Oni Sahroni | Daan Yahya | Republika

Konsultasi Syariah

Pembatalan Sepihak karena Pandemi

Pelaku bisnis tidak boleh membatalkan perjanjian kecuali dengan persetujuan mitra.

DIASUH OLEH DR ONI SAHRONI, Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

 
Assalamualaikum wr wb. Misalkan sudah ada kesepakatan dengan konsumen, tetapi kita mau membatalkan kesepakatan tersebut karena harga modal lebih tinggi daripada harga jual (dari supplier ada kenaikan harga karena pandemi). Bagaimana jika kita membatalkan kesepakatan tersebut? Jika tidak dibatalkan, sebagai penjual pasti akan rugi. Mohon penjelasan Ustaz.
Fahmi, Depok
 

 

Waalaikumussalam wr wb.

Para pelaku bisnis, baik jual beli ataupun bagi hasil, tidak boleh membatalkan perjanjian kecuali dengan persetujuan mitra atau pihak lain. Pada saat transaksi dibatalkan, maka hak masing-masing itu dikembalikan.

Apabila ada kerugian akibat pembatalan tersebut, maka pihak yang melakukan dan mengakibatkan kerugian itu harus mengganti sebesar real cost. Kesimpulan tersebut bisa dijelaskan dalam poin-poin berikut ini.

Pertama, pada prinsipnya, para pelaku bisnis baik jual beli ataupun bagi hasil itu tidak boleh membatalkan perjanjian kecuali dengan persetujuan mitra atau pihak lain. Karena jual beli itu akad lazim (mengikat), di mana salah satu pihak tidak boleh membatalkan perjanjian kecuali dengan persetujuan pihak lain.

Begitu pula dengan bagi hasil, walaupun akadnya jaiz (pihak lain boleh membatalkan secara sepihak), jika terdapat klausul dalam perjanjian yang tidak membolehkan untuk membatalkan akad maka kontrak yang bersifat jaiz tersebut menjadi lazim.

Kedua, pandemi Covid-19 ini adalah kejadian khusus (di luar keinginan para pihak). Jika salah satu pihak melakukan pembatalan perjanjian atau me-review harga/biaya karena alasan pandemi Covid-19 ini, maka dikategorikan alasan yang sah (uzur syar'i) dan bukan wanprestasi. Dengan catatan, ada bukti bahwa pembatalan itu dilakukan bukan karena dibuat-buat (moral hazard).

Dalam fikih muamalah, wanprestasi diterjemahkan dengan ta'addi, taqshir, dan mukhalafat al-syuruth, sebagaimana fatwa DSN MUI yang mendefinisikannya: (a) ta'addi yaitu melakukan sesuatu yang tidak boleh/tidak semestinya dilakukan; (b) taqshir yaitu tidak melakukan sesuatu yang boleh/semestinya dilakukan; atau (c) mukhalafat al-syuruth yaitu melanggar ketentuan yang disepakati pihak-pihak yang berakad. (Fatwa DSN MUI Nomor 92/DSN-MUI/IV/2014 tentang Pembiayaan yang Disertai Rahn).

Ketiga, jika akad ijarah itu difasakh (berakhir) maka penyewa membayar biaya sewa sebesar manfaat yang telah diterimanya dan tidak wajib menutupi sisa angsuran sewanya (al-Mi'yar asy- Syar'i nomor 43 tentang ijarah, dan ad-Dalil lil Ijarah, Dallah al-Baraka, 20).

Jika transaksi mudharabah berakhir karena pembatalan, maka: (1) jika modal masih tersedia maka menjadi utang pengelola yang harus dibayarkan kepada pemilik modal. (2) Jika seluruh modalnya habis maka berlaku qiradh al-mitsl; modal yang tersisa harus dibayarkan kepada pemilik modal. Atau, (3) diperlakukan seperti akad ijarah; pemilik modal mendapatkan total modal yang diberikan kepada pengelola, sedangkan pengelola mendapatkan upah (ajr al-mitsl) atas jasanya dalam mengelola usaha (Ibnu Rusyd, Bidayah, 569).

As-Sarkhasi menjelaskan: "Jika mudharabah fasid (rusak) itu menjadi akad ijarahyang fasid, maka pengelola mendapat upah sejenisnya." (As-Sarkhashi, al-Mabsuth, 22/29).

Keempat, jika ada pembatalan maka transaksinya menjadi batal (bubar/infisakh) sehingga seperti tidak ada akad yang mengikat kedua belah pihak. Pada saat transaksi dibatalkan, maka hak masing-masing itu dikembalikan. Dan apabila ada kerugian akibat pembatalan tersebut maka pihak yang melakukan dan mengakibatkan kerugian itu harus mengganti sebesar real cost merujuk kepada Fatwa DSN MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi (Ta'widh).

Selanjutnya, beberapa konsekuensi akad seperti barang yang masih dalam tahap pengiriman dan uang yang sudah ditransfer itu harus dihitung ulang dan diberikan ganti rugi jika ada sehingga semaksimal mungkin para pihak itu tidak terzalimi (diperlakukan secara adil). Wallahu a'lam.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat