Kisah Mancanegara
Muslim Brooklyn Beraksi di Tengah Pandemi
Muslim Brooklyn berpuasa siang hari, shalat, lalu menggunakan energi untuk bersedekah melalui makanan.
OLEH YEYEN ROSTIYANI
NEW YORK -- Muslim Brooklyn, New York, Amerika Serikat (AS) memiliki misi semasa Ramadhan di tengah pandemi Covid-19. Misi itu adalah memberi makan bagi mereka yang kelaparan di Manhattan setiap malam Ramadhan.
"Saat kami memberi makan mereka, berarti pada saat bersamaan kami juga memberi makan pada jiwa kami," kata Mohammed Bahe, direktur Muslim Community Center di Bay Ridge.
Mereka berpuasa pada siang hari, shalat, lalu menggunakan setiap energi yang ada untuk bersedekah melalui makanan. Bahkan, makanan itu bukan hanya untuk Muslim. Sepanjang Ramadhan ini mereka membuat markas baru di Herald Square, Manhattan, New York. Di sanalah setiap malam mereka mengulurkan makanan kepada sekitar 200 orang.
Biasanya, selama Ramadhan, masjid di New York adalah sumber kegiatan mereka setiap malam. Sekurangnya ada 100 orang yang membersihkan masjid, lalu menyingkirkan meja. Kaum pria biasanya membaca Alquran lalu minum kopi, sedangkan anak-anak berlarian ke sana kemari.
Namun, tahun ini semuanya berbeda. Di tengah pandemi Covid-19, acara kumpul-kumpul dilarang karena berisiko bagi kesehatan. Bahe pun mengungkapkan perasaannya mengenai Ramadhan kali ini. "Masjid terasa kosong dan kurangnya rasa kebersamaan dan berjamaah membuat saya sedih," katanya.
Maka itu, Muslims Giving Back, yaitu gerakan di Muslim Community Center, melipatgandakan upaya mereka dalam memberikan sedekah makanan. Sejak 2014, proyek Need2Feed biasa membawa makanan ke Herald Square dua kali dalam sepekan. Namun, di tengah pandemi virus saat Ramadhan ini, mereka memutuskan untuk melakukannya setiap malam.
"Jika kita ingin peluang terbuka, berbuat baiklah," kata Mohammed Widdi, koordinator Muslims Giving Back. "Setiap saat saya bersedekah waktu, Allah akan memberi saya berkah yang lain. Itu keyakinan diri kami."
Setiap saat saya bersedekah waktu, Allah akan memberi saya berkah yang lain. Itu keyakinan diri kami.MOHAMMED WIDDI, koordinator Muslim Giving Back
Dalam keseharian, mereka sahur sebelum pukul 05.00 waktu setempat. Sekitar pukul 09.00, sumbangan akan berdatangan. Mereka kemudian membelikan makanan dan barang kebutuhan lain.
Tak hanya membagikan makan matang, mereka juga terkadang memberikan kebutuhan sehari-hari untuk orang yang membutuhkan atau sakit. Sebagian besar penerima bantuan biasanya warga Muslim sekitar yang amat membutuhkannya.
Sumbangan dalam bentuk makanan datang dari para pendonor, seperti Hamza Deib (28 tahun), pemilik Taheni Mediterranean Grill. Makanan halal yang ia sumbangkan sama dengan makanan yang ia sajikan di restorannya. Salah satu malam, misalnya, ia membawa nasi, ayam, sayuran, dan falafel untuk vegetarian.
Para relawan akan kembali ke masjid untuk mengemas dan membagi-bagi makanan dalam kotak. Mereka tentu saja tetap berpuasa.
"Ini benar-benar membuat saya berpikir tentang semua orang yang harus menahan lapar dan haus karena mereka tak mampu," kata Dania Darwish (27 tahun), direktur Asiyah Women's Center yang juga seorang relawan.
Langkah berikutnya, mereka kemudian shalat dan menanti datangnya magrib untuk berbuka. Setelah shalat Magrib, mereka mulai berkendara sekitar setengah jam menuju Manhattan, tempat orang-orang dengan perut kosong mengantre.
Para relawan ini merayakan bulan suci Ramadhan, dengan menjadikan keyakinan mereka diwujudkan dalam aksi nyata. Saat jalanan gelap karena pembatasan aktivitas, para 'New Yorker' ini membantu 'New Yorker' lain. Mereka memakai rompi dengan tulisan One creator. One planet. One family atau "Satu Pencipta. Satu Planet. Satu Keluarga."
Para penerima sedekah itu disambut hangat satu per satu. "Terima kasih sudah datang," kata para relawan.
"Ini sungguh mengagumkan, seperti dunia dan seisinya," kata Jose Ruiz (58), yang menjadi tunawisma sejak dua tahun lalu. Sebagai penganut agama lain, ia tidak terlalu paham soal Ramadhan. Yang penting, menurut dia, para relawan ini melakukan aksi sosial ini dari hati.
Biasanya, pembagian makanan akan berakhir tengah malam. Jika hujan, prosesnya tentu akan lebih panjang. Justru para relawan yang mendatangi dan mencari para tunawisma di Penn Station. Setelah itu, mereka akan bubar dan pulang kembali ke Bay Ridge.
Satu di antara relawan, yakni Hamza Deib. Dia harus berkendara lama menuju rumahnya di Islip, Long Island. Namun, menurut dia, semua itu bermanfaat. Awalnya, ia merasa cemas karena tak tahu cara membuat Ramadhannya tetap istimewa di tengah pandemi. Pada akhirnya, ia bersyukur mendapatkan jalan.
"Dengan berkah di balik perbuatan ini, Ramadhan jadi lebih bermakna buat saya, bahkan dibandingkan Ramadhan mana pun dalam hidup saya," katanya.
Tsunami kebencian
Saat ini, secara global ada lebih dari 3,9 juta kasus Covid-19 dan lebih dari 269 ribu orang meninggal dunia. Di AS saja, ada lebih dari 1,25 juta kasus dan lebih dari 75 ribu orang meninggal. New York adalah salah satu titik panas kasus Covid-19 di AS.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyerukan upaya maksimal untuk mengakhiri "tsunami kebencian dan xenofobia". Namun, Guterres tidak menyebutkan nama negara mana pun.
"Sentimen antiasing telah meningkat secara daring dan di jalanan," kata Guterres di New York. "Teori konspirasi anti-Semit telah menyebar dan serangan anti-Muslim terkait Covid-19 juga telah muncul," katanya yang dikutip Aljazirah, Jumat (8/5).
Kasus Covid-19 pertama kali berkembang di Wuhan, Cina. Pandemi ini semakin ricuh dengan memanasnya perang kata-kata antara AS dan Cina. AS menuding virus korona berasal dari laboratorium di Cina. Namun, hal ini ditampik keras oleh Cina.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.