Peneliti dari Professor Nidom Foundation (PNF) melakukan proses pemisahan cairan (ekstraksi) struktur pernafasan (respirasi) kelelawar asal Kepulauan Riau di Surabaya, Jawa Timur, Senin (10/2/2020). Penelitian ini untuk mendapatkan kemungkinan vaksin Covi | ANTARA FOTO

Kabar Utama

Anggaran Covid-19 Ditambah Rp 18 Triliun

Pemerintah menambah anggaran Covid-19 pada dua pos.

 

JAKARTA – Pemerintah menambah anggaran penanganan pandemi Covid-19 hingga Rp 18 triliun dari Rp 677,2 triliun menjadi Rp 695,2 triliun. Penambahan dilakukan terhadap dua pos, yakni pembiayaan korporasi dan bantuan terhadap sektoral kementerian/ lembaga serta pemerintah daerah. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, biaya penanganan pandemi ini diharapkan mampu mengurangi tekanan berat terhadap ekonomi pada kuartal kedua 2020. "Sehingga, kuartal ketiga mulai terjadi pemulihan atau pengurangan tekanan," kata Sri dalam konferensi pers Kinerja APBN Kita, Selasa (16/6).

Anggaran penanganan Covid-19 telah mengalami beberapa kali kali perubahan. Pada Maret 2020, Sri menyebutkan, pemerintah menyiapkan Rp 405,1 triliun untuk penanganan pandemi. Namun, Presiden Joko Widodo menggelar rapat terbatas pada awal Juni, Sri mengumumkan anggaran lebih besar, yakni Rp 677,2 triliun.

Sri membuka kemungkinan tambahan biaya anggaran di kemudian hari. Sebab, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai bendahara negara harus terus mengikuti situasi penyebaran virus dan dampaknya yang terus bergerak. 

Ia mengatakan, Kemenkeu harus berhubungan dengan institusi keuangan, yakni perbankan dan lembaga keuangan dalam melaksanakan program penanganan Covid-19. Utamanya, kata Sri, mengenai program restrukturisasi kredit kepada dunia usaha. "Angka dan kapasitas mereka (lembaga keuangan) kan berbeda-beda. Makanya, angka (penanganan Covid-19) bergerak terus," ujarnya. 

Dalam biaya penanganan Covid-19 terbaru, pos pembiayaan korporasi mendapatkan tambahan anggaran Rp 9 triliun. Semula, pemerintah menganggarkan Rp 44,57 triliun yang kini dinaikkan menjadi Rp 53,57 triliun. 

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan, tambahan tersebut digunakan untuk program kredit modal kerja yang diperuntukkan bagi sektor padat karya. "Insentif atau stimulus ini sedang difinalisasi," tuturnya. 

Febrio menjelaskan, program tersebut secara garis besar bertujuan membantu modal kerja  korporasi dalam bentuk penjaminan. Pemerintah tidak menyalurkan pinjaman secara langsung menggunakan APBN, melainkan membayar imbal jasa penjaminan (IJP). Skema serupa diterapkan pemerintah untuk menjamin kredit modal kerja UMKM dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). 

Tambahan juga diberikan untuk membantu memberikan bantuan kepada pemerintah daerah. Dirjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu Astera Primanto Bhakti menyebutkan, pinjaman daerah yang semula dianggarkan Rp 1 triliun, kini naik menjadi sekitar Rp 5 triliun melalui PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). "Mungkin ada juga yang standby sekitar Rp 5 triliun sampai Rp 10 triliun," ucapnya. 

Pemerintah pun menambahkan anggaran untuk cadangan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang semula Rp 8,7 triliun menjadi Rp 9,1 triliun. Penggunaan DAK yang sebelumnya dihentikan, kini akan diaktifkan kembali, terutama untuk program-program padat karya yang dapat diselesaikan dalam waktu empat sampai lima bulan. 

Prima berharap, penambahan alokasi untuk cadangan DAK dapat membantu meningkatkan ekonomi daerah yang bisa berimbas pada perbaikan kesejahteraan masyarakat sekitar. Hibah terkait pariwisata yang sudah dianggarkan sebesar Rp 3,3 triliun juga diharapkan mampu mencapai tujuan tersebut. 

Selain mendapatkan dukungan dari pemerintah pusat, Prima mengatakan, daerah juga sudah melakukan refocusing dan realokasi APBD untuk penanganan Covid-19. "Sudah ada 537 daerah yang telah realokasi anggaran dengan total Rp 71,7 triliun," katanya. 

Di tengah terus meningkatnya kebutuhan anggaran untuk penanganan Covid-19, pendapatan negara cukup terganggu akibat adanya pandemi. Kondisi ini membuat defisit APBN lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. 

Kemenkeu mencatat, besaran defisit APBN hingga 31 Mei sebesar Rp 179,6 triliun atau 1,10 persen persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit ini masih jauh di bawah perkiraan  pemerintah yang menetapkan defisit anggaran akan berada pada level 6,27 persen terhadap PDB sampai akhir 2020. 

Sri Mulyani mengatakan, terjadi kenaikan defisit 42,8 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Tren tersebut terjadi karena seluruh penerimaan mengalami kontraksi, terutama penerimaan perpajakan. "Mei adalah bulan terberat dibandingkan Maret dan April lalu," ujar dia. 

Sampai akhir Mei, pemerintah berhasil mengumpulkan penerimaan perpajakan Rp 526,2 triliun atau lebih rendah 7,9 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Penyebabnya, penerimaan pajak melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengalami tekanan hingga tumbuh negatif 10,8 persen menjadi Rp 444,6 triliun hingga bulan lalu. 

Di sisi lain, penerimaan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengalami pertumbuhan 12,4 persen. Hingga akhir Mei, nilainya sebesar Rp 81,7 triliun. Hanya saja, Sri mengatakan, komponen bea masuk dan bea keluar harus terus menjadi perhatian mengingat kinerja ekspor dan impor yang sudah menunjukkan perlambatan. 

Sri menyebutkan, pertumbuhan positif pendapatan negara dari bea dan cukai berpotensi mengalami penurunan karena dinamika global yang masih tinggi. "Pertumbuhannya mungkin tidak bertahan sampai akhir tahun," tutur mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut. 

Sementara itu, belanja negara juga mengalami kontraksi 1,4 persen menjadi Rp 843,9 triliun hingga akhir Mei 2020. Refocusing dan realokasi belanja pemerintah yang kini diprioritaskan ke penanganan pandemi Covid-19 menjadi penyebab utamanya. Kebijakan ini mengharuskan pemerintah memangkas belanja barang maupun pegawai yang dinilai tidak prioritas. 

Realisasi rendah

Sri dalam kesempatan tersebut juga menyampaikan, implementasi pemberian stimulus sektor kesehatan masih berada pada level 1,54 persen dari anggaran yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 87,55 triliun. Realisasi masih sangat kecil karena terkendala proses administrasi dan verifikasi yang rigid. 

photo
Sejumlah perawat beristirahat dengan mengenakan alat pelindung diri di Instalasi Gawat Darurat khusus penanganan COVID-19 di RSUD Arifin Achmad, Kota Pekanbaru, Riau, Jumat (5/6). - (FB Anggoro/ANTARA FOTO)

Kendala tersebut dialami untuk pemberian insentif tenaga kesehatan, biaya klaim perawatan pasien hingga proses penanganan kasus di lapangan. "Jadi, ada gap antara realisasi keuangan dengan anggaran yang disediakan maupun pelaksanaannya," kata Sri. 

Sri berharap hambatan tersebut dapat diselesaikan segera, sehingga implementasi stimulus fiskal bisa diakselerasi, baik melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kementerian Kesehatan, maupun pemerintah daerah. 

Catatan lain juga diberikan Sri pada pemberian insentif kepada UMKM yang realisasinya masih 0,06 persen dari target anggaran Rp 123,46 triliun. Sri menjelaskan, pemerintah masih harus menyelesaikan regulasi, data, maupun infrastruktur IT untuk mendukung operasionalisasi. 

Sri meminta kepada kepada seluruh tim, terutama terkait UMKM, untuk dapat mengakselerasi pemberian stimulus fiskal ke UMKM. Di antaranya Pegadaian dan PT Permodalan Nasional Madani (PMN) di bawah Kementerian BUMN maupun Pusat Investasi Pemerintah (PIP) yang merupakan Badan Layanan Umum (BLU) milik Kemenkeu. 

Pembiayaan korporasi yang sudah ditetapkan sebesar Rp 53,57 triliun pun masih menghadapi tantangan dengan realisasi nol persen. Menurut Sri, pemerintah masih harus menyelesaikan skema dukungan dan regulasi serta infrastruktur pendukung untuk operasionalisasi. "Kita fokus bulan Juni agar seluruh peraturan dan skema dukungan dapat beroperasi untuk membantu dunia usaha," ujar Sri. 

Kendati demikian, realisasi pemberian perlindungan sosial untuk penanganan pandemi telah mencapai 28,63 persen dari total anggaran sebesar Rp 203,9 triliun.  Beberapa program bantuan sosial dinilai berjalan cukup optimal, terutama bantuan dalam bentuk sembako, Program Keluarga Harapan (PKH) dan bantuan sosial tunai. "Tentu masih ada inklusi, eksklusi eror, dan ini harus diperbaiki terus," ujar Sri. 

Ia mengakui ada beberapa bentuk  perlindungan sosial yang perlu diperbaiki, antara lain program kartu prakerja dan BLT dana desa. Sementara itu, realisasi insentif dunia usaha mencapai 6,8 persen dari total anggaran Rp 120,61 triliun. Sri mencatat, masih ada beberapa wajib pajak yang sebenarnya memenuhi syarat untuk mendapatkan insentif, namun belum atau tidak mengajukan permohonan insentif. "Kita akan sosialisasi lebih luas agar dunia usaha paham ada fasilitas pemerintah untuk meringankan beban pajak," katanya. 

Stimulus terakhir, bantuan kepada sektoral dan pemerintah daerah, telah terealisasi 3,65 persen dari total anggaran Rp 106,11 triliun. Sri mengatakan, pihaknya terus melakukan komunikasi dengan pemerintah daerah agar menyelesaikan regulasi maupun kementerian/ lembaga dalam mengintensifkan program padat karya. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat