Prof Herawati Sudoyo peneliti vaksin Covid-19 | Dok Pribadi

Wawasan

Kabar Baik dari Penelitian Vaksin Covid-19

Pemerintah menempuh dua jalur untuk mendapatkan vaksin Covid-19.

Oleh Prof Herawati Sudoyo, Peneliti vaksin Covid-19 Lembaga Eijkman

Pemerintah menempuh dua jalur untuk mendapatkan vaksin Covid-19. Pertama, penelitian dan upaya produksi mandiri dan kedua, pembelian vaksin dari negara yang sudah bisa memproduksi vaksin. Meskipun, sampai hari ini, belum ada satupun negara yang sudah memproduksi massal vaksin untuk virus korona dari Wuhan, Cina, ini.

Di dalam negeri, kabar baik justru datang dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman yang ditunjuk pemerintah melakukan penelitian untuk membuat antigen Covid-19. Peneliti vaksin Covid dari Eijkman, Prof Herawati Sudoyo, mengaku, jika sesuai jadwal, Indonesia bisa memproduksi massal vaksin Covid-19 pada Februari 2021. Wartawan Republika Febryan A berkesempatan berbincang dengan  peneliti vaksin Covid-19 Lembaga Eijkman Prof Herawati Sudoyo soal proses pengembangan vaksin ini. Berikut petikannya:

Bagaimana perkembangan terkini penelitian vaksin Covid-19?

Kalau mau bicara mengenai vaksin, kita harus bicara dunia dulu. Sekarang, pertanyaannya, di mana letak Indonesia dalam pengembangan vaksin. Dunia itu sudah ada 10 kandidat vaksin pada tahap evaluasi klinis. Lalu, sudah ada tiga yang masuk uji klinik fase 2, yakni uji klinis yang sudah agak banyak orangnya. Di samping 10 itu, ada 121 kandidat masih fase penelitian. Platformnya macam-macam. Maksud platform itu adalah strategi pengembangannya. Kalau seluruh dunia membutuhkan vaksin, mampukah satu perusahaan membuat vaksin disebarkan di seluruh dunia. Kita tentu tahu, masing-masing negara akan memikirkan bangsanya sendiri. Makanya, kita, Indonesia, memutuskan juga harus tetap bikin vaksin.

Berapa lama waktu vaksin bisa diproduksi massal?

Vaksin itu membutuhkan waktu yang lama sekali sampai kita mendapatkan yang cocok. Misalnya, dengue itu 30 tahun juga belum berhasil. Jadi, kalau yang tradisional lama sekali. Sedangkan, hepatitis B cepat dia. Jadi masing-masing itu beda. Karena kita ini sekarang dalam masa percepatan, yakni masa yang tidak menurut standar yang sudah biasa dilakukan untuk vaksin. Jadi, kita harapkan Covid-19 ini walaupun kita belum terlalu mengenal, kita harapkan jangan terlalu kompleks. Kita pakai percepatan dalam pengembangannya.

 
Vaksin itu membutuhkan waktu yang lama sekali sampai kita mendapatkan yang cocok. Misalnya, dengue itu 30 tahun juga belum berhasil. Jadi, kalau yang tradisional lama sekali.
 
 

Seperti apa proses pembuatannya?

Lembaga Eijkman sendiri, kita tahap pertama merunut genom dari virus. Gunanya untuk melihat gen-gen yang produknya memang akan kita pakai. Kita bisa saja pakai data yang sudah ada di dunia ini mengenai virus SARS-CoV-2 yang diisolasi dari mana pun di dunia. Itu sudah ada. Kelihatannya tidak terlalu berbeda antara satu dan lainnya. Tapi, kita tetap teliti terlebih dahulu. Apakah memang yang di Indonesia sama atau tidak. Kedua, isolasi dan amplifikasi gen yang kita harapkan. Setelah sudah diperbanyak gen yang kita mau, kita kloning gennya.

Ketiga, tahap kloning. Sekarang kita tahap kloning dan itu sesuai dengan target. Bulan Mei kita memang kloning. Bulan Juni sampai Oktober kita mencoba menghasilkan antigen. Keempat, antigen atau kandidat vaksin itu diuji coba di laboratorium. Itu biasanya di hewan dulu sebelum ke manusia. Setelah itu, baru uji klinis. Itu bukan di tingkat kita lagi. Itu diberikan kepada farma biasanya. Dalam hal ini Eijkman bekerja sama dengan Bio Farma. Kandidat vaksin itu diberikan kepada mereka, lalu merekalah yang menguji dan skala produksi. Kita harapkan ini bisa berlangsung Februari 2021.

Berapa kisaran harga vaksin nanti?

Kita harapkan 1 dolar AS (setara Rp 14.100) harganya, seperti yang lain. Bio Farma juga maunya begitu. Sekarang kan sedang mencari dana supaya diberikan kepada masyarakat. Ini kan bukan swasta, kalau dikembangkan swasta harganya ya pasti berbeda.

Apa kendala dalam pengembangan vaksin ini?

Kendalanya, saya kira adalah waktu. Berpacu dengan waktu karena kegiatannya juga diagnostik. Kenapa kita, menurut saya, terlambat karena kita konsentrasi dulu untuk percepatan diagnostik (ketika awal-awal Covid-19 masuk di Indonesia). Baru setelah itu kita baru bisa memikirkan vaksin ini karena laboratoriumnya pun kita harus tunggu untuk digunakan. Anggaran dari pemerintah sekitar Rp 5,3 miliar. Dana itu untuk digunakan mulai dari penelitian awal hingga ditemukan kandidat vaksin yang telah diuji klinis ke hewan.

 
Kita harapkan 1 dolar AS (setara Rp 14.100) harganya, seperti yang lain. Bio Farma juga maunya begitu. Sekarang kan sedang mencari dana supaya diberikan kepada masyarakat. 
 
 

Bagaimana nasib penelitian vaksin di Eijkman jika pemerintah memutuskan membeli dari negara lain?

Justru kita akan melakukan uji klinis dari Sinovac. Nama vaksinnya itu Sinovac dari Cina. Kita tidak akan menghentikan vaksin karena tidak mungkin perusahaan itu membuat beratus juta vaksin. Kita tetap saja terus dengan vaksin kita. Tidak masalah. Jadi, vaksin kita bisa diutamakan buat rakyat Indonesia. Kita harus mandiri juga.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat