Sejumlah pengunjuk rasa saat aksi 28 Agustus 2025 di depan Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (28/8/2025). Aksi yang digelar untuk mengkritisi kinerja anggota dewan serta pemberian tunjangan perumahan bagi anggota DPR tersebut berakhir ricuh. | Republika/Prayogi

Ekonomi

Ziswaf Jawaban Kesenjangan

Potensi ziswaf di Indonesia sangat besar.

JAKARTA — Gelombang demonstrasi pada akhir Agustus 2025 yang menuntut 17+8 mencerminkan keresahan publik atas persoalan ekonomi yang kian terasa di tengah masyarakat. Masih tingginya kesenjangan di Indonesia juga menjadi salah satu persoalan yang memicu keresahan publik.

Di balik tuntutan tersebut, para pakar menilai solusi tidak hanya terletak pada kebijakan fiskal dan subsidi, tetapi juga pada instrumen ekonomi syariah, khususnya zakat, infaq, sedekah, dan wakaf (ziswaf).

Kepala Center for Sharia Economic Development (CSED) Indef, Nur Hidayah, menegaskan bahwa ekonomi syariah memiliki instrumen distribusi pendapatan yang berpotensi besar menjadi jaring pengaman sosial di Indonesia.

“Instrumen dalam ekonomi syariah yang bisa menjawab tuntutan 17+8 ini, antara lain instrumen distribusi pendapatan dalam Islam yang kita kenal dengan ziswaf, yang bisa menjadi jaring pengaman sosial,” ujarnya dalam diskusi publik bertajuk ‘Demo Cermin Kesenjangan, Ekonomi Syariah Memberi Jawaban’ yang digelar secara virtual, Rabu (10/9/2025).

Potensi ziswaf di Indonesia sangat besar. Data Kementerian Agama mencatat potensi nasional pada 2024 mencapai Rp 327 triliun per tahun. Namun realisasi penghimpunannya baru sekitar Rp 32 triliun atau 9,9 persen.

Statistik zakat/infaq/sedekah - (republika)

  ​

Meski demikian, ziswaf telah berhasil menyalurkan bantuan kepada 33,9 juta mustahik, dengan 463.154 jiwa keluar dari kemiskinan, termasuk 194.543 orang dari kategori miskin ekstrem.

“Kalau misalnya kita bisa maksimalkan Rp 327 triliun, ini setara dengan 75 persen anggaran perlindungan sosial dari APBN,” kata Nur.

Menurutnya, masih ada sekitar Rp 290 triliun potensi ziswaf yang belum tergarap optimal, yang bisa digunakan untuk mengurangi ketimpangan sosial ekonomi di Indonesia.

Nur menekankan perlunya strategi modern dalam pengelolaan ziswaf. Digitalisasi, transparansi, dan integrasi data dinilai menjadi kunci. Baznas, misalnya, telah mengembangkan platform online, QRIS, hingga aplikasi zakat. Namun, ia menilai perlu ada dashboard nasional yang mengintegrasikan data lintas lembaga agar kebijakan lebih tepat sasaran.

“Perlu transparansi dan akuntabilitas yang ditingkatkan agar juga meningkatkan kepercayaan publik dan efisiensi penyaluran dana. Kemudian juga perlu dashboard nasional yang mengintegrasikan data ziswaf lintas lembaga, sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil itu bisa tepat sasaran,” terangnya.

Ia juga menyoroti regulasi yang belum berjalan efektif. “Perpres Zakat ASN PNS telah terbit tahun 2023, namun belum signifikan dalam mendongkrak penghimpunannya. Kemudian juga target Rp 50 triliun zakat nasional di 2025 perlu sinergi dari semua pemangku kepentingan baik Pemerintah, Baznas/LAZ, swasta, akademisi, dan juga media,” katanya.

Dengan optimalisasi ziswaf, Nur meyakini dana yang terkumpul bisa menopang program pendidikan, kesehatan, UMKM, hingga jaminan sosial.

"Dengan menutup gap ziswaf ini, bisa menghadirkan ratusan triliun dana ziswaf untuk pendidikan, kesehatan, UMKM, pengentasan kemiskinan, serta melengkapi program jaminan sosial demi kesejahteran umat,” ujarnya.

Alur Wakaf Tanah - (Republika)

  ​

Sementara itu, peneliti CSED Indef, Akhmad Affandi Mahfudz, menilai pemerintah perlu langkah lebih konkret dalam mengelola ziswaf. Ia bahkan mengusulkan pembentukan kementerian khusus. “Menurut hemat kami, yang paling mendasar adalah bahwa Pemerintah belum menjadikan satu keseriusan tersendiri untuk membangun ekonomi syariah di Indonesia ini, yang justru mayoritas muslim,” katanya.

Affandi menyoroti lemahnya kelembagaan ekonomi syariah di pemerintah. Menurutnya, hingga kini hanya Bank Indonesia yang memiliki direktorat khusus bidang ekonomi dan keuangan syariah, sementara Kementerian Keuangan tidak memiliki unit serupa. Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) pun bersifat ad hoc.

“Kalau kita melihat Pak Prabowo misalnya membuka satu kementerian baru, yang baru-baru ini lagi diperlihatkan oleh Pemerintah yakni Kementerian Haji dan Umroh, semestinya ada Kementerian Ziswaf,” ungkapnya.

Ia menilai keberadaan kementerian khusus akan memberi prioritas nyata bagi ziswaf sehingga manfaatnya lebih luas dirasakan masyarakat bawah. “Jangan sampai menjadi satu pemahaman yang kurang di kalangan masyarakat, sehingga masyarakat tidak benar-benar merasakan. Kalau ada orang yang tidak bayar zakat, ya mungkin didiamkan karena tidak ada peraturan padahal itu wajib kan (bagi muslim). Tapi kalau tidak bayar pajak, woy itu dikejar sampai mana-mana,” tuturnya.

Affandi juga menyinggung pernyataan mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang sempat menuai kontroversi, bahwa membayar pajak sama dengan membayar zakat dan wakaf. Menurutnya, dalam praktiknya konsep maqashid syariah justru belum terimplementasikan secara baik dalam kebijakan ekonomi nasional.

“Walaupun sudah masuk ke dalam rencana pembangunan jangka panjang ataupun menjadi konsen Pemerintah, tetapi di level Kementerian atau Lembaga tidak didirikan sebagai satu paham yang khusus, sehingga prinsip-prinsip ekonomi syariah seperti tidak ada riba, tidak ada gharar, dan sebagainya ternyata tidak tertuangkan dan tidak terpahamkan dengan baik,” jelasnya.

Para pakar menekankan, ziswaf bukan hanya instrumen keagamaan, tetapi juga solusi konkret dalam menghadapi ketimpangan sosial ekonomi. Optimalisasi dan kelembagaan yang kuat diyakini dapat menjadikan ziswaf pilar penting dalam menjawab keresahan publik sekaligus mengurangi ketergantungan pada anggaran negara.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat