Tenda isolasi (ilustrasi) | ANTARA FOTO

Narasi

Ketika Saya di Ruang Isolasi

 

Wartawan Republika, Dessy Suciati Saputri, memberikan kesaksian saat menjalani proses pemeriksaan karena mengalami gejala terpapar penyakit virus korona (Covid-19). Hingga ia dinyatakan sebagai pasien dalam pengawasan (PDP) Covid-19, ada beberapa kejanggalan yang dialaminya. Berikut tulisan bagian pertamanya.

Ahad (15/3) pagi, setelah saya tahu telah melakukan kontak dekat dengan salah satu pasien positif korona (Covid-19), saya berniat memeriksakan diri. Sepekan sebelumnya, saya memang melakukan kontak dekat dengan pasien yang belakangan dinyatakan positif Covid-19. Apalagi, dalam sepekan itu saya merasa kondisi kesehatan kurang baik. Kadang meriang, pusing, dan batuk ringan.

Saya bergegas ke rumah sakit rujukan pemerintah yang mampu menangani Covid-19. Awalnya, kami hendak menuju RS Persahabatan. Namun, karena menurut informasi yang diterima rumah sakit tersebut tutup pada Ahad, saya lantas beralih ke RS rujukan, yakni RSUD Pasar Minggu.

Saya tiba di RSUD Pasar Minggu sekitar pukul 09.00 WIB. Kami langsung mencari posko di rumah sakit yang dapat menangani langsung keluhan gejala Covid-19, tetapi tidak ada. Lantai satu yang biasanya digunakan sebagai layanan pendaftaran pun tampak kosong, sepi. Hanya ada beberapa orang yang mengantre di salah satu konter apotek di rumah sakit tersebut.

Saya langsung menuju ke IGD. Pasien yang mengantre di ruang pendaftaran IGD cukup banyak. Saya menuju ke salah satu petugas medis untuk menyampaikan keluhan saya dalam beberapa hari terakhir. Beberapa pertanyaan petugas medis itu, ?Apa yang dikeluhkan? ?Pernah kontak dengan pasien positif korona?? ?Kapan melakukan kontak??

Saya menjawab dengan detail tiap pertanyaan itu. Saya langsung diminta untuk masuk ke dalam sebuah kamar isolasi di ruangan IGD. Kamar berukuran sekitar 3 x 4 itu hanya berisi dua tempat tidur. Satu tempat tidur lainnya sudah ditempati oleh seorang pria berusia 42 tahun.

Ruangan tersebut tak sepenuhnya dibatasi dengan tembok, tapi dibatasi kaca tebal sehingga pasien yang berada di dalam kamar isolasi tak bisa melakukan komunikasi dengan keluarga yang berada di luar ruangan. Satu orang pria yang sudah terlebih dahulu berada di kamar isolasi ini tampak menggunakan alat bantu pernapasan. Ia sudah berada di dalam kamar isolasi tersebut sejak malam sebelumnya. Ia pun mengaku sudah menjadi pasien dalam pengawasan (PDP) Covid-19.

Isolasi bersamaan

Saya sempat heran, mengapa saya ditempatkan di sebuah ruangan isolasi bersama seorang pasien PDP Covid-19? Padahal, saya belum sempat diperiksa oleh tim medis. Saya khawatir, jika hasil pasien PDP tersebut nantinya dinyatakan positif Covid-19 maka sangat mungkin saya akan terpapar virus tersebut.

Beberapa jam kemudian, saya menjalani pemeriksaan darah dan thorax. Pemeriksaan thorax merupakan pemeriksaan fisik secara umum terhadap pasien untuk mengetahui kondisi organ yang di dalam rongga dada, di antaranya jantung dan paru-paru.

Selang sekitar satu jam, seorang perempuan muda disusul oleh seorang laki-laki juga ditempatkan di ruang isolasi tersebut. Sampai saat itu, ada total empat orang yang ditempatkan di satu kamar isolasi.

Menurut laki-laki yang baru saja masuk itu, kita sebut saja pasien A, ia sempat sesak napas dan baru saja mengunjungi Provinsi Bali. Ia dan pasien wanita lainnya pun juga kemudian melakukan tes darah dan thorax.

Sekitar empat jam kemudian, saya dan pasien A dinyatakan sebagai PDP Covid-19. Padahal, hasil tes darah dan thorax menunjukkan kami sehat. Selama menunggu pemeriksaan selanjutnya yakni tes swab untuk mengambil sampel spesimen lendir di saluran pernapasan dan rongga mulut, seluruh pasien yang saat itu dinyatakan sebagai pasien PDP Covid-19 masih bisa ke luar ruangan, seperti ke toilet. Sebab, di kamar isolasi IGD tersebut tak disediakan toilet sendiri.

 
Jadi, bisa dibayangkan bagaimana jika ada pasien PDP yang ternyata positif terinfeksi Covid-19 tetapi masih bisa mondar-mandir di ruangan IGD, di mana banyak pasien yang juga dirawat di ruangan terbuka.
   

Sekitar pukul 13.30 WIB, tes swab pun dilakukan terhadap empat pasien yang berada di kamar isolasi ruang IGD. Namun, hasil tes swab masih harus menunggu sekitar2-3 hari lagi. Artinya, selama hasil tes swab belum keluar, seluruh pasien yang dikategorikan sebagai PDP tidak diperbolehkan pulang ke rumah. Begitu menurut dokter yang menangani saya.

Semakin malam, pasien yang masuk ke dalam kamar isolasi semakin bertambah. Namun, ada seorang wanita di dalam kamar tersebut yang sudah diizinkan pulang. Hingga malam hari, total ada enam pasien di kamar isolasi. Semuanya dinyatakan sebagai pasien PDP.

Semakin bertambahnya pasien yang masuk, kamar isolasi pun semakin penuh dan sesak. Dua pasien dirawat di tempat tidur, sementara empat pasien lainnya harus menunggu di kursi roda selama berjam-jam. Bukan kondisi yang ideal dan layak untuk pasien diduga terpapar Covid-19 untuk beristirahat atau sekadar menunggu hasil tes.

Mereka kelelahan dengan kondisi kesehatan yang beragam. Ada yang batuk terus-menerus, ada yang harus mengenakan selang oksigen. Kondisi ini pun membuat psikologis beberapa pasien terganggu. Apalagi, beberapa pasien juga mengaku tak mendapatkan informasi yang pasti terkait tindakan selanjutnya dari tim medis.

Berapa lama pasien harus menunggu dipindahkan ke kamar isolasi atau tindakan medis apalagi yang harus ditempuh? Pihak rumah sakit sendiri mengaku kamar isolasi masih penuh sehingga masih harus dicarikan kamar di rumah sakit rujukan lainnya. Untuk menunggu kepastian kamar isolasi pun juga sangat lama. Bahkan, ada seorang pasien lainnya yang harus menunggu hingga hampir dua hari untuk mendapatkan kamar isolasi di rumah sakit rujukan.

 
Kondisi ini membuat saya dan sejumlah pasien lainnya meminta agar mendapatkan perawatan di rumah saja. Alasannya, karena mereka tak mendapatkan penanganan yang layak selama berada di kamar isolasi ruang IGD dan hasil tes laboratorium mereka dalam kondisi sehat dan baik. Alih-alih sembuh, malah terpapar di kamar isolasi.
   

Namun, pihak rumah sakit menolak mereka pulang. Saya telepon dokternya, sangat direkomendasikan untuk isolasi. Tapi, katanya boleh pulang asal harus tanda tangan surat pernyataan dengan segala risikonya tidak ditanggung oleh rumah sakit. Masalahnya, kalau begini terus tidak jelas, lama-lama saya stres dan malah terpapar dari pasien lainnya.

Saya bersama pasien A kemudian mendapatkan kamar isolasi di rumah sakit rujukan pada petang hari. Proses pemindahan kami harus menunggu ambulans yang saat itu tengah digunakan untuk mengantar pasien lainnya.

Selama dirawat di ruangan isolasi tersebut, saya diperlakukan layaknya pasien positif Covid-19. Padahal, hasil tes darah dan thorax menunjukkan saya sehat dan tak ada masalah. Setiap petugas medis yang berkunjung ke kamar isolasi atau berinteraksi dengan salah satu pasien selalu dilengkapi alat pelindung diri (APD).

Saat akan dipindahkan ke rumah sakit rujukan di RS Fatmawati, pihak rumah sakit pun tampak mengosongkan seluruh lorong yang akan saya lewati. Semuanya menjauh, seakan-akan saya membawa virus menular. Bahkan, ada yang memvideo saat petugas membawa saya ke ambulans. Padahal, seluruh hasil tes saya baik-baik saja, tapi tes swab memang belum keluar hasilnya.

Perlakuan yang sama dari tim medis juga saya rasakan saat tiba di RS Fatmawati pada dini hari berikutnya. Saat tiba, saya masih melihat adanya petugas rumah sakit yang justru memvideo proses pemindahannya. Entah mau disebarkan atau mau buat apa itu video. Padahal, RS kan harus melindungi privasi pasien.

Di rumah sakit rujukan ini, saya dan pasien A mendapatkan kamar isolasi. Kamar tersebut berukuran sangat luas dengan enam tempat tidur. Antara tempat tidur berjarak sekitar 2 meter. Namun, karena hanya terdapat tiga pasien di ruangan isolasi itu, tiap pasien ditempatkan di tempat tidur dengan jarak sekitar 4 meter.

Pasien yang ditempatkan di kamar ini seluruhnya merupakan pasien kategori PDP. Di kamar ini, saya merasa lebih nyaman daripada di kamar isolasi sebelumnya. Kondisi kamar isolasi ini tentu berpengaruh terhadap kondisi psikologis.

Terlihat jelas bahwa kamar isolasi ini memang baru saja disiapkan oleh pihak rumah sakit. Saat siang, kamar terasa panas. Terdapat AC, tetapi tidak cukup membantu. Beberapa kipas angin juga tampak terpasang.

Sejak saya dan pasien A tiba di rumah sakit rujukan ini, kami belum mendapatkan pemeriksaan kembali dari dokter RS setempat. Kami hanya mendapat infus sejak di RSUD sebelumnya dan makanan ala rumah sakit. Saya memahami, hingga kini antivirus Covid-19 belum ditemukan. Karena itu, cara terbaik berikutnya adalah melakukan isolasi sembari meningkatkan daya tahan tubuh.

Mereka mungkin hanya ingin memisahkan saya dengan masyarakat lainnya agar saya tidak menularkan virus meski saya juga belum dinyatakan positif. Saya hingga saat ini masih baik-baik saja.

Dokter spesialis paru-paru baru mulai melakukan kunjungan ke pasien PDP pada sore hari sekitar pukul 16.00 WIB. Kepada saya, dokter menjelaskan bahwa berdasarkan hasil rontgen thorax menunjukkan adanya sedikit flek. Namun, untuk memastikan kembali, dokter meminta agar dilakukan foto //thorax// yang kemudian dinyatakan bahwa saya dan pasien A dapat melakukan isolasi mandiri di rumah selama 14 hari.

Artinya, pada Senin (16/3) dini hari, saya bisa langsung segera kembali pulang. Status saya pun menjadi orang dalam pengawasan (ODP) dari sebelumnya PDP. Tak ada penjelasan lebih lanjut dari dokter mengenai hasil pemeriksaan. Saya hanya mendapatkan informasi dapat kembali pulang sambil menunggu hasil tes swab.

Pasien yang dikategorikan sebagai PDP belum tentu positif Covid-19. Masih ada kemungkinan pasien tersebut negatif dari virus. Karena itu, saya berharap pemerintah dapat menyiapkan layanan rumah sakit yang lebih baik lagi untuk menangani pasien dengan keluhan seperti gejala Covid-19. n

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat