Ilustrasi wanita melawan kekerasan. Kasus IPV diprediksi semakin meningkat pada masa pandemi Korona. | Galih Pradipta/Antara

Opini

IPV, Korona, dan Keutuhan Keluarga

Tren kasus IPV atau kekerasan pasangan meningkat di tengah pandemi Korona.

 

Oleh Anisia Kumala Masyhadi

Dosen Fakultas Psikologi UHAMKA, Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah

 

 

Di tengah pandemi korona, masyarakat membatasi aktivitasnya. Pekerjaan yang semula dilakukan di kantor, kini diselesaikan di rumah. Bahkan yang miris, ada yang kehilangan pekerjaannya karena perusahaan mengeklaim harus melaksanakan efisiensi. Akibatnya, stres meningkat dan membuka ruang terjadinya kekerasan di dalam keluarga.

Kekerasan dalam relasi intim atau pasangan disebut intimate partner violence (IPV). Ini merupakan masalah sosial global yang terjadi di hampir seluruh dunia. The World Health Organization (WHO) pada laporan tahunannya tahun 2015 mendefinisikan istilah ini sebagai perilaku yang terjadi antara orang yang terlibat dalam relasi intim yang menyebabkan luka fisik, seksual maupun psikologis. Termasuk di dalamnya adalah tindakan agresi fisik, pemaksaan seksual, pelecehan psikologis dan perilaku mengendalikan. 

Pelaku IPV bisa saja laki-laki. Sedangkan korbannya adalah perempuan. Mungkin juga sebaliknya. Namun, laporan WHO dan juga hampir semua hasil studi menyatakan bahwa korban terbesar dari IPV adalah perempuan. 

Komnas Perempuan tahun 2019 mencatat bahwa angka kekerasan terhadap istri mencapai 53 persen dari total 431.471 kasus. Data ini dilaporkan semakin meningkat pada era pandemik Covid-19, dimana masyarakat lebih sering berada di rumah untuk bekerja, beribadah dan belajar. 

 

 

Sepanjang situasi lockdown ini, beberapa negara sudah melaporkan peningkatan laporan kasus IPV.

 

 

Di India, jumlah pengaduan kekerasan mencapai dua kali lipat dari angka rata-rata. Laporan Komite Parlemen Italia juga menyebutkan jumlah aduan kasus yang sama kepada National Domestic Violence Hotline. Angkanya meningkat hingga 55 persen sepanjang tanggal 8-15 Maret. Jumlah ini lebih banyak bila dibandingkan pada periode yang sama tahun 2019. 

Hotline darurat kekerasan di Spanyol menerima aduan yang bertambah 18 persen pada dua pekan pertama masa karantina Korona dibandingkan dengan bulan sebelumnya sebelum masa pandemi. Sementara Kepolisian Prancis melaporkan lonjakan pengaduan sekitar 30 persen dalam kekerasan domestik. 

Kasus yang sama juga terjadi di Cina, negeri yang menjadi titik awal penyebaran Covid-19. Bahkan di Provinsi Anhui, seorang perempuan yang sudah menjadi korban IPV selama enam tahun harus menerima kekerasan lebih banyak dan lebih sering dari biasanya ketika masa karantina terjadi. Dengan bantuan pengacara, dia membawa perkaranya ke pengadilan. Namun proses persidangan ditunda sampai masa pandemi selesai.  Dalam situasi demikian, korban tetap tinggal satu atap bersama pelaku. Sangat mungkin kekerasan terhadap korban semakin mudah terjadi lagi dan lagi.

Bagaimana dengan di Indonesia? Dari data yang dirilis pemerintah maupun lembaga non-profit, terlihat tren peningkatan yang hampir sama dengan negara lainnya.  

 

Penyebabnya

photo
Seorang wanita pasien korona dinyatakan sembuh. Dia disambut suaminya yang menunggu di sebuah rumah sakit sekitar Tulungagung Jawa Timur. - (Destyan/Antara)
 

IPV bisa disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa di antaranya adalah tekanan ekonomi, pendidikan rendah, dan pengangguran. Ketiganya menjadi faktor prediktif munculnya IPV.  

Faktor risiko lainnya adalah tingkat stres, terutama pada laki-laki. Semakin tinggi tingkat stres, semakin memicu kekerasan terhadap pasangan. Pada riset lain, keyakinan patriarkis dan budaya hegemoni laki-laki pada masyarakat menjadi faktor risiko yang signifikan untuk memunculkan kekerasan terhadap pasangan perempuan. 

Penelitian di beberapa negara dengan budaya laki-laki cenderung dominan terhadap perempuan, kekerasan yang dilaporkan oleh perempuan menunjukkan angka yang relatif tinggi. Penyebabnya adalah kemampuan seseorang dalam kontrol diri yang kurang dan juga minimnya kemampuan komunikasi serta manajemen konflik dalam keluarga atau pasangan.

Pada masa pandemi Korona seperti sekarang ini, hampir semua faktor yang disebutkan di atas menemukan konteksnya untuk teraktualisasi dalam bentuk kekerasan. Tekanan ekonomi akibat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) ditambah dengan kurangnya skill untuk mengendalikan maupun mencari jalan keluar yang konstruktif menjadi salah satu penyebab utama IPV.

Di sisi lain, lockdown membuat pasangan dan keluarga harus menyelesaikan semua masalahnya di dalam rumah. Padahal pada situasi normal mereka bisa mencari pelarian lain di luar rumah yang memungkinkan untuk menghindari konflik berkepanjangan jika belum bisa diselesaikan segera. 

Isolasi sosial ini juga membuat, baik pelaku kekerasan maupun korban, memiliki keterbatasan pilihan dan akses untuk sekadar mendapatkan tempat mengadu di luar rumah. Mereka terpaksa terus berada di dalam rumah yang sedang dipenuhi konflik. Jika tidak terselesaikan, eskalasi konflik bisa semakin meruncing. Tentu saja ini mengancam keutuhan keluarga, mengakibatkan anak menjadi tertekan, terpapar kekerasan, dan merusak watak mereka.

 

 

IPV merupakan masalah sosial yang berdampak fatal, bahkan sampai pada kematian untuk kasus-kasus yang serius. Oleh karenanya, fenomena ini tidak boleh diabaikan, harus menjadi perhatian pemerintah, organisasi massa, dan seluruh warga negara. 

 

   

 

Apa yang harus dilakukan? 

Ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk korban yang berpotensi menjadi korban IPV. Pertama, pemerintah perlu menyediakan pusat layanan sebagai first line yang mudah diakses untuk korban IPV melaporkan kasusnya. Terutama jika sudah terjadi teror pasangan intim (intimate terrorism). 

Pemerintah dapat menggandeng lebih banyak dan lebih intensif para pemangku kepentingan yang sama-sama konsen pada isu ini. Paling tidak bertugas untuk memberikan pertolongan pertama baik secara psikologis maupun fisik.

Kedua, masyarakat harus disadarkan tentang meningkatnya risiko kekerasan selama pandemi ini. Mereka diharapkan  memberikan dukungan kepada korban, dan memiliki informasi tentang di mana bantuan untuk korban tersedia. Para tokoh agama dan masyarakat juga diharapkan perannya untuk selalu bisa mempromosikan nilai-nilai agama yang menganjurkan kebaikan dan melarang kekerasan. 

 

Individu dan keluarga

photo
Seorang ibu sedang membimbing anaknya belajar di rumah (Makna Zaezar/ANTARA FOTO)

Untuk mencegah terjadinya IPV akibat situasi pandemik ini, ada beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai individu maupun keluarga. Sebisa mungkin, kurangi sumber stres.

Pertama, mencari informasi dari sumber yang dapat dipercaya dan mengurangi waktu yang dihabiskan untuk mengonsumsi konten digital yang tidak otoritatif, bernada negatif, dan terutama yang provokatif.

Kedua, mencari dukungan sosial dari keluarga dan teman-teman melalui media sosial maupun media lain secara daring. Orang-orang dekat sangat mudah memberikan inspirasi, sehingga seseorang tergugah untuk bangkit dari keterpurukan.

Ketiga, berusaha mempertahankan rutinitas harian dan meluangkan waktu untuk aktivitas fisik seperti olahraga, tidur cukup dan berkualitas. 

Keempat,  menggunakan latihan relaksasi seperti pernapasan, meditasi, relaksasi otot progresif, dan lainnya untuk meringankan pikiran dan perasaan yang membuat stres. 

Terakhir dan tidak kalah penting, selalu menghidupkan nilai-nilai keagamaan yang mengedepankan nilai-nilai harmonis, solutif, produktif,  serta konstruktif.

Dengan demikian, tak ada ruang untuk tindakan kekerasan. Suami dan istri saling memahami diri masing-masing, melengkapi kekurangan yang ada, dan mengapresiasi segala prestasi yang terukir. Juga menjadi teladan yang menginspirasi anak untuk tumbuh menjadi pribadi yang baik.

Tetangga dan orang-orang sekitar pun merasa nyaman dan tenang. Mereka asyik berkomunikasi dan membangun keakraban. Lingkungan tempat tinggal menjadi harmonis. Selalu membangkitkan motivasi dan kebaikan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat