Puisi Kekuatan Kun Fayakun | Daan Yahya/Republika

Sastra

Alif Lam Mim Kebebasan

Puisi-Puisi Ahmad Fatoni

Oleh AHMAD FATONI

Kekuatan Kun Fayakun 

 

Dalam sepi aku berbicara pada dinding jendela,

lampu redup menua seperti iman yang buta.

Pohon randu menatapku dengan mata hampa,

sementara lelaki renta masih sibuk menghitung dosa.

 

Mereka menyembah kata-kata berbusa,

menghunus viralitas bagai pisau berbisa.

Popularitas mereka tergores di cermin dusta,

tanpa sadar, ruh mereka perlahan sirna.

 

Aku menutup telinga dari hiruk pikuk dunia,

pada detak jantungku kudengar suara purba:

“Kun Fayakun,” bisik lembut penuh cahaya,

mengalir menembus hati yang bergelora.

 

Bisikan itu menyalakan lentera yang merona,

ia tidak menghardik, ia justru memeluk raga.

Ia berkata lembut, “engkau tidak sendirian, hamba.

Jadilah!” — dan aku pun merasa perkasa.

 

Kini aku mengerti makna perjalanan usia,

bahwa hidup bukanlah melawan badai semata,

melainkan belajar dari angin yang menghembuskan doa,

mengalirkan harap dari asa yang tak bersuara.

 

“Kun Fayakun.” Dua kata yang mengguncang sukma,

menguar kidung penyair penuh luka.

Ia bukan petir penyambar mangsa,

tapi api yang membakar siksa.

 

Aku menatap tanganku yang rapuh dan gemetar,

mengetuk langit dengan hati yang gentar.

“Kun Fayakun,” penanda di semua duka ada sabar,

dari akar pun tumbuh dahan yang kekar.

 

Setiap tangis menyimpan harapan,

setiap retak adalah kelahiran.

Segala yang pecah di luar sana,

adalah bunga yang mekar dengan cara berbeda.

 

Malam kian gelap, sunyi semakin nyata,

aku menyapa Tuhan lewat sunyi yang bersahaja.

Tak ada malaikat berbisik di udara,

hanya detak jantungku yang tak jenuh memuja-Nya.

 

“Kun Fayakun,” bisikku lirih penuh cinta,

menguap perlahan dalam udara hening samudera.

Bintang-bintang menulis huruf-huruf rahasia,

yang menjelaskan makna aku ada.

 

Sebelum aku bernama, sebelum aku merasa,

Tuhan telah berfirman: “Jadilah!”

Aku pun lahir, bukan untuk paling benar berkata,

tetapi untuk mendengar nyanyian semesta.

 

Aku tuliskan “Kun Fayakun” di masa yang tersisa,

dengan kekuatan zikir yang menyelinap ke rongga dada.

Untuk pertama kalinya, dengan jiwa yang murni,

aku hidup kembali — dalam firman Ilahi.

 

Malang, 12 Oktober 2025

***

 

Cambuk Al-Ma’un

 

Di kota yang gemerlap doa dijual di etalase kaca,

sedekah berganti tanda tangan di media maya.

Mereka berpakaian surga berhati neraka,

menyembah harga, melupakan hakikat harta.

 

Anak yatim menangis di sudut iklan kosmetik,

suaranya tenggelam oleh musik diskon elektrik.

Lidah-lidah memuji Tuhan di mikrofon megah,

namun tangan tak lagi kenal arah ibadah.

 

Di balik sajadah, terlipat ego berlabel haram,

sedekah jadi bingkai foto, bukan lagi suara yang diam.

Mereka berdoa agar kaya di dunia maya,

miskin pun ingin kaya di hadapan Sang Penguasa.

 

Al-Ma’un bukan sekadar surat pendek di bibir,

ia cambuk bagi yang rajin berzikir.

Iman bukan hanya di dompet terbuka,

melainkan di tangan yang menyuap lapar dengan cinta.

 

Malang, 14 Oktober 2025

***

 

Alif Lam Mim Kebebasan

 

Langit retak di jantung semesta,

bintang-bintang jatuh jadi bunga tanpa mahkota.

Ingatanku memberontak pada luka,

menyebut nama yang tak sempat dieja.

 

Malam mengantar bara rahasia,

api perjuangan membakar dinding dada.

Aku ingin lupa segalanya,

tapi asa tak kenal kata reda.

 

Dari reruntuhan tumbuh bunga sahara,

batangnya alif yang tegak menjaga.

Daunnya lam berdaya dobrak jiwa,

kelopaknya mim kebebasan yang menyala.

 

Air mata merangkai huruf-huruf doa,

sang pejuang menulis sajak di dada dunia.

Gelap bukan anak haram semesta,

melainkan rahim yang melahirkan cahaya.

 

Malang, 28 Septembr 2025

***

 

Bangkit dari Kesunyian

 

Aku pernah tenggelam di dasar pikiranku sendiri,

tempat segala suara berubah menjadi gema sunyi.

Namun dari kesunyian itu, bangkit keheningan baru,

yang mengajariku: luka pun tak selamanya pilu.

 

Kebangkitan bukan tentang ditemukan dunia,

melainkan tentang menyapa Tuhan dalam duka.

Setiap keterpurukan adalah cermin yang nyata,

menampilkan siapa diri apa adanya.

 

Kekuatan bukan dasar sungai yang beku, tapi air yang mengalir,

menyesuaikan bentuk, tanpa kehilangan hilir.

Aku belajar bahwa menjadi diri apa adanya,

tak harus menentang arus, tapi tetap bergelora.

 

Dan kehidupan — ah, ia bukan aturan seperti penjara,

namun cahaya kecil yang menolak padam di dada.

Di saat semua runtuh dan tak ada puing yang tersisa,

cukuplah menjadi manusia biasa, meski terkadang menyiksa jiwa.

 

Malang, 14 Oktober 2025

***


Ahmad Fatoni, kelahiran Surabaya dan besar di Madura, alumnus sastra Arab dari International Islamic University Islamabad, Pakistan. Beberapa karya tulis; cerpen, puisi, esai, dan resensi sastra, pernah dimuat di berbagai media nasional. Sebagian puisi sempat dibukukan dalam Kumpulan Puisi Mata Air (Pelangi Sastra Malang, 2015), Potret Kehidupan (Nawacita Media, 2020), Di Balik Ruang Tanpa Garis Temu (Funbahasa, 2020), Seribu Tahun Lagi (Masyarakat Literasi Jember, 2021), Kembara Cinta Himpunan Puisi dan Untaian Kata (Pustaka Learning Center, 2021), Upacara Tanah Puisi (Masyarakat Literasi Jember, 2022), dan Antologi Puisi Bencana (Komunitas Seni Kuflet, 2024). Salah satu cerpen dibukukan dalam antologi Kisah Ganjil Tentang Sobrot (Funbahasa, 2022). Kini menjadi staf pengajar di Fakultas Agama Islam UMM. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat