Penyandang tuna netra belajar membaca Al-Quran huruf braille di Masjid Agung Rangkasbitung, Lebak, Banten, Sabtu (28/12/2019). | ANTARA FOTO

Geni

Buku, Budaya Membaca, dan Generasi Milenial

Tak perlu mengikuti tren buku kekinian.

Buku Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer menarik perhatian Natalylian Benidau. Dia memilih buku tersebut lantaran penasaran dengan sosok Kartini, surat-surat yang ditulisnya, serta apa saja yang Kartini lakukan.

Walaupun beberapa bab dalam buku tersebut sempat membuatnya merasa bingung, perempuan yang akrab disapa Nataly itu tak mempermasalahkan hal itu. Dia paham bahwa buku yang sedang dia baca itu merupakan gabungan dari beberapa buku.

Bagi Nataly, keinginan membaca buku harus sesuai dengan selera bacaannya. Jika buku yang dibacanya tidak tren, dia pun akan tetap membacanya lantaran itulah buku yang bisa menjawab keingintahuannya. "Kalau ikut tren tidak. Tren menyita banyak duit. Ikuti saja apa yang ingin dibaca, belum tentu tren sekarang saya suka," kata Nataly kepada Republika belum lama ini.

Dalam setahun, Nataly membaca minimal tiga hingga lima buku. Tak hanya bentuk fisik, dia juga menikmati buku digital. Selama ini, perempuan yang tinggal di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), itu gemar membaca buku sejarah, biografi, romansa, politik, dan budaya.

Seiring bertambahnya usia, dia lebih menggemari buku sejarah, biografi, dan budaya. Selain itu, jika dulu dia menggemari novel, kini dia lebih suka membaca buku untuk pembentukan pola hidup, seperti kesehatan dan gaya hidup minimalis. Perubahan genre itu lantaran dirinya sudah bosan dengan kisah-kisah percintaan, serta ingin menjauh dari politik yang menyajikan banyak sandiwara.

Melalui buku-buku budaya, Nataly mempelajari beberapa agama yang historisnya meninggalkan banyak peninggalan sejarah, seperti Hindu dan Buddha. Nataly juga tertarik belajar tentang sejarah perang. Membaca buku membuatnya mengubah cara berpikir. Jika dahulu selalu menggunakan perasaan, kini dia lebih cenderung berlogika dan berusaha simpel. Selain itu, dia juga mengatakan menjadi lebih dewasa dalam mengambil sikap terhadap satu peristiwa. Kemudian, buku-buku tentang feminisme yang jarang dibaca, sekarang menjadi bahan bacaannya. Bahkan, Nataly menjadikan beberapa tokoh yang lantang menyuarakan kesetaraan untuk menjadi panutan.

Nataly mengatakan tidak mengalokasikan anggaran khusus untuk membeli buku. Namun, dia berencana melakukan hal itu. Nataly berniat membaca lebih banyak buku sejarah. "Saya seperti ada di negeri dongeng kalau baca sejarah Mesir, Persia dengan segenap mitologi-mitologinya. Ada Yunani, Mesir, Eropa, suku Inca, Indian, tambah lagi mitologi dan UFO," tutur Nataly.

Berubah genre

photo
Sejumlah bocah membaca buku yang dipinjamkan secara gratis di Kampung Literasi RW 08, Jatipulo, Palmerah, Jakarta Barat, Jumat (2/8/2019). - (ANTARA FOTO)

Senada dengan Nataly, penikmat buku Wina Satia juga tidak mengikuti tren buku di pasaran. Walaupun saat ke toko buku, dia jadi tahu tren bacaan dengan melihat buku-buku yang dipajang paling depan dan mencolok. Saat ini, Wina sedang membaca buku Wajah Muslim Indonesia. Awalnya, dia tertarik dengan buku tersebut karena judulnya yang membuat penasaran ihwal bagaimana sebenarnya Muslim Indonesia sekarang. Rupanya, setelah dibaca, buku tersebut membahas tentang bagaimana kondisi Muslim Indonesia dengan data riset yang tersedia. "Buat selang-seling saja. Sebelummya baca karya fiksi, jadi diselingi sama yang nonfiksi," kata Wina.

Selama ini, Wina menggemari buku fiksi, sementara nonfiksi hanya menjadi selingan. Kegemarannya itu, menurut dia, dipengaruhi oleh program studi yang ditempuhnya saat kuliah. Nama pengarang menjadi daya tarik utama dirinya saat memutuskan membaca suatu buku. Selain itu, rekomendasi seseorang juga menjadi pertimbangan membaca sebuah buku. Sayangnya, sejak bekerja, intensitasnya membaca buku menjadi berkurang. Apalagi, dengan adanya ponsel pintar, banyak hiburan yang bisa dinikmati dan terasa lebih menarik daripada buku. Dia pernah hanya menyelesaikan dua buku dalam setahun. "Memalukan memang, cuma ya akhirnya nggak perlu fokus sama jumlah sih, tetapi bagaimana nikmatnya," ujar Wina.

Penambahan usia dan dinamika sosial yang terjadi membuatnya mengubah genre favorit membaca buku. Jika zaman SMP suka membaca teenlit, Wina mulai membaca buku-buku tebal saat SMA. Sementara, saat kuliah berbeda lagi, sebab ada anjuran membaca genre tertentu hingga membuatnya menjadi suka. "Di antara buku-buku bersifat novel, cerpen, kadang puisi, komik juga saya suka. Justru, ini pemicu saya kenal bacaan bentuk buku dan sampai sekarang ini tetap menarik," kata Wina.

Membaca sangat memengaruhi caranya berpikir. Beberapa buku, bahkan memberinya sudut pandang lain dalam melihat atau menilai sesuatu. Bagi Wina, setiap buku pasti memberi pelajaran baru dengan kesan yang berbeda-beda. Meski mengaku menyukai buku diksi, Wina berencana lebih banyak membaca buku nonfiksi dengan bermacam pembahasan. Bagaimana dengan Anda?

Lebih praktis secara digital

photo
Warga membaca buku dari mobil perpustakaan keliling di Jalan Simpang Tujuh Kudus, Jawa Tengah, Minggu (8/12/2019). - (YUSUF NUGROHO/ANTARA FOTO)

Perkembangan zaman menjadi serbadigital harus diakui telah banyak memengaruhi kehidupan manusia. Teknologi digital telah mengubah cara berkomunikasi, berinteraksi, berbisnis, tak terkecuali industri perbukuan. Jika dulu buku fisik adalah satu-satunya sumber bacaan, kini kita bisa membaca buku dengan lebih praktis secara digital. Rupanya, meski platform menulis dan membaca secara daring kian banyak bermunculan, peminat buku fisik masih tetap banyak.

Keterbukaan dan kebebasan yang ditawarkan digitalisasi tentu menjadi tantangan besar untuk penerbit. Karena itu, untuk bisa menggaet pembaca, penerbit harus pandai-pandai membaca isu agar buku fisik yang diterbitkan menjawab kebutuhan zaman. Penanggung jawab redaksi Penerbit Pastel Books, Eka Kurnia Sari, membenarkan bahwa teknologi digital sangat memengaruhi pergerakan industri perbukuan. Menurut Eka, pada era digital perkembangan isu juga semakin cepat jika dibandingkan lima atau 10 tahun ke belakang. Alhasil, konten buku pun menjadi kian dinamis.

"Era digitalisasi ini sangat memengaruhi pergerakan industri perbukuan. Isu sangat cepat. Jadi, konten buku pun semakin dinamis," kata Eka saat dihubungi Republika.

Untuk bisa menggaet pembaca, salah satu imprint Mizan Pustaka yang menerbitkan buku-buku remaja ini berusaha menghadirkan isu-isu kekinian yang berkembang di masyarakat, khususnya generasi milenial. Eka mengungkap bahwa buku terlaris Pastel Books kebanyakan berawal dari penulis Wattpad. Sementara untuk isu yang paling populer berkaitan dengan masalah mental dan self love (mencintai diri sendiri).

Hal ini juga membuktikan bahwa digital dan buku fisik bisa berkolaborasi. Eka menambahkan, banyak penulis baru yang memiliki potensi luar biasa dan mencoba menulis di Wattpad. "Ada beberapa pertimbangan ketika kami memilih tulisan untuk kemudian dicetak. Seperti tema, peringkat di Wattpad dan jumlah followers juga masuk pertimbangan," kata dia.

 

Branding penulis

Tidak hanya berpengaruh terhadap industri perbukuan, digitalisasi juga berpengaruh besar pada penulis. Pada era digital, penulis dituntut untuk pintar melakukan branding dirinya di media sosial. Penulis senior yang tidak atau jarang update di media sosial, followers-nya sedikit dan lain-lain akan kalah dengan penulis baru yang branding-nya kuat di media sosial.

"Apalagi kalau pasarnya remaja ya, tentu penulis harus banget selalu update dan berkejaran dengan tren terkini," kata penanggung jawab redaksi Penerbit Pastel Books, Eka Kurnia Sari.

Menurut Eka, mayoritas buku yang laris tidak lepas dari peran penulis yang pintar menjaga interaksi dengan pengikutnya di media sosial. Selain itu, faktor lain seperti konten yang ditulis terkait dengan generasi milenial serta promosi yang terkonsep dengan matang juga menjadi penentu buku tersebut akan laku atau tidak. "Karena itulah, kami sebagai penerbit selalu berusaha menghadirkan buku yang menarik perhatian. Apalagi milenial sekarang sangat mudah mengakses informasi, jadi kami berusaha merespons itu," kata Eka.

Sejauh ini, Eka mengungkapkan, buku seri Dilan menjadi buku paling best seller di Pastel Books. Pidi Baiq, penulis buku Dilan, memang rajin berinteraksi dengan para pengikutnya di media sosial. Surayah, begitu sapaan penggemar untuk Pidi Baiq, tercatat memiliki lebih dari 740 ribu pengikut di Twitter dan 471 ribu pengikut di Instagram. "Seri Dilan paling best seller, sudah hampir 600 ribuan eksemplar," ungkap Eka.

Selain buku seri Dilan, buku trilogi Senior, Inestable, dan Athlas menjadi tiga buku terbitan Pastel Books yang paling hits. Penjualan buku trilogi Senior per judulnya sudah lebih dari 20 ribu eksemplar, jadi total ketiga judul itu sudah 60 ribu eksemplar.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat