Sejumlah santri mengenakan masker dan menerapkan jaga jarak fisik saat mengikuti pelajaran tafsir Al-Quran di pondok pesantren (ponpes) Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Wali Barokah, di Kota Kediri, Jawa Timur, Selasa (9/6/2020). Ponpes yang memiliki | Prasetia Fauzani/ANTARA FOTO

Kabar Utama

Wali Santri Khawatirkan Pembukaan Pesantren

Sebagian santri juga meminta jaminan protokol kesehatan dari pesantren.

 

MALANG -- Pemerintah menjadwalkan pembahasan relaksasi di pondok pesantren terkait penerapan tatanan kenormalan baru (new normal) hari ini. Sejumlah orang tua santri menuturkan kepada Republika bahwa mereka sedianya masih khawatir dengan rencana tersebut.

"Ya, khawatir karena enggak dapat penjelasan standar protokol kesehatan mereka (ponpes) seperti apa," kata orang tua dari salah satu santri pondok pesantren di Jawa Timur, Andi, kepada Republika, Selasa (9/6). 

Sejauh ini, Andi hanya mengetahui bahwa ponpes telah menambah kamar mandi demi mencegah penyebaran Covid-19. Ponpes juga sudah menyediakan rumah isolasi bagi santri dari luar Pulau Jawa. Sementara, santri di Pulau Jawa hanya diminta isolasi mandiri di rumah sebelum berangkat ke ponpes.

Selanjutnya, para santri diminta mandi dan mengganti baju ketika tiba di ponpes. Persyaratan berikutnya, santri diharapkan menyediakan surat keterangan sehat dari instansi terkait. Rerupa protokol itu belum bisa mengenyahkan kekhawatirannya. “Satu kamar bisa sampai 20 sampai 30 anak. Ngeri, belum lagi protokol kamar mandi," ucap Andi.

Kerisauan serupa dirasakan Desi Natalia (41 tahun). “Kalo bisa jangan sekarang ini, ya. Nanti aja kalau angka positif koronanya sudah menurun. Biarpun pihak pesantren sudah menerapkan protokol kesehatan, tetap susah dari orang tua buat ngawasinnya,” katanya.

 
Satu kamar bisa sampai 20 sampai 30 anak. Ngeri, belum lagi protokol kamar mandi.
 
 

Wali santri lainnya, Ahmad Sanusi, mengatakan, akan patuh dengan kebijakan pemerintah jika jadwal pembukaan ponpes telah ditetapkan. "Kalau misalnya protokol dan peraturan ini diputuskan lebih cepat, saya siap kirim anak saya kembali karena ini peraturan. Tapi, tergantung kesiapan ponpes juga. Kalau ternyata kondisinya belum memadai, saya akan dipertimbangkan lagi," ujar Sanusi kepada Republika, Selasa (9/6).

Sanusi menyarankan agar jadwal masuk kembali para santri dilakukan pada tahun ajaran baru. "Selama pendemi ini, mereka (santri) kan sudah belajar online, ujian juga online, lalu sudah dekat pembagian rapor juga. Jadi, akan lebih baik jika jadwal masuk kembali saat tahun ajaran baru saja," kata pria 54 tahun itu.  Pemerintah sebelumnya memutuskan tahun ajaran baru kali ini akan dimulai pertengahan Juli nanti.

Sementara itu, orang tua santri lainnya, Neneng Kamelia (44 tahun), memilih memantau selama dua pekan ke depan berharap kondisi membaik diikuti menunggu kabar lebih lanjut dari pihak pesantren. “Perlu juga ada sosialisasi. Biar tahu orang tua persiapan pesantren kayak apa saja,” katanya.

Dari kalangan santri, Fina Afifah (16 tahun), mengatakan, ia sangat rindu teman-temannya. Namun, ia menilai ponpes dalam zona merah sebaiknya jangan dibuka. “Apalagi, santri-santri juga dari mana-mana dan kita kesehariannya bareng temen-temen. Ditambah ustazah masih ada yang keluar-masuk ponpes,” ujarnya pada Selasa (9/6). Ia melanjutkan, jika hendak dibuka, pihak pesantren harus bisa meyakinkan orang tua santri karena banyak yang pro dan kontra.  

Santri lain dari ponpes di Balaraja, Adam Syah (17 tahun), juga masih gamang soal pembukaan pesantren. “Setuju enggak setuju sih. Enggak setujunya ya pesantren kan ramai. Semua aktivitas kita barengan. Bahkan, di kamar aja bisa sampai 11 orang. Jadi, risikonya besar,” ujarnya. 

Namun, ia juga menghendaki proses pembelajaran segera dilanjutkan. Menurut Adam, pembelajaran via daring tidak efisien. Ponpes tempatnya belajar, kata dia, telah mengabarkan terkait pembukaan ponpes kembali sejak tiga hari lalu. Nantinya ada sejumlah protokol kesehatan ketat, seperti giliran masuk santri, isolasi, dan penjagaan kesehatan.

Seorang santri pondok pesantren di Kudus, Jawa tengah, Hashim Umar Sahid (18 tahun), mengatakan, ia sudah di rumah sejak tiga bulan lalu saat pandemi Covid-19 mulai merebak. Biasanya, paling lama ia pulang sekitar dua minggu dalam setahun. 

"Saya bosan di rumah terus, rindu ngaji, Pak Kiai, kegiatan padat, sekolah, dan teman-teman di pesantren. Semoga aturan (untuk pesantren) segera ada dan korona cepat berlalu biar saya bisa lekas balik ke pesantren lagi," katanya kepada Republika, Selasa (9/6). 

Hashim melanjutkan, sejauh ini ia masih dilarang balik ke pesantren. Hal ini dikarenakan tempat tinggalnya berada di zona terdampak Covid-19, yakni Indramayu, Jawa Barat. Pesantren menerapkan kebijakan melarang santri yang berasal dari daerah terdampak Covid-19 untuk masuk pesantren. "Yang dari Jawa Barat sama Jawa Timur belum boleh datang," ujarnya. 

photo
Sejumlah santri menjaga jarak saat Shalat Dzuhur di Pondok Pesantren Nurul Hidayah Al Mubarokah, Andong, Boyolali, Jawa Tengah, Senin (8/6). Menurut pengurus pondok pesantren tersebut kembalinya para santri akan dilakukan secara bertahap serta mempersiapkan asrama para santri sesuai dengan protokol kesehatan sebagai antisipasi penyebaran Covid-19 saat para santri dari berbagai daerah berdatangan - (Aloysius Jarot Nugroho/ANTARA FOTO)

Sebelumnya, Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin menyatakan, pemerintah akan membicarakan rencana pembukaan pesantren dan protokol kesehatannya pada Rabu (10/6). KH Ma’ruf mengatakan, salah satu protokolnya para santri harus menjalani pemeriksaan tes PCR sebelum masuk kembali ke pesantren. Selain itu, dipertimbangkan juga aturan yang membatasi keluar-masuk ke pesantren demi mencegah masuknya virus Covid-19. Pihak Kementerian Agama (Kemenag) juga menyatakan telah menerima masukan dari pesantren, tokoh masyarakat, dan kementerian/lembaga soal rencana itu.

Lain ponpes lain protokol

Sejumlah pesantren menyatakan siap membuka kembali pembelajaran dan menerima kehadiran para santri. Beberapa pesantren memiliki protokol berbeda-beda menyikapi tatanan kenormalan baru pandemi Covid-19.

Ponpes Edi Mancoro, Gedangan, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang, misalnya, mulai Senin (8/6), telah menerima kembali 25 orang santri yang pulang ke pondok untuk tahap pertama. “Kami memang meminta kepulangan santri ke pondok dilakukan secara bertahap, tidak bersamaan,” ujar Pengasuh Ponpes Edi Mancoro, KH Muhammad Hanif, Selasa (9/6).  

Ia juga menjelaskan, pada masa libur Lebaran dan masa pembatasan sosial, sebanyak 300 dari 330 santri Ponpes Edi Mancoro pulang ke rumah atau daerah asal masing-masing. Hanya ada 30-an santri yang tidak pulang dan tetap tinggal di pondok.

Secara normatif, lanjut Gus Hanif, sapaan akrab KH Muhammad Hanif, ada beberapa prosedur yang diterapkan oleh para pengurus Ponpes Edi Mancoro. Misalnya, santri yang ingin kembali ke pondok harus membawa surat keterangan sehat yang dikeluarkan oleh puskesmas atau dokter yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan surat tersebut.

Selain itu, juga ada kewajiban santri diantar dari rumah menuju pondok oleh keluarganya langsung menggunakan kendaraan pribadi. “Jadi kepulangan para santri ke pondok tidak menggunakan angkutan umum,” ujarnya.  

Penerapan protokol kesehatan standar pencegahan Covid-19 juga diterapkan. Bagi para santri yang baru datang dari luar Kabupaten Semarang juga telah disiapkan delapan kamar khusus untuk isolasi mandiri, yang dapat dihuni selama 10 hingga 14 hari.

 “Khusus mereka yang dari luar Jawa Tengah, memang belum boleh kembali ke pondok dulu, terlebih jika yang bersangkutan dari luar Jawa. Karena pasti akan menggunakan transportasi umum,” katanya.

Ponpes Miftahus Sa'adah di Kudus, Jawa Tengah, sudah buka sejak 1 Juni  lalu. Namun, menurut Arwani Habibul Umam, pengawas kebijakan pencegahan Covid-19 Ponpes Miftahus Sa'adah, sementara ini hanya santri yang berasal dari Kudus, Pati, dan Jepara yang diperbolehkan datang. 

Kedatangan mereka pun bergelombang. Wali santri yang mengantar juga dibatasi hanya dua orang dan diperintahkan untuk segera pulang 30 menit kemudian. Untuk memfasilitasi santri agar tidak keluar lingkungan pesantren, pihak pesantren membuka toko pusat perlengkapan santri. 

Arwani berharap, kebijakan pemerintah untuk membuka pesantren benar-benar nyata. Artinya, pemerintah harus memperhatikan kondisi pesantren yang beragam. "Kalau aturan hanya tertera di kertas akibat tidak sesuai kondisi yang ada kan jadinya percuma," katanya.

photo
Tiga santri mengenakan masker menuruni tangga di gedung utama pondok pesantren (ponpes) Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Wali Barokah, di Kota Kediri, Jawa Timur, Selasa (9/6). Ponpes yang memiliki sedikitnya tiga ribu santri tersebut menerapkan protokol kesehatan secara ketat seiring diberlakukannya normal baru saat pandemi Covid-19 - (Prasetia Fauzani/ANTARA FOTO)

Sementara itu, Ponpes Yatim Piatu As Syafi'iyah Jatiwaringin, Bekasi, saat ini masih dalam masa persiapan. "Pemerintah pusat memang sudah mulai mengizinkan bila ponpes kembali beraktivitas. Kami sendiri sedang dalam tahap persiapan, jadi belum langsung dibuka," kata Ketua Yayasan As Syafi'iyah, Syifa Fauziah, saat dihubungi Republika, Selasa (9/6).

Karena lokasi pondok pesantren yang lebih condong dekat dengan DKI Jakarta, beliau mengatakan, pihaknya juga menunggu keputusan dari Gubernur DKI Anies Baswedan. "Kalau dari gubernur sudah menetapkan boleh untuk dibuka kembali, baru kami kembali buka. Tapi, kami juga memikirkan anak-anak yang berasal dari berbagai daerah," ujar dia.

Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) al-Manshur Darunnajah Cabang 3 Banten, Busthomi Ibrohim mengatakan, lingkungan pesantren nanti akan disesuaikan dengan protokol kesehatan. Di kelas, para santri akan menerapkan penjarakan fisik. Di masjid juga sudah diberikan tanda agar tidak saling berdekatan. Kemudian ruangan tidur juga akan dibatasi. "Dari keputusan sebagaimana tujuh kementerian, kami sambut dengan sangat senang. Insyaallah akan kita laksanakan di pondok kami," kata Busthomi, Selasa (9/6).

Berdasarkan survei yang dilakukan Ponpes Darunnajah, lebih dari 50 persen para wali murid menginginkan anaknya untuk kembali ke pesantren. Kegiatan belajar akan dimulai pada 13 Juni secara daring. Kemudian belajar secara langsung di ponpes akan dimulai pada awal Juli. 

Para santri yang ingin masuk kembali ke ponpes juga diminta untuk mengisolasi diri selama dua pekan di rumahnya. Di samping itu, para santri harus melampirkan keterangan kesehatan dan perjanjian antara ponpes dan wali murid.

Hal tersebut agar nantinya, tidak akan jadi permasalahan ketika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan selama di ponpes. Santri yang berasal dari luar Banten tidak akan langsung berkumpul dengan temannya. Mereka akan dipisahkan dari teman lainnya di wisma yang masih berada di lingkungan pesantren. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat