Seorang anak mengikuti pelajaran Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di Kampung Belajar New Normal, Pinang, Kota Tangerang, Banten, Jumat (19/6/2020). Kegiatan belajar yang diinisiasi warga tersebut digelar sebagai upaya menumbuhkan pengetahuan serta m | FAUZAN/ANTARA FOTO

Opini

Satelit Pendidikan

Big data yang dihasilkan dari proses belajar daring ini suatu waktu bisa dianalisis sebagai bahan pengambil kebijakan.

Oleh IBNU HAMAD

IBNU HAMAD, Ketua Lembaga Kajian Kurikulum dan Kebijakan Pendidikan UI

Kebijakan pendidikan pada masa pandemi Covid-19 yang disampaikan Mendikbud, Senin 15 Juni 2020, menyita perhatian kita bersama. 

Sebab, umumnya di antara kita, punya anak atau cucu yang bersekolah. Bagi pelaku pendidikan, malah kebijakan tersebut sangat ditunggu-tunggu sebagai pedoman penyelenggaraan belajar dan mengajar di lapangan.

Mencermati soft copy berupa power point dari kebijakan itu, ada satu hal yang patut segera diambil keputusan oleh pemerintah cq kementerian yang mengelola pendidikan, Kemendikbud dan Kemenag, yaitu penyediaan satelit pendidikan Indonesia.

Dalam slide keempat dalam dokumen kebijakan tersebut, ditunjukkan 94 persen peserta didik di zona kuning, oranye, dan merah (dalam 429 kabupaten/kota) dan 6 persen peserta didik di zona hijau (dalam 85 kabupaten/kota).

 
Mengacu pada kebijakan tersebut, mereka dengan jumlah mayoritas ini dipastikan harus belajar secara daring. Lantas, bagaimana dengan penyediaan kuota internetnya?
 
 

Jika diasumsikan jumlah pelajar kita mulai dari SD/sederajat, SMP/sederajat, hingga SMA/sederajat sebanyak 44 juta orang, maka sekurangnya ada 41 juta lebih siswa tinggal di zona kuning, oranye, dan merah. 

Mengacu pada kebijakan tersebut, mereka dengan jumlah mayoritas ini dipastikan harus belajar secara daring. Lantas, bagaimana dengan penyediaan kuota internetnya? Siapa yang menanggung biayanya? Mengingat kondisi georafis dari 429 kabupaten/kota yang berbeda-beda, adakah jaminan sudah semua wilayahnya tidak blank spot?

Lebih dari itu, yang perlu dipikirkan juga bukan hanya blank spot sinyal internet, juga blank pocket pembeliaan kuota internet oleh pelajar dari keluarga-keluarga tidak mampu. Padahal, tak sedikit dalam sebuah keluarga ada 2-3 bahkan 4 anak yang sedang sekolah. 

Kedua jenis blank point ini juga sesungguhnya potensial terjadi di semua zona.

Dalam dokumen kebijakan pendidikan yang mencantumkan delapan logo lembaga negara itu, termasuk DPR, memang disebutkan (lihat slide ke-12) kebolehan penggunaan dana BOS untuk pembelian pulsa, paket data, dan/atau layanan pendidikan daring berbayar bagi pendidik dan/atau peserta didik. Namun, apa aplikasi pendidikannya?

Andaikan kita punya satelit khusus untuk pendidkan, kiranya blank spot bisa diatasi, pendayagunaan aplikasi pendidikan bisa diwujudkan, sekaligus dapat menekan biaya yang dikeluarkan untuk membeli paket data. 

Selain membuktikan negara hadir, satelit ini juga berfungsi untuk mengantisipasi berkepanjangannya pandemi Covid-19 ini tanpa harus bergantung terus pada pihak eksternal.

 
Kelak, big data yang dihasilkan dari proses belajar daring ini suatu waktu bisa dianalisis sebagai bahan pengambil kebijakan. 
 
 

Dewasa ini, bisa dikatakan semua bank memiliki aplikasi daring, termasuk SMS banking. Nasabah yang memakai aplikasi layanan daring atau SMS banking disyaratkan memiliki kata sandi. Nasabah tidak boleh salah dan atau lupa jika ingin bertransaksi.

Sekolah-sekolah di Indonesia memiliki nomor pokok sekolah nasional (NPSN) sedangkan para siswanya memiliki nomor induk siswa nasional (NISN). 

Kombinasi kedua nomor ini bisa menjadi kata sandi bagi masing-masing siswa untuk mengoperasikan aplikasi pendidikan yang menjadi miliknya. Kombinasi NPSN dan nomor (induk) pegawai, bisa menjadi kata sandi bagi pendidik dan tenaga kependidikan.

Penulis bukan ahli TI, tetapi penulis perkirakan, dalam aplikasi pendidikan yang akan dibuat tim TI itu akan berisi sekurang-kurangnya, login dengan kata sandi siswa/pendidik, nama siswa/pendidik, kelas, nama sekolah dengan NPSN, pelajaran, materi pelajaran, ruang dikusi, penugasan, dan ujian. 

Seperti halnya sistem daring perbankan yang memungkinkan mereka memonitor aktivitas setiap nasabahnya, kelak jika kita memiliki satelit pendidikan disertai aplikasi pendidikan yang membuat kita bisa memantau kegiatan belajar mengajar per siswa, per mata pelajaran, per guru, juga per sekolah.

Kelak, big data yang dihasilkan dari proses belajar daring ini suatu waktu bisa dianalisis sebagai bahan pengambil kebijakan. Satu catatan, aplikasi pendidikan ini nanti memerlukan materi untuk setiap pelajarannya sesuai tingkat (kelas) guna diakses siswa dan guru. 

Karena itu, satker di Kemendikbud dan Kemenag yang menangani kurikulum dan perbukuan menjadi vital. Maka, peran mereka juga menjadi sangat strategis dalam pemerataan mutu pendidikan karena muatan kurikulum menjadi standar di seluruh Tanah Air.

Dana pendidikan 

Sebutlah harga sebuah satelit sekitar Rp 7 triliun.  Sedangkan angka 20 persen dana pendidikan dari APBN merupakan amanat UUD 1945. Merujuk APBN kita yang berjumlah Rp 1.700 triliun lebih (sebelum direvisi adalah Rp 2.233 triliun lebih), maka 20 persennya sebagai dana pendidikan adalah Rp 340 triliun.

Dengan persetujuan Komisi X khususnya, sebagai komisi yang menangani pendidikan, pemerintah niscaya bersedia menggunakan Rp 7 triliun atau sekitar 2 persen dari Rp 340 triliun itu untuk pembelian satelit pendidikan serta pengembangan aplikasi pendidikannya. 

Demi kepentingan jutaan pelajar kita (lebih dari 44 juta orang) plus guru (sekitar 3 juta orang) yang notabene sebagai penjamin masa depan negara dan bangsa kita, pengeluaran dana sebesar itu akan lebih banyak manfaatnya. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat