri dan anti kemapanan di akhir tahun 1960-an. Mereka percaya dapat membangun dunia lebih baik hanya dengan membuat alat-alat non politis yang secara eksplisit menghubungkan orang-orang. “Ada gagasan terpendam bahwa anda dapat memperbaiki banyak ketidakadilan masyarakat dengan akses komputer yang tersedia secara luas,” ujar O’Mara.

Sampai taraf tertentu hal ini terbukti. Namun jelas informasi saja tidak akan menyelesaikan masalah.

Platform teknologi juga disebut menabur perpecahan dan memperburuk ketidakadilan dunia. Informasi buruk di Facebook, misalnya. Hal ini terbukti memicu kekerasan terhadap kelompok minoritas di Myanmar. Selain itu, ekstremis kanan dan teori konspirasi dari semua lini pun tumbuh subur di platform YouTube. 

Rekam jejak tak selalu manis

photo
Aplikasi Facebook dan Messenger di layar ponsel cerdas iPhone - (AP)

Banyak perusahaan teknologi yang menunjukkan dukungan mereka terhadap gerakan Black Lives Matter. Dilansir dari Business Insider, sementara para raksasa teknologi menyampaikan suaranya dalam menentang rasisme, karyawan di dalam perusahaan-perusahaan tersebut justru sering menceritakan kisah yang berbeda.

Saat ini, Silicon Valley masih dikuasai oleh orang berkulit putih. Minoritas seperti orang kulit hitam dan Latin, masih berada di presentase satu digit dari tenaga kerja di banyak perusahaan teknologi besar.

Pendiri Moving Beyond, Aparna Rae sempat membuat pernyataan, bahwa perusahaan yang menentang rasisme seharusnya menjadi langkah awal. Perusahaan juga harus segera mengakui rasa sakit, penderitaan dan trauma sekunder yang dialami oleh karyawan kulit berwarna, terutama karyawan berkulit hitam. “Mereka juga dapat mendukung karyawan kulit hitam dengan menyediakan sumber daya karyawan kulit putih yang memiliki informasi lebih baik,; ujarnya.

Di luar rasisme sistemik yang mungkin mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari, Rae mengungkapkan, kaum minoritas juga kerap menghadapi hambatan dalam mengakses teknologi yang kemungkinan kecil akan dihadapi oleh rekan kulit putih mereka. 

Pilihan kata dalam lowongan pekerjaan juga dapat mencegah minoritas dan wanita untuk melamar. Perempuan dan orang kulit berwarna juga kemungkinan menghadapi kesenjangan pembayaran dan pelecehan. 

Menurut survei yang dilakukan Glassdoor, 43 persen karyawan AS telah melihat atau mengalami rasisme di tempat kerja. Walaupun sudah umum bagi perusahaan tekologi besar untuk mempekerjakan eksekutif yang beragam dan inklusi, banyak perusahaan rintisan tak menjadikannya prioritas utama sejak awal.

Tahun lalu, industri teknologi telah melihat memo beredar dari karyawan di Google dan Facebook yang menggambarkan rasisme dan diskriminasi yang mereka hadapi di tempat kerja. Dalam salah satu memo yang beredar, seorang mantan karyawan kulit hitam Google menulis bahwa mereka tidak pernah berhenti merasakan beban menjadi kulit hitam di Google.

Dalam kondisi pandemi Covid-19, direktur Paradigm Evelyn Carter mengatakan perempuan dan orang kulit berwarna juga secara tidak proporsional terkena dampak pemutusan hubungan kerja (PHK). Menurutnya, sebagian karena keputusan PHK sering didasarkan pada masa kerja. 

Untuk alasan yang disebutkan di atas, perempuan dan orang kukit berwarna lebih cenderung berada di posisi junior daripada kepemimpinan. 

 
Ada gagasan terpendam bahwa Anda dapat memperbaiki banyak ketidakadilan masyarakat dengan akses komputer yang tersedia secara luas.
MARGARET O'MARA, Profesor sejarah di Universitas Washington 
 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat