Simulasi pemulasaraan jenazah pasien Covid-19 saat di Kampung Tangguh Nusantara, di RW 5, Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Rabu (1/7). | Edi Yusuf/Republika

Kabar Utama

Rumah Sakit Swasta Tagih Klaim Covid-19

Keterlambatan pembayaran klaim pelayanan bisa mengganggu arus kas RS swasta.

JAKARTA -- Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) mencatat sekitar 40 hingga 60 persen klaim atas biaya pelayanan kesehatan pasien Covid-19 di fasilitas kesehatan swasta belum dibayar hingga Kamis (2/7). Padahal, keterlambatan pembayaran klaim pelayanan bisa mengganggu arus kas RS swasta.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) ARSSI Ichsan Hanafi mengaku pihaknya belum memiliki angka pasti jumlah tunggakan klaim pelayanan pasien Covid-19 RS swasta. Sebab, data laporan klaim masih banyak yang harus dikembalikan dan dilengkapi. 

"Jadi kami belum mencatat nominal kekurangan pembayaran klaim pelayanan ini. Yang jelas klaim yang belum dibayar antara 40 sampai 60 persen," kata Ichsan saat dihubungi Republika, Kamis (2/7).

Ichsan mengatakan, belum dibayarnya klaim pelayanan kesehatan mengganggu keuangan rumah sakit. Pihaknya berharap proses pembayaran klaim bisa dipermudah. Apalagi, dia melanjutkan, RS swasta di 34 provinsi turut berperan dalam menangani pasien Covid-19. 

Ia menambahkan, ARSSI pada Rabu (1/7) telah menemui Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto untuk membahas klaim pelayanan RS swasta. "Kata beliau (Terawan) akan ada revisi kelima untuk klaim pasien Covid-19. Mudah-mudahan akan mempermudah proses klaimnya sehingga klaim di RS swasta bisa cepat terbayar," katanya. 

Sebelumnya, Ketua Umum ARSSI Susi Setiawaty mengatakan Kemenkes telah membayar 50 persen uang muka klaim perawatan pasien terkait Covid-19 di Indonesia. Kata dia, beberapa rumah sakit swasta sudah melakukan klaim sejak keluarnya Keputusan Menteri Kesehatan pada April. "Kemenkes sudah memberikan down payment sebesar 50 persen, sisanya ada yang dilunasi," kata dia saat ditemui usai audiensi di Kemenkes, Rabu (1/7) sore.

Menkes Terawan belum bisa dimintai konfirmasinya mengenai pembayaran klaim RS swasta. Begitu pula dengan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes Bambang Wibowo. Keduanya tak merespons telepon dan pesan singkat Republika

Keterlambatan pembayaran klaim RS serta insentif bagi tenaga kesehatan (nakes) turut menjadi sorotan DPR. Komisi IX DPR menilai ada sejumlah kendala yang membuat penyalurannya terhambat.

Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Saleh Partaonan Daulay meminta pemerintah segera menyelesaikan pembayaran insentif untuk para tenaga kesehatandan utang klaim pelayanan kesehatan RS swasta. Perlu ada penyederhanaan administrasi hingga birokrasi untuk mencairkan insentif tersebut dan membayar utang klaim pelayanan kesehatan ini.

Pihaknya mencatat tunjangan ini mestinya dibayar pada Maret, April, Mei 2020 lalu namun masih tersendat padahal sekarang sudah memasuki Juli."Artinya kan waktunya sudah lewat. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) kan menyatakan (insentif untuk nakes Covid-19) yang sudah dibayar baru 40 persen, jadi kami mendorong supaya cepat dibayarkan," ujarnya saat dihubungi Republika, Kamis (2/7).

Terkait alasan pemerintah masih melakukan konsolidasi pendataan dari daerah kemudian verifikasi, ia membantahnya. Menurutnya seharusnya pencairan insentif ini tidak rumit dan melalui alur panjang karena sebagian besar nakes yang berhak mendapatkan tunjangan insentif ini adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang datanya sudah ada di sistem. "Mestinya lebih mudah toh. Makanya saat rapat resmi kemarin, kami sudah meminta hal itu ke Kemenkes untuk mempercepat pencairan ini," katanya.

Tak hanya pemberian insentif, pihaknya berharap klaim pelayanan kesehatan pasien Covid-19 di RS swasta bisa segera dipenuhi oleh pemerintah. Sebab, di menambahkan, RS swasta bisa bertahan hanya dari pembayaran klaim seperti itu. "Jangan sampai operasional dari RS terganggu karena keterlambata pembayaran klaim," katanya.

Ia menambahkan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai pihak yang melakukan verifikasi pembayaran klaim ini sebaiknya bisa mempercepat administrasi birokrasinya. Ia menegaskan, kehati-hatian tetap perlu dan pendataan yang baik memang dibutuhkan tetapi jangan sampai memperlambat proses pembayarannya.

Jadi ia meminta administrasi pembayaran klaim harus dipermudah. Ia menegaskan ini penting karena RS swasta hanya mengandalkan kunjungan pasien untuk mendapatkan pemasukan. "Berbeda dengan RS pemerintah yang sudah mendapatka Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) dari pusat untuk pembiayaan mereka. Jadi, kalau RS swasta tidak didukung maka cashflow-nya terganggu," katanya.

Ia meminta Menkes Terawan memberi penjelasan kepada masyarakat jika ada hambatan soal anggaran. Sebab, anggaran penanganan Covid-19 yang ada jauh dari yang diusulkan oleh Kemenkes.  Selain itu, proses realisasinya juga dinilai sangat lambat. 

photo
Simulasi pemulasaraan jenazah pasien Covid-19 saat di Kampung Tangguh Nusantara, di RW 5, Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Rabu (1/7). Kemampuan penanganan jenazah pasien Covid-19 sesuai dengan protokol kesehatan secara mandiri oleh masyarakat, merupakan salah satu bagian terpenting dalam pembentukan Kampung Tangguh Nusantara. - (Edi Yusuf/Republika)

Lambatnya realiasasi anggaran Covid-19 dikhawatirkan berdampak langsung bagi masyarakat. "Penyebaran Covid-19 sampai saat ini masih tinggi. Jika anggarannya tidak tersedia, pelayanan kepada masyarakat dipastikan terkendala," ujar Saleh.

Hal senada isampaikan Wakil Ketua Komisi IX DPR Nihayatul Wafiroh. Ia mengatakan, Kementerian Keuangan menyatakan salah satu kendala penyaluran insentif tenaga kesehatan karena data Kemenkes belum lengkap.

"Banyak persoalan yang menjadi kendala Kementerian Kesehatan, contohnya insentif tenaga kesehatan yang dianggarkan Rp5,9 triliun, tetapi yang terserap baru Rp300 miliar," ujar Nihayatul.

Kemenkes diminta untuk mengevaluasi pengelolaan data untuk pemberian insentif bagi nakes. Tujuannya agar para nakes yang berjuang dalam penanganan Covid-19 mendapatkan haknya, sesuai dengan janji pemerintah.

"Ini tentu menjadi tamparan untuk seluruh jajaran di Kementerian Kesehatan, karena sebenarnya data itu dikumpulkan Kemenkes dari tingkat bawah, dari rumah sakit hingga dinas kesehatan daerah," ujar Nihayatul.

Mulai cair

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) mengungkapkan, tenaga kesehatan sudah mulai mendapatkan insentif yang dijanjikan pemerintah selama penanganan pandemi Covid-19. Namun, pencairan insentif tersebut belum merata secara nasional.

"Kalau dalam pekan ini saya belum dapet lagi yang confirm. Tapi terakhir itu di RSPI Sulianti Saroso (insentif) sudah turun hari ini," kata Ketua Umum PPNI Harif Fadhillah di Jakarta, Kamis (2/7).

Dia mengatakan, hingga saat ini baru 39 persen fasilitas kesehatan di Indonesia yang sudah mendapatkan insentif tersebut.Sedangkan 61 persen sisanya belum mendapatkan insentif karena rumah sakit atau instansinya belum mengusulkan ke dinas kesehatan setempat.

"Makanya kami meminta pemerintah juga untuk mendorong agar rumah sakit segera mengusulkan pengajuan (pencairan insentif)," katanya.

Pemerintah memberikan insentif kepada setiap tenaga kesehatan yang bertugas menangani Covid-19 dengan melihat spesifikasi. Dokter spesialis diberikan Rp 15 juta per bulan, dokter umum dan gigi Rp 10 juta, bidan dan perawat Rp 7,5 juta serta tenaga medis lainnya Rp 5 juta. Harif mengatakan, besaran yang diterima setiap tenaga medis secara perorangan juga berbeda-beda bergantung hitungan durasi masuk kerja. 

"Jadi memang harus adil juga. Antara yang bekerja sebulan penuh dengan yang lima hari kerja enggak mungkin sama," katanya.

Kemenkes sebelumnya menyatakan bahwa anggaran insentif tenaga medis yang membantu penanganan virus Covid-19 sudah tersalurkan Rp 408 miliar. Untuk mempercepat penyaluran insentif tersebut, Kemenkes merevisi aturan dengan menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) nomor HK.01.07/MENKES/392/2020.

Perbedaan Kepmenkes terbaru dengan yang lama terletak pada proses verifikasi dokumen pengajuan insentif. Ada penyederhanaan dalam proses tersebut. Kepmenkes terbaru mengamanatkan proses verifikasi dokumen pengajuan insentif hanya sampai di tingkat dinas provinsi dan langsung diajukan ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu). 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat