Pelanggan sedang memesan makanan melalui aplikasi antar makanan secara daring | EPA

Teraju

Mengintip Pasar Jasa Antar Makanan

Seiring meroketnya internet of things, penggunaan aplikasi dan ponsel pintar, sektor pesan antar makanan pun mengalami ekspansi.

Oleh AGUNG P VAZZA

Pandemi virus merebak di hampir seluruh dunia, tak terkecuali di Asia Tenggara. Pemerintahan di banyak negara pun adu cepat dengan waktu, menyiapkan langkah menangani pandemi sekaligus mengantisipasi dampak ekonomi dan sosialnya. Apalagi, sejumlah perkiraan menyebutkan resesi global sudah terlihat di depan mata.

Jaringan pasokan dan permintaan global mendadak anjlok secara bersamaan, mengakibatkan akitivitas ekspor impor pun menurun drastis. Pasar uang dan pasar modal di banyak negara rontok. Hampir semua kegiatan perekonomian terdisrupsi. Tentu saja, bukan hanya itu. Aktivitas keseharian publik pun jadi tergang gu. Publik tiba-tiba 'dipaksa' untuk meng hentikan kegiatan keseharian. Sejumlah perkantoran tutup, kecuali kantor-kantor terkait pelayanan publik dan pasokan bahan pokok.

Meski pasar atau supermarket yang menyediakan kebutuhan pokok publik tetap diizinkan beroperasi, namun pergerakan publik tetap menjadi terbatas lantaran diberlakukannya kebijakan 'di rumah saja'. Situasi dan kondisi ini jelas tidak menguntungkan bagi siapapun. Namun, sadar atau tidak, kondisi tersebut justru mendorong potensi besar sektor jasa atau layanan pesan antar makanan. Setidaknya, di Asia Tenggara.

Malaysia misalnya. Guna mencegah pandemi virus meluas, Malaysia sejak 18 Maret lalu memberlakukan movement control order (MCO). Sampai pekan lalu, The ASEAN Post melansir data Temasek dan Google, pemain-pe main bisnis pesan antar makanan di Malaysia mencatat peningkatan pesanan sampai 30 persen. Kenaikan tersebut cukup mencerminkan lompatan permintaan jasa atau layanan pesan antar makanan di Asia Tenggara.

Sektor usaha jasa atau layanan pesan antar makanan memang bukan hal baru. Hanya saja, seiring dengan meroketnya internet of things, diikuti penggunaan aplikasi dan ponsel pintar, sektor usaha ini pun mengalami ekspansi besar. Bukan hanya di kawasan-kawasan tertentu, melainkan di hampir seluruh kawasan dunia. Secara global, nilai pasar layanan pesan antar makanan diperkirakan mencapai 35 miliar dolar AS per tahun. Sampai 2030 nanti, nilainya diprediksi meroket menjadi 365 miliar dolar AS.

 
Pasar layanan pesan antar makanan Asia Tenggara diperkirakan meningkat tajam dari sekitar dua miliar dolar AS pada 2018 menjadi delapan miliar dolar AS pada 2025.
 

Jasa dan layanan pesan antar makanan ini memang menghadirkan sejumlah keuntungan bagi publik atau konsumen. Salah satunya tak lain konsumen dimanjakan dengan berbagai macam menu plus beragam tambahannya, dan bisa langsung memesan hanya melalui satu aplikasi. Begitu beragamnya menu yang tersedia, konsumen bisa dengan mudah berganti menu setiap harinya. Sejumlah penyedia jasa layanan pesan antar makanan ini bahkan membuka peluang bagi konsumen untuk memilih menu khusus berupa makanan sehat atau menu terkait program penurunan berat badan.

Keuntungan lain bagi konsumen adalah kenyamanan. Konsumen tak perlu membuang waktu untuk pergi ke luar rumah, berbelanja, atau menyiapkan peralatan masak. Ini jelas sangat membantu bagi publik di negara-negara Asia Tenggara yang selama pandemi virus terpaksa bekerja dari rumah atau mengurangi aktivitas ke luar rumah. Pekerja yang tetap sibuk dengan pekerjaannya pun tak perlu meninggalkan atau menghentikan pekerjaan hanya untuk memesan makanan.

Meski menghadirkan keuntungan dan manfaat bagi konsumen, namun tercatat memiliki pula kekurangan. Di Asia Tenggara, sektor usaha jasa dan layanan pesan antar makanan saat ini mengalami polarisasi harga, dan sangat bergantung pada penyedia jasa. Jasa pesan antar makanan di Singapura, disebut The ASEAN Post, bisa mencapai lima sampai sepuluh kali lipat lebih mahal dibanding jasa yang sama di Indonesia atau Vietnam. Bagi konsumen dengan dana terbatas, tentunya kondisi itu cukup memberatkan.

photo
Para pengendara ojek online sedang menunggu pemesanan.  - (EPA)
 

Persaingan

Terlepas dari berapapun harga atau tarif yang ditetapkan, persaingan pemain-pemain besar jasa dan layanan pesan antar makanan di Asia Tenggara, menjadi semakin sengit. Apalagi potensi pasar jasa ini di kawasan memang cukup menggiurkan. Kalau secara global nilai pasar layanan pesan antar makanan diperkirakan mencapai 35 miliar dolar AS per tahun dan melonjak menjadi 365 miliar dolar AS sampai 2030. Maka, masih menurut studi Google dan Temasek, di Asia Tenggara saja, nilai pasarnya diperkirakan melonjak tajam dari sekitar dua miliar dolar AS pada 2018, menjadi sekitar delapan miliar dolar AS pada 2025.

Pemain-pemain besar taksi daring pun, seperi Go-Jek dan Grab sudah sejak lama meramaikan pasar jasa pesan antar makanan di kawasan. Mengandalkan nama yang sudah sangat dikenal dan besarnya database pengguna yang dimiliki, kedua pemain taksi online itu berhadapan langsung dengan pemain-pemain yangg murni berbisnis jasa pesan antar makanan di Asia Tenggara, seperti Deliveroo dan Foodpanda.

Tahun lalu, Grabfood bahkan sudah pula mengambil alih UberEATS di Asia Tenggara. Go-Jek, pemain utama taksi online, disebut-sebut bisnis jasa pesan antar makanan menghasilkan lebih besar ketimbang jasa transportasinya. Studi yang sama menyebutkan dari transaksi di Indonesia saja ditengarai mencapai sekitar 2,5 miliar dolar AS per tahun. FoodPanda, yang menawarkan jasa serupa dan cukup dikenal di Malaysia, Singapura, dan Filipina, sudah meluncurkan 'StreetPanda'yang menawarkan jasa pesan antar dari pedagang makanan kaki lima (street food).

Sengitnya persaingan di sektor jasa pesan antar makanan itu diikuti pula dengan model bisnis yang berbeda. Salah satu yang populer dan paling banyak diterapkan adalah penyedia jasa mengembangkan aplikasi khusus untuk digunakan pemilik usaha penyedia makanan (restoran dan sejenisnya). Penyedia jasa pesan antar makanan mengambil komisi dari pemilik restoran tanpa menambah biaya bagi konsumen. Hanya saja, dalam implementasinya, pemilik restoran membebankan komisi itu pada konsumen dengan menaikkan harga menu dibanding transaksi atau pembelian offline. FoodPanda, GrabFood, dan GoFood secara umum mengenakan komisi di kisaran 15 persen sampai 30 persen.

 
Sengitnya persaingan di sektor jasa pesan antar makanan itu diikuti pula dengan model bisnis yang berbeda.
 

Model bisnis lain yang diterapkan sebenarnya tak jauh berbeda dengan model komisi tersebut. Dalam model ini, penyedia jasa pesan antar makanan bekerja sama dengan kontraktor independen sebagai armada pengantaran. Model ini mengenakan biaya tambahan bagi konsumen terkait jasa pengantaran.

Perbedaan model bisnis memang tak lantas meredam sengitnya persaingan. Namun, saat berbicara soal loyalitas konsumen boleh jadi cukup bias. Pasalnya, loyalitas konsumen sangat mungkin hanya pada perusahaan penyedia makanan (menu) tertentu atau restoran. Maka bagi pemain sektor jasa pesan antar makanan, loyalitas konsumen agaknya lebih bergantung pada kualitas jasa pengantaran makanan plus layanan tambahan bagi konsumen, yang seringkali tercermin dalam review dan rating dari konsumen.

Bias atau tidak soal loyalitas konsumen, selama penetrasi internet dan penggunaan ponsel pintar terus meninggi di Asia Tenggara diprediksi bakal terus tumbuh, merebut manisnya pasar jasa antar makanan. Tapi, persaingan sesungguhnya baru akan terjadi setelah apa yang diharapkan semua orang menjadi kenyataan; pandemi virus secepatnya berakhir.

photo
Pasar Transpor Online dan Antar Makanan Asia Tenggara - (Teraju, Republika)
 
 
 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat