Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Kata yang Menjelma Doa

Bahkan luapan amarah yang tak sunguh-sungguh, pun mampu menjadi doa.

Oleh ASMA NADIA

Oleh ASMA NADIA

 

 

Ada ungkapan menarik yang disampaikan Ustadz Bendri Jaisyurrahman dalam pengajian online yang digelar Kajian Musyawarah melalui aplikasi zoom. Di awal kajian sang ustadz mengatakan barangkali apa yang terjadi saat ini salah satunya merupakan buah dari canda yang beredar dalam keseharian.

“Enak banget kali, ya jika tidak perlu ngantor tapi digaji!”

Celutukan mewakili harapan, yang tidak asing di telinga. Canda ini sekarang seolah terjawab dengan situasi work from home atau bekerja dari rumah.

“Asyik ya, kalau lulus tanpa perlu ada UN!”

Canda lain mewakili keinginan sebagian pelajar. Terwujud kini, UN ditiadakan.

“Mudah-mudahan tahun 2020 nanti, bakal banyak tanggal merahnya.”

Banyak tanggal merah berarti sederet hari-hari libur. Siswa tak perlu bangun pagi untuk berangkat ke sekolah. Para mahasiswa atau mahasiswi bebas dari kegiatan belajar di kampus. Sementara tanggal merah bisa dimanfatkan pekerja untuk menghabiskan waktu bersama keluarga, sesuatu yang biasanya hanya bisa bisa dilakukan di akhir pekan. Tanggal merah itu kini seolah tak berakhir meski sudah lebih dari sebulan.

Kebetulan? Tentu siapa pun bisa berkilah. Namun ucapan, bahkan berupa canda sambil lalu pun, bukan mustahil diaminkan malaikat dan menjelma kenyataan. Meski wujudnya kemudian belum tentu seratus persen sesuai harapan, sebab bisa saja dikabulkan namun dari sudut pandang berbeda.

Cerita-cerita singkat berikut ini, mungkin pernah beredar di dekat kita. Tentang doa-doa yang dikabulkan namun dengan skenario di luar dugaan.

“Tuhan, berikan aku pekerjaan yang cukup hanya berkipas-kipas saja namun bisa dapat uang.”

Detik berikutnya, permintaannya diperkenankan, dan jadilah ia tukang sate.

“Tuhan, aku ingin ongkang-ongkang kaki tetapi tetap dapat uang.”

Keinginannya diterima. Tak lama jadilah dia seorang tukang jahit konvensional.

”Seandainya bisa aku cuma duduk diam dan uang datang sendiri.”

Harapan untuk menjalani hidup gampang, tinggal duduk dan uang menghampiri, ini lalu terjawab. Jadilah sang pemohon seorang penjaga toilet di terminal.

Tetap manusia tak belajar betapa Dia punya banyak sekali cara menjawab keinginan hamba-Nya.

“Tuhan, aku ingin berkuasa dan mampu seenaknya mengatur para pejabat juga orang-orang kaya.”

Doa seseorang di suatu hari. Besoknya ia berhasil menjadi tukang cukur. Tidak ada yang memarahi saat tangannya menyentuh kepala orang-orang penting, menelengkannya ke kiri dan ke kanan, atau mendongakkannya.

“Aku ingin menjadi seorang yang memiliki banyak pengikut. Kemana pun melangkah, followersku selalu mengiringi.” Bisik seseorang penuh harap. Tak lama kemudian dia sudah sibuk sebagai peternak bebek.

Kisah-kisah di atas memang sederhana, namun ada pesan tersirat yang menyindir manusia agar berhati-hati melontarkan keinginan mereka. Cermati apa yang terlempar dari lisan, berhati-hati dengan setiap kata yang kita ucapkan.

Lisan yang sombong dan menantang bisa mendapatkan balasan seketika. Selama wabah Korona, tidak sedikit kepala negara atau kepala pemerintahan, pejabat, dan tokoh masyarakat yang “menelan tulah” atas pernyataannya.

Bahkan luapan amarah yang tak sunguh-sungguh, pun mampu menjadi doa. Sebagaimana kisah seorang ibu dari anak kecil bernama Sudais. Suatu hari sang ibu menyiapkan hidangan untuk menjamu tamu. Sudais kecil yang iseng menuangkan pasir di atas hidangan tersebut.

Melihat ulah putranya, murkalah sang Ibu. Namun rupanya beliau menyadari ucapannya adalah doa. Namun sebagai bagian edukasi, dia tetap perlu menegur dan memarahi Sudais.

“Sudais biar kamu jadi imam di Haramain!”

Itulah ungkapan kemarahan yang dipilih. Sang anak menjadi Imam di dua tanah suci, Mekkah dan Madinah.

Sang Ibu tidak mengatakan,

“Dasar anak tidak tahu diri!”

“Anak nakal tidak bakal jadi apa-apa kamu!”

“Dasar anak tidak tahu berbakti!”

“Ibu sumpahin kamu gede dan jadi gelandangan kalau begini!!”

Atau umum terhadap anak perempuan kadang terdengar omelan sebagai berikut:

“Kalau jorok seperti ini bagaimana mau punya suami?”

Syukurlah, kalimat itu yang dipilih Ibunda Sudais. Ungkapan adalah doa, bahkan dalam kemarahan, apalagi bila itu diungkapkan seorang ibu. Sudais, bocah kelahiran tahun 1960 di ibukota Arab Saudi, Riyadh itu, tumbuh menjadi anak yang cerdas. Beliau hafal Al Quran pada usia 12 tahun dan di usia 24 tahun Sudais telah menjadi imam masjidil haram.

Jaga lisan, cermati apa yang lahir dari padanya, atau mungkin di masa ini termasuk apa yang diketikkan oleh jari dan kita kirimkan melalui aplikasi pesan. Tidak hanya diri sendiri, latih keluarga termasuk pasangan dan anak-anak untuk terbiasa berkata baik dalam setiap keadaan,. Sebab kata-kata sangat mungkin menjelma doa. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat