Warga Suku Baduy Luar mendapatkan bantuan sembako di Desa Kanekes, Lebak, Banten, Senin (29/6). | MUHAMMAD BAGUS KHOIRUNAS/ANTARA FOTO

Opini

Membangun Resiliensi Saat Pandemi

Resiliensi masyarakat diuji agar anak bangsa tetap hidup dan Indonesia tetap kuat.

BUSTAR MAITAR, Pendiri dan CEO Yayasan EcoNusa

Hari-hari ini, umat manusia di seluruh bumi diserang ciptaan tak kasat mata nan mematikan, Covid-19. Pandemi ini telah merenggut ratusan ribu jiwa tanpa kenal kasta.

Ironisnya, penyebaran wabah ini justru dari negara adidaya dan raksasa ekonomi dunia, mulai dari Cina, AS, Benua Eropa yang merembet ke negara miskin. Prevalensinya pun sesuai status negara. Semakin maju, semakin banyak yang terinfeksi.

Negara miskin, sementara ini dan harapannya tetap sedikit yang terjangkit. Pemerintah dan warga dunia bahu-membahu dalam mengatasi Covid-19 dengan upaya, sumber daya, kemampuan, dan kebijakan demi menghentikan mata rantai penularan virus ini.

Tak terhitung dampak ekonomi, sosial, budaya, politik dari pandemi ini. Bahkan, secara ekonomi dan hitung-hitungan matematis, pandemi ini jika tak cepat teratasi akan memunculkan resesi global karena semua negara mengalami kontraksi ekonomi yang parah.

 

 
Di Indonesia khususnya, kesiapan sistem layanan kesehatan menjadi prasyarat utama memutus mata rantai penularan Covid-19.
 
 

 

Dalam kondisi darurat semacam ini, sebuah negara dapat dinilai dari tiga aspek, yaitu kesiapan sistem layanan kesehatan, standar tata kelola pemerintahan, dan modal sosial yang dimiliki (Julianto, 2020).

Di Indonesia khususnya, kesiapan sistem layanan kesehatan menjadi prasyarat utama memutus mata rantai penularan Covid-19. Ini tak bisa ditawar-tawar lagi, sekalipun mengalami kedodoran di sana-sini.

Standar tata kelola pun sudah dijalankan pemerintah dengan baik. Misalnya, melalui kebijakan kedaruratan kesehatan, jaringan pengaman sosial, stimulus fiskal, protokol penanganan. Selain itu, Indonesia memiliki modal sosial luar biasa, baik sumber daya alam berlimpah maupun SDM dengan populasi lebih dari 250 juta.

Hal lain yang tak boleh dipandang sebelah mata dari Covid-19 adalah dampaknya terhadap ketahanan pangan. Ini menjadi sektor rentan yang akan menimbulkan efek domino lebih besar. Pemerintah sudah dan harus melakukan mitigasi risiko terkait ketahanan pangan.

Dalam hal ini, resiliensi masyarakat Indonesia diuji agar anak bangsa tetap hidup dan Indonesia tetap kuat.

Berdasarkan data Global Food Security Index (GFSI) dari The Economist Intelligence Unit 2019, indeks ketahanan pangan Indonesia naik dari 54,8 pada 2018 jadi 62,6 pada 2019. Indonesia di posisi ke-62, naik dari posisi 65 pada 2018 dari 113 negara di dunia.

Di ASEAN, Indonesia di posisi ke-5 setelah Vietnam. Penilaian indeks ini berdasar pada empat aspek, yaitu keterjangkauan, ketersediaan atau terjaganya penawaran, kualitas, dan keamanan standar nutrisi dan sumber daya, lahan, dan produksi pangan.

 
Dalam hal ini, resiliensi masyarakat Indonesia diuji agar anak bangsa tetap hidup dan Indonesia tetap kuat.
 
 

Menurut laporan GFSI 2019 tersebut, aspek sumber daya alam dan resiliensi pun skornya meningkat dari 43,9 pada 2018 menjadi 47,1 pada 2019.

Penilaian ini bisa menjadi pemicu optimisme Pemerintah Indonesia untuk makin membangun dan meningkatkan resiliensi karena kenyataannya, Indonesia masih diberi kelimpahan sumber daya alam, apalagi wilayah timur Indonesia.

Peningkatan peringkat indeks ketahanan pangan Indonesia bisa menjadi momentum untuk membangun resiliensi masyarakat Indonesia, yang terdampak Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Jika dilaksanakan, ini langkah mitigasi terhadap korban yang terdampak Covid-19. Untuk itu, penulis memiliki beberapa pemikiran yang bisa direalisasikan pemerintah pusat dan daerah secara simultan untuk membangun ketahanan pangan dan resiliensi ini.

Pertama, membuat data akurat tentang stok pangan dan pendistribusian selama masa darurat kesehatan berlangsung. Tanpa akurasi data, perhitungan stok pangan pemerintah dan distribusi ke masyarakat akan kacau.

Kedua, pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Pertanian, mengeluarkan kebijakan untuk menggerakkan para penyuluh pertanian bersama pemerintah daerah.

Para penyuluh, tanpa mengesampingkan protokol pencegahan wabah Covid-19, harus menjalankan tugas untuk mengedukasi masyarakat lokal dalam membudidayakan pertanian. Prioritas utamanya, daerah di luar Pulau Jawa sebagai lumbung pangan.

Hal ini sudah diinisiasi Dinas Pertanian di Kabupaten Bengkulu Selatan. Ini bisa direplikasi di wilayah lain. Ketiga, mendorong resiliensi masyarakat lokal untuk membudidayakan pangan lokal berdasarkan kekayaan sumber daya alam yang ada.

Dalam situasi saat ini, sudah sangat mendesak bagi pemda mengedukasi dan mendorong masyarakat lokal kembali ke kebun, mengolah lahan pertanian, menanam sagu, umbi, pisang, sayuran untuk menciptakan kemandirian pangan.

Keempat, mendorong swasembada pangan lokal dengan membatasi penjualan ke luar pulau atau setidaknya daerah yurisdiksi tertentu dalam situasi darurat kesehatan ini.

Jika edukasi berhasil, masyarakat akan memiliki stok pangan cukup untuk memenuhi kebutuhan lokal. Kecukupan itu harus dijamin agar tak dijual ke luar yurisdiksi tertentu. Kecuali jika kebutuhan pangan lokal sudah tercukupi dan ada surplus hasil pangan.

Bahkan, resiliensi ini akan terbentuk dalam jangka panjang yang membangun kemandirian bangsa. Niscaya, ketahanan pangan lokal terpenuhi, sekalipun terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat