Umat muslim mengikuti aksi damai di kawasan Monas, Jakarta. | Republika/Edwin Dwi Putranto

Opini

Pentingnya Berjamaah

Berjamaah mencakup hidup dalam kesatuan umat.

Oleh DR ASWAR HASAN, deklarator KPPSI Sulawesi Selatan dan dosen Fisipol Unhas

عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ، وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ، وَهُوَ مِنَ الاثْنَيْنِ أَبْعَدُ، مَنْ أَرَادَ بُحْبُوحَةَ الْجَنَّةِ، فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ."

"Hendaklah kalian tetap berjamaah, dan jauhilah perpecahan. Sesungguhnya setan bersama orang yang sendirian, dan ia lebih jauh dari dua orang. Barang siapa yang menginginkan surga yang luas, hendaklah ia tetap bersama jamaah."
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah.

Hadis ini memberikan pesan mendalam tentang urgensi kebersamaan dan bahayanya perpecahan. Dalam konteks ini, "berjamaah" tidak hanya berarti shalat berjamaah, tetapi juga mencakup hidup dalam kesatuan umat, saling tolong-menolong dalam kebaikan, dan menjaga solidaritas sosial.

"يَدُ اللَّهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ."

"Tangan (pertolongan) Allah bersama jamaah.

Berjamaah merupakan salah satu prinsip utama dalam ajaran Islam yang memiliki kedudukan sangat penting, baik dalam aspek ibadah, sosial, maupun politik umat. Hal ini ditegaskan dalam hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi tersebut.

Nabi SAW mengingatkan bahwa setan sangat dekat dengan orang yang menyendiri. Ini bermakna bahwa seseorang yang memisahkan diri dari komunitas Muslim akan lebih mudah tergelincir dalam kesesatan, keraguan, dan dosa.

Sebaliknya, ketika ia bersama kelompok yang saleh dan taat, maka ia akan mendapatkan pengawasan, nasihat, dan kekuatan untuk tetap berada di jalan yang lurus. Karena itu, berjamaah adalah sarana penting untuk menjaga keimanan dan keteguhan dalam menjalankan syariat.

Lebih dari itu, hadis ini menunjukkan bahwa surga tidak hanya dicapai dengan ibadah individual, melainkan dengan keterlibatan dalam kehidupan berjamaah yang benar. Jamaah yang dimaksud adalah jamaah yang dibangun atas dasar kebenaran, ketakwaan, dan mengikuti manhaj Rasulullah SAW. Dalam jamaah seperti ini, seseorang tidak hanya akan mendapatkan keamanan spiritual, tetapi juga akan memperoleh lingkungan yang mendukung pertumbuhan moral dan intelektualnya.

Dalam sejarah Islam, umat Islam mencapai kejayaan ketika mereka bersatu dalam barisan yang kokoh, baik di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW maupun para khalifah setelah beliau. Sebaliknya, kehancuran dan kelemahan umat sering terjadi karena perpecahan, perselisihan, dan sikap egois yang memisahkan individu dari kelompoknya. Maka dari itu, menjaga persatuan adalah bagian dari ibadah dan dakwah itu sendiri.

 

Jamaah butuh pemimpin

Untuk berjamaah, butuh pemimpin atau Imam dan pemimpin itu perlu untuk ditaati. Beberapa perkataan (atsar) dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu yang menekankan pentingnya berjamaah dan ketaatan kepada imam. Umar bin Khattab berkata: “Tidak ada Islam tanpa jamaah, tidak ada jamaah tanpa kepemimpinan, dan tidak ada kepemimpinan tanpa ketaatan.
Perkataan ini menunjukkan bahwa tegaknya Islam tidak mungkin tanpa kebersamaan (jamaah), dan kebersamaan itu harus dipimpin oleh seorang imam (pemimpin), serta harus ada ketaatan kepada pemimpin tersebut.

Umar bin Khattab juga pernah berkata: “Sesungguhnya tidak ada Islam bagi orang yang tidak memiliki jamaah.” (Disebutkan oleh Ibn Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadlih).
Pentingnya berjamaah dan taat kepada sang Imam disebutkan dalam hadis;

مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ، لَقِيَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا حُجَّةَ لَهُ، وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ، مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً."

"Barangsiapa yang melepaskan tangan dari ketaatan (kepada pemimpin), maka ia akan bertemu Allah pada hari kiamat tanpa memiliki hujjah (alasan pembelaan). Dan barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak berbaiat (kepada pemimpin kaum Muslimin), maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyah."

Hadis ini menunjukkan pentingnya tetap berada dalam barisan umat Islam dan tidak memisahkan diri dari jamaah dan kepemimpinan yang sah.

Hadis ini juga relevan dalam konteks kekinian, di mana umat Islam menghadapi berbagai tantangan seperti fitnah, perpecahan mazhab, hingga polarisasi politik. Kunci untuk menghadapi semua itu adalah kembali kepada prinsip berjamaah, saling menasihati dalam kebaikan, dan menjauhkan diri dari perpecahan yang merugikan.

Hadis ini menegaskan bahwa berjamaah adalah jalan menuju keselamatan dunia dan akhirat. Siapa pun yang ingin meraih "buḥbūḥah al-jannah" (surga yang luas dan penuh kenikmatan), hendaknya ia tidak menjauh dari jamaah kaum Muslimin. Ia harus bersatu dalam kebaikan, menjunjung tinggi ukhuwah Islamiyah, dan senantiasa menjaga solidaritas umat.

Dengan demikian, kekuatan Islam akan terus terjaga, dan rahmat Allah akan selalu menaungi mereka yang berpegang teguh pada jamaah.

 

Belum ada jamaah ideal

Namun demikian perlu direnungkan pendapat yang menyatakan bahwa "jamaah kaum muslimin" dalam pengertian hadis-hadis Nabi tersebut, belum eksis saat ini, dan bahwa yang ada sekarang baru sekadar jama’ah minal muslimin (kelompok dari kalangan kaum muslimin). Pandangan tersebut berkembang di kalangan sebagian aktivis gerakan Islam, termasuk yang disampaikan misalnya yang disampaikan oleh Husein bin Muhsin bin Ali Jabir dalam bukunya Ath-Tharīq ilā Jamā’atil Muslimīn.

Bahwa pandangan Husein bin Muhsin dalam bukunya tersebut, memaksudkan bahwa jama’atul muslimin adalah suatu entitas yang bersatu di bawah satu imam/khalifah yang sah, menegakkan hukum Allah secara menyeluruh dan tidak sekadar kelompok dakwah atau ormas yang terbatas ruang lingkupnya. Oleh karena itu, beliau menyatakan bahwa "jamaah al-muslimin" dalam pengertian syar'i belum tegak di zaman ini, dan yang ada baru bentuk-bentuk parsial seperti organisasi, harakah, atau kelompok dakwah yang belum mewakili keseluruhan umat Islam.

Konsekuensi dari pendapat ini adalah perlunya kewajiban taat kepada "imam" hanya berlaku jika imam itu adalah imam syar’i atau pemimpin sah bagi kaum muslimin secara keseluruhan (seperti khalifah). Bahwa ketaatan kepada pemimpin lokal atau negara nasional bisa bersifat administratif dan maslahat, bukan ketaatan mutlak sebagaimana kepada khalifah. Olehnya itu, kewajiban berjamaah tetap berlaku, tetapi dalam makna menjaga ukhuwah, persatuan, dan manhaj ahlussunnah dalam keterbatasan zaman ini.

Pandangan ini cukup idealistik dan menjadi dasar pemikiran banyak kelompok revivalis seperti Hizbut Tahrir atau sebagian kelompok salafi-harakiy. Namun, banyak ulama kontemporer lainnya seperti Syaikh al-Albani, Ibn Baz, dan para ulama Rabithah Alam Islami berpendapat bahwa jamaah yang dimaksud bisa disesuaikan dengan realitas umat saat ini, yakni bersatu di bawah pemimpin negeri masing-masing dan tidak memberontak terhadap pemimpin muslim yang sah.

Prof Dr Yusuf al-Qaradawi yang dikenal berpandangan moderat, memiliki pandangan lebih kontekstual dan realistis mengenai konsep jama’ah al-muslimin. Dalam situasi umat Islam kontemporer saat ini. Beliau tidak berpendapat bahwa umat harus menunggu terbentuknya khilafah global agar dapat dikatakan sebagai jama’ah al-muslimin dalam makna syar’i. Dalam bukunya Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, Yusuf al-Qaradawi menegaskan bahwa penyatuan umat Islam dalam satu negara di bawah satu imam/khalifah adalah ideal, tetapi bukan syarat sahnya kepemimpinan atau jamaah dalam konteks syariat saat ini. Ia menolak pemikiran bahwa semua pemerintahan sekarang tidak sah hanya karena belum bersatu dalam satu khilafah. Wallahu a’lam bisawwab.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat