Suasana dari festival musik Djakarta Warehouse Project (DWP) 2019 di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Minggu (15/12/2019). | M RISYAL HIDAYAT/ANTARA FOTO

Nasional

Festival Musik dan Upaya Penurunan Jejak Karbon

Sejumlah festival musik mulai serius mengurangi dampak lingkungan.

Di balik gemerlap panggung dan sorak sorai penonton, industri festival musik menyembunyikan kontribusi besar terhadap emisi gas rumah kaca yang memicu pemanasan global. Jejak karbon dan timbunan sampah yang dihasilkan acara-acara ini tidak main-main.

Penyumbang terbesar emisi dan sampah berasal dari mobilitas, yaitu perjalanan pengunjung, pengisi acara, kru, dan logistik. Konsumsi dan produksi makanan menempati posisi berikutnya.

Awalnya festival musik populer di kalangan pecinta alam, seperti Woodstock pertama. Namun komersialisasi besar-besaran mendorong festival berskala internasional bernilai miliaran dolar menghasilkan jejak karbon dan sampah masif.

Penelitian Julie’s Bicycle pada tahun 2007 mencatat perjalanan pengunjung ke dan dari acara musik menyumbang 43 persen dari total emisi karbon di industri musik Inggris, setara dengan 231.000 ton karbon dioksida per tahun. Satu dekade kemudian, Powerful Thinking melaporkan peningkatan signifikan: perjalanan pengunjung festival menjadi sumber 80 persen dari seluruh emisi festival musik.

Penelitian lain oleh A Greener Future pada 2023 memperkuat temuan ini, menunjukkan faktor-faktor lain ikut berkontribusi, termasuk pengelolaan sampah, konsumsi energi, dan makanan. Transportasi pengunjung, kru, musisi, dan logistik menyumbang 58 persen dari total emisi festival, sementara produksi dan konsumsi makanan serta minuman mencapai 35 persen.

Dampak sampah visualnya sama mencolok. Pengunjung festival di Inggris menggunakan 10 juta botol plastik setiap tahun.

Festival ternama di Amerika Serikat, seperti Coachella dan Desert Trip, dilaporkan menghasilkan 100 ton sampah setiap harinya. Data dari Waste Managed menyebutkan satu festival besar dapat menghasilkan 875.000 gelas plastik dan 2 juta botol sampah plastik. Sementara itu, festival musik di Inggris menghasilkan 23.500 ton sampah per tahun, termasuk 250.000 tenda sekali pakai yang ditinggalkan.

Laporan Julie’s Bicycle 2023-2024 mengidentifikasi tiga penyumbang emisi terbesar dari sektor seni secara keseluruhan, yaitu pertama energi yang menyumbang 54 persen, sampah 28 persen, dan perjalanan 16 persen yang mencakup perjalanan musisi, kru, bisnis, dan logistik. Energi mencakup listrik dari pembangkit berbahan bakar fosil dan penggunaan generator diesel. Sampah tercatat sebagai penyumbang emisi tidak langsung terbesar dan meningkat tajam.

Laporan ini menghitung perjalanan pengunjung secara terpisah. Jika dimasukkan ke dalam total data emisi, perjalanan pengunjung menyumbang 42 persen dari total jejak karbon, yaitu sebesar 60.023 ton setara karbon dioksida dari total 144.584 ton setara karbon dioksida.

Dari berbagai moda transportasi, mobil menghasilkan emisi terbanyak yakni 30 juta ton setara karbon dioksida, diikuti kereta 21,9 juta ton setara karbon dioksida dan bus lokal 2,2 juta ton setara karbon dioksida. Data ini diagregasi dari 250 organisasi seni selain musik, seperti museum, teater, dan galeri.

Berdasarkan Buku Saku Asik Berpesta Hijau Bersama yang disusun oleh Koalisi Seni, sebuah lembaga non-profit asal Indonesia, sejumlah festival musik dan acara seni mulai serius mencatat dan mengurangi dampak lingkungannya.

Synchronize Festival, misalnya, berhasil menurunkan sampah yang dihasilkan dari 11 ton pada 2022 dari 74.629 pengunjung menjadi 7,1 ton pada 2023 dari 78.197 pengunjung. Sampah botol plastik juga berkurang signifikan. Java Jazz Festival 2023 memproduksi sekitar 6,2 ton sampah selama tiga hari pelaksanaan.

Lebih jauh, Makassar International Writers Festival (MIWF) 2024 berhasil menghitung emisi dari seluruh rangkaian kegiatan mencapai 17 ton setara karbon dioksida, yang kemudian dikompensasi melalui penanaman 335 pohon mangrove. Sementara itu, Festival IKLIM di Bali pada 2023 menjadi pionir dengan menerapkan protokol guna ulang (reuse protocol) bersama Diet Plastik Indonesia, berhasil mencegah lebih dari 1.200 porsi makanan berakhir sebagai sampah sekali pakai.

Dalam Asik Berpesta, Hijau Bersama, Koalisi Seni menegaskan mitigasi dampak lingkungan ini harus dimulai segera. Ambisi terbesarnya adalah melampaui capaian Massive Attack, yang berhasil membuat acara musik dengan jejak karbon terkecil di dunia.

Koalisi Seni mengatakan jika standar ramah lingkungan ini diadopsi seluruh festival di Indonesia, daya tarik acara akan makin besar, dan musisi internasional akan makin tertarik konser di Tanah Air.

"Kita selalu percaya seluruh pelaku seni punya tanggung jawab untuk memberikan solusi-solusi kreatif terhadap isu global. Seniman juga punya pengaruh besar yang bisa menginspirasi orang lain di sekitarnya untuk melakukan hal serupa," kata Koalisi Seni dalam buku saku tersebut.

Selain itu, terdapat keuntungan ekonomi yang nyata. Acara yang ramah lingkungan dapat menghemat biaya produksi panggung, listrik, air, dan pengelolaan sampah dalam jangka panjang.

Koalisi Seni mencatat laporan Julie’s Bicycle menunjukkan 47 persen organisasi yang didata menyatakan strategi ramah lingkungan menghasilkan keuntungan langsung secara finansial. Hal ini krusial, mengingat banyak penyelenggara acara musik beroperasi dengan anggaran yang terbatas.

Dalam diskusi dan peluncuran buku saku Asik Berpesta Hijau Bersama, Ratri Ninditya dari Koalisi Seni mengatakan terdapat lima prinsip yang perlu dipatuhi untuk menyelenggarakan festival musik ramah lingkungan. Yaitu, mengurangi emisi, mengurangi sampah, inklusif, berkelanjutan secara ekonomi, dan berdampak panjang.

"Paling penting inklusif, kenapa inklusif karena tidak mungkin kita tidak menyertakan komunitas-komunitas sekitar kita, yang lokal, terpinggirkan, termarjinalkan," katanya, Jumat (31/10/2025).  

Ratri mengatakan penting untuk mengidentifikasi apa kontributor emisi terbesar dari sebuah festival musik. Kemudian memahami sumber daya dan kapabilitas untuk melakukan pengurangan emisi.

"Semuanya punya cara masing-masing untuk menerapkan strategi ramah lingkungannya. Jadi di sini, sangat penting saya tekankan kita tidak memiliki satu cara untuk diaplikasikan ke semua konteks. Penting sekali untuk mengasesmen, mengidentifikasi dulu sebenarnya dampak yang paling besar dari acara yang sudah kita lakukan," kata Ratri.

Dalam sambutannya, Ketua Pengurus Koalisi Seni, Irawan Karseno, mengajak komunitas kreatif dan kesenian di Indonesia untuk mengambil peran aktif dalam mengatasi masalah lingkungan. Menurut Irawan sektor yang mereka geluti merupakan titik awal yang tepat untuk memulai upaya mitigasi, di tengah kompleksitas masalah nasional lainnya.

"Kita juga banyak tahu soal problem lingkungan dan seterusnya. Salah satu problem yang mudah-mudahan kita masih punya semangat untuk mengatasi hal tersebut di luar problem-problem Indonesia yang kompleks itu," ujar Irawan.

Karseno menjelaskan Koalisi Seni memilih ekosistem kreatif dan kesenian sebagai fokus utama karena sektor tersebut paling akrab dan relevan bagi organisasinya. Ia berharap advokasi bersama ini dapat membawa perbaikan signifikan bagi lingkungan dan kehidupan yang harus terus dijaga.

Meskipun menyadari adanya tantangan besar lain seperti korupsi, Karseno tetap menegaskan pentingnya menjaga semangat untuk mengatasi masalah lingkungan.

"Memang problem yang kadang-kadang saya (buat) deg-degan, seperti korupsi dan seterusnya, ya, masih semangat kita untuk menjaga ini semuanya. Karena problematikanya kan sangat kompleks, dari ada aspek ekonomi, ada aspek politik dan seterusnya," tutupnya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat