Suasana sidang BPUPKI pada 1945. | Istimewa

Opini

Ki Bagus di Seputar Pancasila

Umat Islam sangat berkepentingan menjaga dan mempertahankan Pancasila.

SUDARNOTO ABDUL HAKIM, Wakil Ketua Majelis Dikti Litbang PP Muhammadiyah

Pancasila yang sebetulnya sudah final dan disepakati the founding fathers, termasuk Ki Bagus Hadikusumo, sejak 1945 sebagai dasar negara, falsafah, dan weltanschauung bangsa Indonesia kembali menjadi perbincangan.

Paling tidak sejak Yudhian Wahyudi, yang baru dilantik sebagai ketua BPIP waktu itu, membuat pernyataan pada Februari 2020, yang dinilai menyakiti bangsa Indonesia. Dia mengatakan, “Agama merupakan musuh terbesar Pancasila.”

Hari-hari ini, masyarakat disengat RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) menjadi prolegnas yang diusung Fraksi PDIP di DPR. Salah satu tujuannya, memperkuat landasan hukum pembentukan BPIP yang selama ini diatur peraturan presiden.

 

 
Umat Islam sangat berkepentingan menjaga dan mempertahankan Pancasila. 
 
 

 

Banyak kalangan umat menolak RUU HIP ini, tak kurang Habib Riezieq sekalipun. Dewan Pimpinan MUI juga menerbitkan maklumat menolak RUU ini dengan alasan, antara lain tidak mencantumkan TAP MPRS No 25/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI.

Muhammadiyah, dengan mendasarkan diri, antara lain, pada landasan yuridis konstitusional  juga bersikap sama. Satu tim untuk keperluan RUU HIP, diketuai Sekum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, yang dibentuk oleh PP Muhammadiyah.

Umat Islam sangat berkepentingan menjaga dan mempertahankan Pancasila. Bagaimanapun, tokoh-tokoh umat Islamlah yang sangat menentukan penerimaan Pancasila setelah melalui rangkaian perdebatan sengit dan melelahkan. Umat Islamlah “kunci Pancasila”.

Pemikiran Sukarno

Sukarno menyampaikan pidatonya, setelah 13 anggota BPUPKI lainnya (termasuk Ki Bagus) berpidato pada 31 Mei 1945 di  Gedung Tyuoo Sang-In, Pejambon, Jakarta, untuk menjawab pertanyaan tentang apa dasar negara yang harus digunakan untuk Indonesia.

Pidato Sukarno pada 1 Juni 1945 sangat historis karena “secara intelektual”, ia menyampaikan gagasannya di depan sidang BPUPKI. Ini mencerminkan tampilnya pemimpin karismatik, penggerak dan intelektual berkarakter dengan pengetahuan luas dan mendalam.

Sukarno menegaskan soal perjuangan dan cita-cita ke depan yang kemudian butir-butir pentingnya ia sebut “Philosofische Grondslaag” dan “Weltanschauung” atau dasar negara. Ia menekankan pentingnya kemerdekaan politik karena itu dasar negara sangat dibutuhkan.

Dalam pidato, Sukarno mengurai dasar negara, yaitu: (1) kebangsaan Indonesia, (2) internasionalisme atau perikemanusiaan, (3) mufakat, dasar perwakilan, dan permusyawaratan (4) kesejahteraan sosial, (5) ketuhanan yang berkebudayaan. Lalu, ia menyebutnya Pancasila.

 
Gagasan para tokoh anggota BPUPKI ditampung, diperdebatkan hingga terjadi gentlemen agreement pada 22 Juni dan terakhir 18 Agustus 1945.
 
 

Ia mengatakan, jika ada yang “tidak suka akan bilangan lima”, Pancasila bisa diperas menjadi Trisila (Socio-nasionalisme, Socio-demokratie, Ketuhanan). Jika dikehendaki, yang tiga sila pun bisa diperas menjadi satu sila yang oleh Sukarno disebut gotong royong.

Meski begitu, Sukarno menegaskan, ’’Haruslah Panca Sila… itulah Weltanschauung kita.” Jelas sekali, sebagaimana pidato para tokoh pada hari sebelumnya, pidato Sukarno ini “usulan gagasan personal” sebagai masukan menetapkan dasar negara Indonesia.

Gagasan para tokoh anggota BPUPKI ditampung, diperdebatkan hingga terjadi gentlemen agreement pada 22 Juni dan terakhir 18 Agustus 1945. Sukarno menyumbang apa yang disebut Pancasila meski berbeda dengan Pancasila kita sekarang.

Piagam Jakarta  

Setelah penyampaian pidato anggota BPUPKI, terbentuk Panitia Sembilan untuk finalisasi rumusan dasar negara, yang mewakili kelompok nasionalis sekuler dan nasionalis Islami.

Tokoh-tokoh yang mewakili nasionalis Islami ialah Abikoesno, Abdul Kahar Muzakir, Agus Salim, dan Wahid Hasyim. Mereka berdebat keras untuk mencapai kesepakatan politik, tidak lagi wacana seperti yang disampaikan pada akhir Mei dan 1 Juni 1945.

Kesepakatan politik ini disebut Piagam Jakarta, dokumen keputusan politik pertama sejak dibentuknya BPUPKI. Panitia ini bertugas menyusun naskah yang semula untuk teks proklamasi kemerdekaan, tetapi kemudian menjadi pembukaan atau mukadimah UUD 1945.

Di dalamnya disebutkan, lima hukum dasar negara, yaitu: (1) Ketoehanan dengan kewadjiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja (2) Kemanoesiaan jang adil dan beradab (3) Parsatoean Indonesia (4) Kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat, kebidjaksanaan dalam permoesjawaratan/perwakilan (5) Keadilan sosial bagi seloeroeh Rakjat Indonesia.

Lima hukum dasar negara ini persis Pancasila kita sekarang, kecuali pada sila pertama karena terdapat tujuh kata Corpus Islamicum, yaitu “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Ini dihapus sehari setelah proklamasi kemerdekaan.

Kontribusi Ki Bagus Hadikusumo

Setelah penetapan Piagam Jakarta, perdebatan terus berlangsung pada Juli 1945 untuk menyiapkan rancangan UUD.

Dari 42 pasal yang diajukan dalam sidang paripurna pada 13 Juli 1945, dilanjutkan tanggal berikutnya, ada dua pasal krusial dan menimbulkan perdebatan panas antara kelompok nasionalis sekuler dan nasionalis Islami.

 

 
Penolakan Sukarno dan kalangan nasionalis sekuler mengecewakan para tokoh Islam, termasuk Abdul Kahar Muzakir dan Ki Bagus.
 
 

 

Dua pasal itu ialah Pasal 4 ayat 2 tentang Presiden dan Pasal 28 tentang Agama. Sejalan dengan Piagam Jakarta yang sudah menjadi kesepakatan politik, kelompok Islami cenderung menegaskan hanya orang Islam yang harus menjadi presiden dan wakil presiden.

Selain itu, hanya Islamlah yang menjadi agama negara dengan tetap memberikan jaminan kemerdekaan bagi orang-orang yang beragama lain untuk beribadah sesuai ajaran agama masing-masing. Kelompok nasionalis sekuler menolak pandangan ini.

Sukarno, misalnya, berargumentasi, pandangan kalangan nasionalis Islami ini akan merusak perdamaian dan menimbulkan pertentangan keras dalam kehidupan berbangsa. Ki Bagus sangat intens terlibat dalam perdebatan konstitusional ini.

Penolakan Sukarno dan kalangan nasionalis sekuler mengecewakan para tokoh Islam, termasuk Abdul Kahar Muzakir dan Ki Bagus. Kekecewaan Ki Bagus karena Sukarno dan tokoh nasionalis sekuler dinilai tak konsisten atas kesepakatan tentang Piagam Jakarta.

Jika sejak awal disepakati negara berdasarkan agama, seluruh pasal di UUD haruslah mencerminkan agama. Namun, jika sejak awal disepakati netral, seluruh pasal yang menyebut agama (Islam) harus dicoret.

Memperhatikan kritik tajam Ki Bagus dan tokoh Islami lainnya, Sukarno kembali berpidato pada 16 Juli 1945. Sambil menyebut beberapa kali nama Ki Bagus, Sukarno menegaskan, Piagam Jakarta harus dipertahankan karena sudah disepakati.

Hingga 16 Juli 1945, dua persiapan dasar bagi Indonesia merdeka, yaitu Piagam Jakarta dan UUD 1945 telah diselesaikan. Sangat jelas, peran kuat Ki Bagus (bersama tokoh Islami lainnya) sangat berpengaruh terhadap penetapan UUD 1945.

Namun, pada 18 Agustus 1945, terjadi perubahan yang sangat penting dan Ki Bagus kembali menjadi satu-satunya tokoh yang sangat menentukan bagi Indonesia yang baru satu hari diproklamasikan kemerdekaannya.

 

 
Selain itu, ia menentukan rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa dan mencegah disintegrasi bangsa.
 
 

 

Ia dihadapkan pada pilihan berat, yaitu menghapus tujuh Corpus Islamicum (atas desakan Indonesia timur) dan integrasi bangsa  terjaga. Atau mempertahankan tujuh Corpus Islamicum, tetapi terjadi disintegrasi, Indonesia timur lepas dari Indonesia.

Dalam waktu kurang dari 15 menit, Ki Bagus membuat keputusan penting, bersedia menghapus tujuh kata Islami dalam Piagam Jakarta demi keutuhan dan persatuan bangsa, dengan syarat ada penambahan Yang Maha Esa setelah Ketuhanan.

Sila pertama ini bermakna ”tauhid” yang tentu lebih fundamental ketimbang “syariat Islam”. Jadi, Ki Bagus memberikan sumbangan politik dan konstitusional besar, yaitu kesediaan menghapus tujuh kata Islami dalam Piagam Jakarta.

Selain itu, ia menentukan rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa dan mencegah disintegrasi bangsa. Ini sekaligus menggambarkan, Ki Bagus nasionalis sejati dan diakui negara dengan ditetapkannya sebagai pahlawan nasional, 70 tahun kemudian sejak 1945. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat