Mualaf asal Korea Selatan Ayana Moon saat peluncuran buku berjudul Ayana Journey To Islam pada gelaran Islamic Book Fair di Jakarta Convention Center, Jakarta, Ahad (2/3). | Republika/Thoudy Badai

Keluarga

Perjalanan Iman Ayana Moon

Butuh perjuangan untuk menjadi Muslim di Korea Selatan.

 

 

Sejak kecil, Ayana Jihye Moon sudah tertarik dengan hal politik dan ekonomi. Saat teman-teman seusianya asyik bermain, dia justru lebih suka mendengarkan cerita dari anggota keluarganya yang memiliki banyak kolega dan kenalan di luar negeri.

Biasanya setelah kembali dari luar negeri, keluarganya kerap berbagi cerita tentang apa yang mereka lihat dan dengar serta hal mengejutkan. Salah satu hal paling berkesan, meskipun bukan dalam arti positif, adalah impresi mereka tentang negara-negara Islam. Saat itu, negara-negara Islam menjadi topik hangat di Amerika Serikat.

Ayana pun mendengar cerita perempuan-perempuan Muslim itu dari kakek dan pamannya yang kerap bepergian ke luar negeri. "Semakin banyak kisah yang saya dengar dari kakek dan paman, saya merasa semakin penasaran," kata perempuan asal Korea Selatan itu.

Dia pun kian tertarik untuk mempelajari Islam lebih dalam. Saat berusia 16 tahun, Ayana mengambil langkah besar dalam hidupnya dengan memeluk Islam dan menjadi mualaf.

Perjalanan hijrahnya sebagai mualaf yang masih tinggal Korea Selatan sampai kehidupannya mempertahankan Islam hingga ke Malaysia dan Indonesia itu dihadirkan dalam bukunya, Ayana Journey to Islam. Melalui buku itu, Ayana menceritakan bahwa Islam mengubah banyak hal dalam dirinya. Banyak ujian yang membuatnya menjadi orang yang lebih baik daripada Ayana sebelum memeluk Islam.

Dalam buku seharga Rp 95 ribu itu, Ayana menjelaskan tentang dirinya semasa kecil dan keluarganya pada bab Jihye. Melalui penutur 'aku', Ayana juga menceritakan bagaimana pertemuan kedua orangtuanya sebelum menikah. Perjalanan orangtuanya menjalin cinta tidak mudah lantaran ada banyak perbedaan di antara kedua keluarga.

Ayana juga menceritakan alasan dirinya tidak menyukai kelahiran adiknya, Seongwook, yang terpaut 10 tahun. Serupa dengan orang tuanya, Ayana sempat tidak percaya dengan konsep Tuhan. Dalam bab kedua tentang mengenal Islam, Ayana mencoba menceritakan bagaimana orang-orang di Korea Selatan saat itu memandang negatif tentang Islam.

 
Ayana mencoba menceritakan bagaimana orang-orang di Korea Selatan saat itu memandang negatif tentang Islam.
   

Namun, rasa penasarannya pada Islam terus berkembang. Percakapan dengan sang kakek membuatnya lebih tertarik mencari tahu tentang Islam. Ayana menceritakan dengan santai bagaimana perasaannya bertemu dengan Profesor Lee, akademisi asal Korea Selatan yang ahli dalam topik Timur Tengah dan Islam.

photo
Mualaf asal Korea Selatan Ayana Moon saat peluncuran buku berjudul Ayana Journey To Islam pada gelaran Islamic Book Fair di Jakarta Convention Center, Jakarta, Ahad (2/3). - (Republika/Thoudy Badai)

Masa sulit

Keputusannya masuk Islam membutuhkan waktu yang lama. Dalam bab, Menjadi Ayana, dia menceritakan bagaimana Islam membuatnya sangat tenang. Pada 29 April 2012 adalah hari saat Ayana mengucap syahadat. Dia tak langsung memberitahu keluarganya setelah memeluk Islam.

Ramadhan pertamanya jatuh pada September, saat duduk di bangku SMA. Ayana mengalami masa-masa sulit menjalani puasa pertamanya. Bukan hanya karena lingkungannya tak paham dengan kondisinya, melainkan juga karena dia harus menghabiskan 12 jam di sekolah.

Keputusannya bersekolah di Mesir juga mendapat penolakan dari sang ayah. Saat itu, Ayana ingin belajar bahasa Arab. Dia berpikir Mesir satu-satunya pusat peradaban tentang Timur Tengah. Awalnya, ayah Ayana berpikir lebih baik dia bersekolah di Korea Selatan, Inggris, atau Amerika untuk belajar politik. Padahal, Ayana tak pernah berkata lantang bahwa menjadi politikus adalah pilihannya, dia hanya menyukai bidang itu.

Saat itulah, Ayana mengatakan bahwa dirinya merupakan seorang Muslimah. Ayana menyelipkan percakapan dengan sang ayah yang emosional mendengar kabar tersebut. Setelah itu, orang tuanya tidak bisa menerima keputusan itu hingga tak lagi memberikan uang untuk penddikannya. Akhirnya, keputusan kuliah di Mesir tidak menjadi kenyataan.

 
Saat itulah, Ayana mengatakan bahwa dirinya merupakan seorang Muslimah. Ayana menyelipkan percakapan dengan sang ayah yang emosional mendengar kabar tersebut.
 

Bukan karena ayahnya, melainkan alasan keamanan bagi warga Korea Selatan. Hingga akhirnya, dia bertemu dengan mahasiswa asal Malaysia di masjid. Bergaul dengan mereka menyadarkan Ayana bahwa Malaysia bisa dijadikan pilihan baginya belajar Islam. Meskipun tetap mendapat penolakan dari keluarga, Ayana serius tentang imannya.

Dalam bab Hijrah, Ayana mengisahkan bagaimana dia mendapatkan cobaan berat, yakni kesulitan keuangan di Malaysia. Belum lagi persiapan perjalannnya ke Malaysia juga tidak mudah. Ayana harus mengumpulkan uang dari kerja paruh waktunya. Ayana berangkat ke Malaysia hanya bermodalkan dua koper. Ayana sudah merasa bahwa perjalanannya itu tidak mudah. Ayana sempat takut karena akan pindah ke negara asing sendirian.

photo
Mualaf asal Korea Selatan Ayana Moon saat peluncuran buku berjudul Ayana Journey To Islam pada gelaran Islamic Book Fair di Jakarta Convention Center, Jakarta, Ahad (2/3). - (Republika/Thoudy Badai)

Kesulitan finansial membuatnya tidak bisa fokus belajar. Ayana benar-benar merasa sendirian. Bahkan, dia hampir merasa depresi. Ayana sampai bertanya-tanya, mengapa cobaan berat datang padanya? Kemudian, dia merasa Allah SWT memberi jawaban dengan kehadiran sang ibu. Ibunya yang tidak tega melihat kondisi Ayana memintanya pulang ke Korea Selatan.

Ayana menyetujui ajakan ibunya itu. Dalam bab, Rencana Allah, Ayana menceritakan sebelum kembali ke Korea Selatan, dia memutuskan mengunjungi Indonesia. Sebelum berangkat, dia mengunggah rencana perjalanannya itu di Instagram. Ayana menceritakan bahwa Instagram membuka jalannya hingga sekarang. Berniat hanya berlibur dua pekan, Ayana mengatakan perjalanannya itu menjadi awal mula perubahan dalam hidupnya. Undangan dari stasiun televisi di Indonesia membuatnya viral dalam semalam.

 
Ayana menceritakan sebelum kembali ke Korea Selatan, dia memutuskan mengunjungi Indonesia.
   

Melalui bukunya itu, Ayana membantah bahwa dia pernah menjadi anggota grup vokal perempuan di Korea Selatan. Ayana menceritakan bagaimana Indonesia membuatnya nyaman hingga awal pertemuannya dengan merek kosmetik Wardah. Namun, diam-diam, Ayana masih tertarik dengan dunia politik. Dia berkeinginan membentuk regulasi yang lebih mengakomodasi sesama umat Islam di Korea Selatan. Dia juga ingin mengembangkan industri halal di Korea Selatan.

Lewat kisah Ayana dalam buku terbarunya itu, boleh jadi kita dapat mengambil hikmah betapa tidak mudah perjuangan untuk mempertahankan keyakinan. Apalagi, jika keyakinan yang kita anut itu terbilang minoritas. Namun, tekad kuat dan konsistensi menjadi modal utama agar dapat berpegang teguh pada keyakinan kita.

photo
Mualaf asal Korea Selatan Ayana Moon (keempat kanan) bersama Istri Gubernur Jawa Barat Atalia Praratiya (ketiga kanan) bersama itu dan adiknya saat peluncuran buku berjudul Ayana Journey To Islam pada gelaran Islamic Book Fair di Jakarta Convention Center, Jakarta, Ahad (2/3). - (Republika/Thoudy Badai)

Dan, lewat buku setebal 130 halaman yang dibalut warna biru langit yang cerah serta berhias sosok Ayana yang berdiri dengan anggun menghiasi sampul buku, sang penulis pun berharap perjalanan hijrahnya itu bisa memberi semangat dan motivasi bagi orang lain.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat