Adiwarman Karim | Daan Yahya | Republika

Analisis

Ekonomi Raghaba wa Rahaba

Inilah ekonomi raghaba wa rahaba. Ekonomi yang penuh harap dan cemas.

Oleh ADIWARMAN A KARIM

OLEH ADIWARMAN A KARIM

Sergio Correia dan Stephan Luck, para ekonom Bank Sentral AS, dalam artikel mereka, “How can we save lives and the economy? Lessons from the Spanish Flu pandemic”, menjelaskan dua temuan penting riset mereka.  Pertama, wilayah yang lebih parah terkena wabah pandemi pada 1918 mengalami penurunan perekonomian yang tajam dan konsisten. Wilayah yang memiliki tingkat kematian tinggi memiliki pertumbuhan ekonomi rendah. 

Kedua, wilayah yang menerapkan protokol kesehatan secara luas sejak awal tidak mengalami penurunan kemampuan ekonomi dalam jangka menengah. Wilayah yang menerapkan protokol kesehatan dalam jangka waktu yang lebih panjang cenderung memiliki tingkat kematian yang rendah dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.  Sebaliknya, wilayah yang menerapkan protokol kesehatan dalam jangka waktu yang lebih pendek cenderung memiliki tingkat kematian yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang rendah.

Correria dan Luck menghitung adanya penurunan output manufaktur sampai 18 persen akibat wabah pada 1918 itu. Penerapan protokol kesehatan jelas membatasi kegiatan ekonomi masyarakat sehingga sisi demand dan supply tertekan sekaligus yang selanjutnya menimbulkan kesulitan ekonomi masyarakat. 

Kabar baiknya, penurunan ini tidak menghilangkan kemampuan ekonomi baik sisi demand maupun supply. Mereka hanya menunda kegiatan ekonomi pada masa pandemi. Ibarat orang berpuasa yang menunda makan minum pada siang hari.

 
Inilah ekonomi raghaba wa rahaba. Ekonomi yang penuh harap dan cemas. Ekonomi yang berharap adanya keajaiban.
 
 

Sebaliknya, bila protokol kesehatan tidak diterapkan secara memadai, kemampuan ekonomi akan rusak di sisi demand dan supply. Jumlah pembeli akan berkurang, jumlah pekerja juga akan berkurang karena terkena wabah penyakit. Dengan demikian, ketika wabah telah hilang, kemampuan daya beli dan produksi mengalami penurunan.

Thomas Garrett, ekonom Bank Sentral AS di St. Louis, dalam risetnya “Economic Effects of the 1918 Influenza Pandemic”, menjelaskan perbedaan dampak ekonomi antara karantina lokal sepenuhnya dan karantina parsial.  Karantina lokal sepenuhnya memang akan menekan bisnis dalam jangka pendek. Karyawan dirumahkan, bahkan keluarga yang tidak terkena wabah pun akan ikut merasakan kesulitan ekonomi.  

Sebaliknya, karantina parsial dengan menutup sekolah dan gereja, tapi tetap membolehkan transportasi publik dan restoran, tidak akan efektif dalam mencegah penyebaran wabah penyakit. Tidak efektifnya pencegahan wabah akan mInilah ekonomi raghaba wa rahaba. Ekonomi yang penuh harap dan cemas. Ekonomi yang berharap adanya keajaibanenaikkan tingkat kematian, yang dapat menimbulkan berkurangnya tenaga kerja, menurunkan kemampuan produksi, dan menaikkan biaya tenaga kerja dalam jangka menengah.

Paul Krugman, professor Universitas Princeton, dalam artikelnya “On the Economics of Not Dying” menyindir mereka yang masih memikirkan pertumbuhan ekonomi pada saat puncak pandemi, “Apa gunanya menaikkan GDP jika itu akan membunuhmu?”.

 “wabah Covid cepat berlalu tanpa perlu pembatasan kegiatan”. Ekonomi yang dihantui kecemasan “di rumah kelaparan, di luar terkena Covid”. 

Efraim Benmelech dan Carola Frydman, para profesor di Universitas Northwestern, dalam artikel mereka, “The 1918 influenza did not kill the US economy”, menjelaskan perbedaan dampak ekonomi antara wabah flu Spanyol pada 1918 dan Covid-19. 

Pada 1918 Pemerintah AS menekan industri tetap beroperasi, mulai dari pertambangan, perkapalan, hingga pabrik berbagai barang dan komoditas yang diperlukan untuk menghadapi Perang Dunia Pertama. Perekonomian tetap berjalan, korban berjatuhan. Saat ini pembatasan sosial dapat efektif dilakukan karena teknologi telah memungkinkan bekerja dari rumah. Ini sebabnya dunia saat ini tidak membutuhkan kegaduhan, apalagi perang.

 
Bukan saja masyarakat yang gamang, pemerintah pun gamang menghadapi situasi ini. Inilah ekonomi raghaba wa rahaba
 
 

Libur Lebaran di negara-negara Muslim dan libur musim panas di negara-negara Barat memberi dua dampak ekonomi. Pertama, menggeliatnya kegiatan ekonomi.  Kedua, naiknya potensi risiko penyebaran wabah Covid. Diperkirakan perekonomian akan sedikit membaik pada kuartal III tahun ini sekaligus diperkirakan wabah gelombang kedua akan terjadi. 

Berbeda dengan orang puasa yang menunda makan minum dan mengetahui pasti kapan berbukanya, masyarakat yang menunda kegiatan ekonomi selama pembatasan sosial tidak mengetahui kapan dapat kembali beraktivitas normal. Bukan saja masyarakat yang gamang, pemerintah pun gamang menghadapi situasi ini. Inilah ekonomi raghaba wa rahaba.  

Steven Salterio, profesor Universitas Queen Ontario, dalam artikelnya “It could take two years for the economy to recover from the coronavirus pandemic”, menjelaskan berbagai prediksi ekonomi ketika terjadi wabah penyakit, termasuk SARS yang terakhir sebelum Covid, tidak ada yang akurat. 

Ari Kuncoro, profesor Universitas Indonesia, dalam artikelnya “Prediksi Momentum Pertumbuhan” menjelaskan kesimpangsiuran prediksi outlook perekonomian dari berbagai lembaga dan ahli ekonomi dunia disebabkan terbatasnya informasi yang mereka miliki sekaligus menunjukkan besarnya ketidakpastian ekonomi.

Dalam kegamangan, kadang nasihat yang paling tidak masuk akal pun akan dicoba. Ingatlah kisah Lukman AS dan anaknya yang membawa kedelai hidup. Kadang dituntun berdua, kadang ditunggangi berdua, kadang ayah yang menuntun, kadang anak yang menuntun, bahkan sampai digotong berdua.

Ketika Nabi Zakaria AS berada dalam kegamangan, dalam kesendiriannya, dengan harap dan cemas beliau mengiba pertolongan Allah. Merendahkan diri kepada Sang Mahakuasa dan bersegera melakukan kebaikan. Inilah cara mengundang pertolongan Allah dalam menghadapi musibah Covid dan dampak ekonominya. 

Menjelang Perang Badar, malam itu Allah Azza wa Jalla menurunkan hujan untuk menyucikan kaum Muslimin dan meneguhkan telapak kaki mereka di atas bumi. Jejak kaki orang-orang rendah hati yang membawa Islam melintasi zaman, gunung, dan lautan.

Malam yang sama, hujan yang sama, ruh dengan kecintaan yang sama, kini menapak teguh berdoa dengan harap dan cemas. Ya Allah, kami umat Rasul-Mu di akhir zaman, kami tidak pernah berjumpa dengan Rasul-Mu, tapi kecintaan kami serasa bertemu dengan ruh Rasul-Mu. Kami tidak mengerti bahasa Arab, tapi Alquran masuk jauh ke relung hati kami.

Ya Allah, jangan Kau tinggalkan kami dalam kecintaan kami, ya Allah jangan Kau biarkan kami dalam kerinduan kami, ya Allah jangan Kau sia-siakan kami dalam keimanan kami. Ya Allah, mereka telah nyata menampakkan kesombongan mereka, menyakiti cinta kami kepada-Mu dan kepada Rasul-Mu.

Ya Allah, berikanlah apa yang telah Engkau janjikan kepada kami. Sungguh kami belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat