Siswa mengerjakan tugas didampingi ibunya dirumahnya, di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Selasa (14/4/2020). | Makna Zaezar/ANTARA FOTO

Opini

Kehidupan Ubiquitous

Persis seperti sifat Tuhan, kita bisa mengadukan kebutuhan kepada Tuhan kapan pun dan di mana pun.

Oleh ADE KOMARA MULYANA, Kepala Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim, Badan Informasi Geospasial

 

Anjuran Presiden untuk bekerja, belajar, dan beribadah di rumah, yang kemudian dilanjutkan pelaksanaannya secara lebih ketat melalui kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) memaksa kita untuk bisa memenuhi kebutuhan tanpa meninggalkan rumah.

Hal ini mengingatkan konsep yang dikembangkan Korea Selatan terkait pembangunan smart city (kota cerdas). Di sana, konsep kota cerdas dikembangkan dengan istilah u-city.

Kalau sekarang, kita mengenal dunia e (elektronik), seperti e-KTP, e-tilang, e-voting, dan sebagainya, dunia u ini adalah satu tahap lebih maju daripada dunia e. Konsep u ini diambil dari kata ubiquitous yang merupakan salah satu konsep ketuhanan. 

Ubiquitous adalah bahasa Latin yang artinya ada di mana-mana. Tuhan adalah ubiquitous, yang artinya Tuhan dapat kita temukan di mana-mana, kita bisa berkomunikasi dengan Tuhan di mana pun dan dalam kondisi apa pun.

Ubiquitous city (u-city) adalah kota yang mampu melayani kebutuhan warganya, kapan pun dan di mana pun warga itu membutuhkan.

 
Ubiquitous city (u-city) adalah kota yang mampu melayani kebutuhan warganya, kapan pun dan di mana pun warga itu membutuhkan.
 
 

Berbagai layanan, seperti layanan publik, perlindungan dari kriminalitas, sampai dengan layanan kesehatan, harus disediakan dan bisa diakses dengan mudah oleh warga kota melalui gadget apa pun, kapan pun, dan dari mana pun.

Persis seperti sifat Tuhan, kita bisa mengadukan kebutuhan kepada Tuhan kapan pun dan di mana pun.

Teknologi berbasis lokasi

Di samping kecanggihan infrastruktur teknologi informasi, termasuk infrastruktur keras berupa integrasi berbagai sensor, misalnya CCTV, yang dipasang di sudut seluruh kota, salah satu layanan teknologi yang vital dalam konsep u-city adalah layanan berbasis lokasi.

Ketika seseorang, misalnya terancam dalam bahaya dan dia menekan tombol fitur di gawainya untuk meminta bantuan polisi, maka kantor polisi yang menerima permintaan itu harus bisa menentukan lokasi orang tersebut dengan tepat dan cepat.

Petugas polisi kemudian dikirim dengan dipandu peta digital yang akurat dalam menentukan rute tercepat untuk sampai lokasi. Bahkan layanan berbasis lokasi  (location-based services) itu harus bisa mengidentifikasi lokasi di dalam sebuah gedung (lantai berapa, nomor kamar berapa) agar layanan dapat diberikan secara tepat sasaran dan efisien.

Teknologi penentuan posisi dan pembuatan peta digital yang akurat adalah bagian utama dari teknologi geospasial yang merupakan komponen penting dari pengembangan u-city karena sejatinya, konsep ini fusi konsep spasial dengan informasi teknologi tinggi. 

Kehidupan ubiquitous

Penulis memperluas pengertian konsep ini tidak sebatas u-city, tetapi menjadi ubiquitous living (u-living) atau kehidupan yang ubiquitous.

Kita sekarang ini bisa menikmati makanan yang diinginkan di mana pun lokasi kita, tanpa harus pergi ke restorannya, yakni melalui aplikasi daring. Ini merupakan contoh bahwa kita sebenarnya sudah mulai menjalani sebagian kecil kehidupan ubiquitous.

Membangun kehidupan ubiquitous ini tidak hanya masalah teknologi dan infrastruktur, tetapi juga menuntut perubahan budaya hidup kita.

 
NAMA TOKOHembangun kehidupan ubiquitous ini tidak hanya masalah teknologi dan infrastruktur, tetapi juga menuntut perubahan budaya hidup kita.
 
 

Ketika dengan Covid-19 ini, kita diminta membatasi interaksi langsung dengan orang lain, kita sedang dipaksa masuk ke kehidupan ubiquitous lebih dalam.

Pembatasan sosial ternyata bisa membuat kita berpikir keras agar layanan atau apa pun yang biasa kita berikan secara tatap muka atau face to face, sekarang harus bisa kita lakukan dan diakses pengguna secara daring. Di sisi pengguna, juga kian terbiasa mencari dan menggunakan layanan-layanan daring.

Memang, pada awal-awal ada suasana lain yang muncul karena kita melakukan hal-hal baru seperti melakukan konferensi video, untuk menggantikan rapat di kantor atau pengajian di masjid.

Namun, ketika beraktivitas dari rumah ini sudah kita laksanakan selama lebih dari sebulan ini, lama-lama sebagian dari kita mulai merasakan kebosanan.

Mulai muncul kerinduan untuk bertemu rekan sejawat di kantor, berkomunikasi tatap muka dengan pelanggan kita, antre di fasilitas umum, dan sebagainya. Rupanya kita memang makhluk sosial, apalagi budaya kita di Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan.

Ubiquitous living ketika kita bisa memenuhi kebutuhan di mana saja, kapan saja, melalui sarana apa saja yang kita miliki, tampaknya ideal dan indah. Covid-19 membawa kita untuk mulai memasuki sebagian dari kehidupan itu.

Namun di sisi lain, Covid-19 ini juga membuat kita merasakan bahwa ternyata ubiquitous living bukanlah segalanya. Ada sisi-sisi kehidupan kita sebagai manusia yang kebutuhannya tidak dapat dipenuhi oleh teknologi dan materi semata.

Mungkin, itu juga pelajaran dari konsep ketuhanan kita. Kita memang dapat berkeluh kesah, meminta pertolongan, dan berkomunikasi dengan Tuhan secara ubiquitous di dunia ini. Tetapi tetap kenikmatan terbesar yang didapatkan seorang hamba adalah ketika nanti dapat berjumpa dan menatap wajah-Nya secara langsung di surga kelak. n

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat